Senin, 23 Mei 2011

4. Syarat untuk Menjadi Imam Mujtahid

Syarat muthlak bagi orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, ialah pandai, sekali lagi pandai. Tidak mungkin si Awam akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau si Awam mencoba hendak menjadi Mujtahid maka akan rusaklah agama, akan hancrulah agama dan akan porak porandalah hukum-hukum agama Islam yang suci. Ini masuk akal. Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam Negara Hukum ? Sudah pasti tidak. Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi Hakim, maka hukum itu akan diinjak-injaknya dan ia akan menjalankan "Hukum Rimba", yang berdasarkan siapa kuat siapa di atas.
Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak meniadi Imam Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas mengeluarkan hukum dari dalam Al-Quran dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat itu adalah :
1. Mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya karena Al-Quran dan Hadits, diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab yang fasih, yang mutunya tinggi dan pengertiannya luas dan dalam.
Allah berfirman :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya : "Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS Yusuf : 2)
Allah berfirman pula:
وَكَذَ‌ٰلِكَ أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا وَاقٍ
Artinya : "Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab . Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS Ar Ra'd : 37)
Orang yang tidak belaiar bahasa Arab tidak mungkin akan dapat menggali hukum-hukum dalam Al-Quran. Ini logis. Karena itu tidak mungkin ia menjadi Imam Mujtahid. Jadi ia harus mengikuti salah satu Imam, tidak boleh tidak. Al-Quran itu dalam bahasa yang fasih dan bermutu tinggi, tidak sama dengan bahasa pasaran atau bahasa-bahasa daerah yang sekarang banyak terpakai di daerah-daetah negeri Arab, atau katakanlah tidak sama dengan "bahasa Arab Tanah Abang". Orang Arab sendiri yang tidak mendalami bahasa Arab dan tidak belajar undang-undang bahasa Arab, tidak akan bisa menjadi Imam Mujtahid karena ia tidak akan pandai menggali isi Al-Quran sedalam-dalamnya.
Jadi hatus dipelajari semahir-mahirnya, bukan saja arti bahasa, tetapi ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa, seumpanya Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi', Balaghah, ‘Arudh dan Qawafi karena dengan ilmu-ilmu itu baru bisa diketahui yang mana dalam ayat ayat itu yang sifatnya umum, yang sifatnya khusus, yang suruhan, yang larangan, yang pertanyaaan, yang nash (nyata), yang majaz (tersirat), yang muthlaq, yang muqayad, yang berita, yang hikayat dan lain-lain sebagainya.
Di dalam Al-Quran ada firman yang pada lahirnya Nampak “menyuruh", tetapi pada hakikatnya “melarang” seumpama firman Allah :
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا ۗ أَفَمَن يُلْقَىٰ فِي النَّارِ خَيْرٌ أَم مَّن يَأْتِي آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Fushilat : 40)
Kalau kita tidak mengetahui ilmu ma'ni maka akan tersesatlah kita dalam memberikan arti kepada ayat ini karena bisa difahamkan bahwa Allah mengizinkan dan bahkan menyuruh supaya orang mengerjakan apa yang disukainya saja, biar pekerjaan jahat sekali pun. Padahal Allah dalam ayat ini bukan menyuruh, tetapi melarang dan mengecam supaya orang jangan berbuat sesuka hatinya saja dengan tidak memikirkan halal dan haramnnya.
Jadi ayat ini berarti larangan, bukan suruhan. Seperti halnya seorang bapak yang bosan atas kelakuan anaknya yang nakal, lantas berkata, "Sesuka hatimulah, buatlah apa yangkamu sukai!”
Contoh yang lain ada lagi,yaitu di dalam Al-Quran ada ayat yang tidak menurut bahwasanya, yaitu Allah berfirman :
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍكُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ  وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya : "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.". (Ar Rahman : 26-27)
Adapun arti wajah dalam bahasa Arab adalah “muka”. Jadi menurut ayat ini, sekalian yang ada akan lenyap atau binasa sedangkan yang kekal hanya "muka" Tuhan. Orang-orang yang mengetahui sastra Arab, ahli Bayan dan Ma'ni tentu mengetahui bahwa yang dimaksud dengan wajah dalam ayat ini adalah"dzat" Tuhan bukan "muka" Tuhan. Maka arti yang sebenarnya dari ayat ini adalah : "Sekalian yang ada akan lenyap/binasa, kecuali "dzat" Tuhan. Kesimpulan dapat dikatakan bahwa orang yang ingin menjadi Imam Mujtahid harus mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya, kalau tidak ia akan berbuat banyak kesalahan.
Ada orang bertanya, bahwa di Indonesia sekarang sudah banyak kitab-kitab terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang disusun dan dikarang oleh penterjemah bangsa Indonesia. Sudah bolehkah kita menggali hukum fiqih dari dalam Al-Quran, sedang kita hanya baru mengetahui arti ayat-ayat Al-Quran dari kitab-kitab teriemahan itu ? Memang sudah ada beberapa kitab terjemahan Al-Quran, dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan tegas pertanyaan di atas dapat dijawab dengan "Belum bisa", karena:

a. Ada kemungkinan terjemahan itu tersalah atau salah, sedang kita tidak mengetahui karena kita tidak mempunyat alat untuk mengoreksi kesalahan itu.
b. Kalau kita hanya mengikut saja kepada terjemahan pengarang-pengarang itu, maka artinya kita masih bertaqlid, belum Mujtahid.
c. Dalam kenyataannya terjemahan-terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang sudah ada di Indonesia, terdapat perbedaan-perbedaan arti satu sama lain dari satu ayat. Masing-masingnya memberikan arti menurut pendapatnya saja. Misalnya perkataan "laamas-tum" dalam Surat Nisa', ayat ke 43, terdapat terjemahan yang berlain-lainan.
Dalam terjemahan A berbunyi : "Atau kamu telah menyentuh perempuan" . (halaman 125).
Dalam terjemahan B berbunyi : "Atau kamu sentuh perempuan-perempuan". (halaman 159).
Dalam terjemahan C berbunyi : 'Atau kamu sudah campur dengan isterimu". (halaman 71).
Dalam terjemahan D berbunyi: "Atau kamu campur dengan perempuan". (halaman 119).
Ma'af, di sini tidak dituliskan nama pengarang dari kitab terjemahan Al-Quran itu, sebab pengarang-pengarangnya ada yang masih hidup dan mungkin merasa keberatan kalau namanya dicantumkan di sini.
Ayat ini ialah tentang soal yang “membatalkan wudhu''. Perhatikanlah baik-baik dengan tenang! Dengan keempat terjemahan itu, terdapat perbedaan-perbedaan arti yang juga dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan hukum yang keluar dari ayat ini.
Menurut terjemahan A, berarti bahwa sekalian persentuhan dengan perempuan membatalkan wudhu’. Tidak perduli apakah perempuan itu ibu, saudara, anak, mertua dan lain-lain sebagainya, karena dalam terjemahan itu hanya dikatakan : “atau kamu telah menyentuh perempuan".
Menurut terjemahan B, timbul hukum bahwa bersentuh dengan seorang perempuan tidak membatalkan wudhu'. Yang membatalkan ialah bersentuhan dengan banyak perempuan, karena dalam terjemahannya dlkatakan : “atau kamu sentuh perempuan-perempuan".
Menurut terjemahan C, menimbulkan pengertian bahwa bercampur dengan isteri membatalkan wudhu'. Apakah arti "bercampur” dalam bahasa Indonesia ? Artinya ialah bergaul atau berkumpul. Nah ! Menurut terjemahan C, bergaul saja dengan isteri sudah membatalkan wudhu’, tetapi bergaul dengan perempuan lain tidak membatalkan wudhu’, karena terjemahannya "atau kamu sudah campur dengan isterimu”. Tetapi kalau yang dimaksudkan dengan "bercampur" itu bersetubuh dengan isteri, maka yang membatalkan wudhu’, hanya bersetubuh dengan isteri. Adapun bersetubuh dengan orang lain tidak membatalkan wudhu’. Apakah begitu maksudnya ?
Menurut terjemahan D menimbulkan pengertian sama dengan terjemahan C. Akan tetapi bagi terjemahan D adalah bercampur dengan perempuan, bukan dengan isteri saja seperti terjemahan C.
Kesimpulannya, belumlah mungkin orang menggali hukum fiqih hanya bersandarkan dan berpedoman kepada arti ayat yang diberikan oleh pengarang-pengarang terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia. Sekali lagi ditekankan bahwa syarat mutlaq bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui bahasa Arab dalam segala seginya, karena Al Quran dan Hadits itu ditulis atau diturunkan oleh Tuhan dalam bahasa Arab yang mutunya sangat tinggi.
d. Harus diketahui, bahwa ayat ayat AL-Quran itu ditafsirkan artinya dengan hadits-hadits Nabi, atau dengan kata lain bahwa tafsiran Al-Quran haruslah menurut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh semaunya saja menurut kemauan kita. Karena itu adalah syarat muthlaq bagi setiap Imam Mujtahid mengetahui seluruh hadits yang bersangkutan dengan ayat itu, yaitu hadits-hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits yang 6 yaitu, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah. Dus, tidak cukup kalau baru hanya mengetahui tafsir Al-Quran dari Kitab-kitat Tafsir atau Kitab-kitab Terjemahan bahasa Indonesia itu.
2. Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum Al-Quran, yakni diketahui lebih dahulu mana di antara ayat Al-Quran itu yang umum sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayan, yang muthlaq, yang muqayad, yang zahir, yang nash, yang nasikh, yang mansukh, yang muhakkam yang mutasyabih dan lain-lain sebagainya. Untuk mengetahui hal ini semuanya calon Imam Mujtahid harus mengerti Ilmu ushul Fiqih, kalau tidak, tidaklah mungkin menjadi Imam Mujtahid, tetapi harus menjadi orang bertaqlid saja kepada salah seorang Imam Mujtahid.
Memang berat syarat-syarat ini, karena seperti yang dikatakan di atas, bahwa jabatan Imam Mujahid itu adalah jabatan yang sangat tinggi, karena ia adalah sebagai pengganti Rasulullah dalam membentuk hukum agama .
3. Syarat yang ketiga bagi lmam Mujtahid ialah mengerti akan isi dan maksud Al-Quran keseluruhannya, ke 30 juznya. Pada ketika ia berijtihad dalam sesuatu masalah semua isi dari Al-Quran terbayang di kepalanya, sehingga tidak menimbulkan hukum yang bertentangan dengan salah satu dai ayat-ayat Al-Quran itu. Imam Syafi'i rahimahullah dalam usia 9 tahun telah hafal keseluruhan ayat Al-Quran di luar kepala, begitu juga Imam Hanafi telah hafal seluruh ayat Al-Quran di luar kepala semasa beliau masih kecil. Adalah tidak mungkin bagi seseorang Imam Mujtahid kalau ia hanya mengetahui 10, 20 atau 100 ayat saja, karena ayat-ayat Al-Quran sangkut-bersangkut antara satu dengan yang lainnya.
Untuk menggambarkan kesulitannya, baiklah kami nukilkan perkataan Imam Ibnul Arabi al Maliki, pengarang kitab Tafsir "Ahkamul Quran", bahwa gurunya mengatakan kepadanya, bahwa dalam surat Al Baqarah saja terdapat seribu perintah, seribu larangan, seribu hukum, seribu berita (Ahkamul Quran jilid
I, halaman 8).
4. Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui 'Asbabun-nuzul" bagi setiap ayat itu, yakni mengetahui sebab maka ayat-ayat itu diturunkan. Seperti dimaklumi bahwa ayat-ayat suci Al-Quran bukan diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur selama 23 (duapuluh tiga) tahun.
Setiap ayat itu diturunkan karena ada perlunya, umpamanya untuk menjawab suatu pertanyaan dari rakyat, untuk mengalahkan sesuatu hujjah musuh, untuk suatu kabar yang diperlukan dan lain-lain sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran itu. Ini dinamai “Asbabun-nuzul", yaitu sebab-sebabnya turun. Setiap Imam Muitahid harus mengetahui Asbabun-nuzul, kalau tidak maka ia akan tersalah dalam mengartikan ayat-ayat itu.
Sebagai contoh dikemukakan, peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. Tersebut dalam Kitab. "Ahkamul Quran", juz l,halaman 28, bahwa dulu ada orang yang tersalah dalam mengartikan ayat, karena tidak tahu sebabnya maka ayat iru dirurunkan. Mereka membolehkan minum arak berdalilkan ayat Al Quran yang tersebut dalam surat Al Maidah, ayat 93 begini :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوا وَّآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوا وَّأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Aytinya : "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS AI Maidah : 93).
Nah, kata mereka, ayat ini membolehkan memakan atau meminum apa saja, kalau sudah mu'min dan sudah beramal saleh. Mereka tersalah dalam memberi arti kepada ayat ini karena tidak mengetahui “asbabun-nuzul", sebab-sebabnya maka ayat ini diturunkan.
Ayat ini justru untuk melarang minum arak, bukan untuk membolehkannya. Ceritanya begini : Dulu orang-orang Islam banyak minum arak, yakni sebelum dilarang. Kemudian turun ayat tersebut dalam surat Ar Baqarah : 219, yang menyuruh berhenti meminum arak itu. Sekumpulan orang Islam bertanya kepada Rasulullah : "Bagaimana-halnya kami yang sudah banyak minum arak dulu itu, yakni sebelum dilarang?” Maka turunlah ayat Al Maidah 93 ini, bahwa yang telah termakan atau terminum yang dulu-dulu itu tidak berdosa asal sekarang sudah iman dan sudah beramal saleh. Maka ayat ini turunnya untuk mencukupkan keterangan larangan, bukan untuk membolehkan apa saja untuk dimakan atau diminum.
b. Allah berfirman :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya : "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS AI Baqarah : 115).
Kalau menurut lahir atau lafazh ayat ini saja bisa timbul hukum, bahwa menghadap kiblat dalam sembahyang tidak wajib, karena wajah Allah ada di mana-mana. Pengertian semacam itu salah. Ummat Islam dari dulu sampai sekarang telah ijma' (sepakat) mewajibkan menghadap kiblat dalam shalat yang lima waktu dan shalat yang sunnat yang lain. Kesalahan pengertian ayat itu timbul karena tidak mengetahui 'Asbabun-nuzul" yaitu sebab maka ayat itu diturunkan. Sebab turunnya ayat ini adalah :
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membutuhkan banyak shalat sunnat, tetapi beliau dalam perjalanan mengendarai onta dari Mekkah ke Madinah. Pada ketika itu turun ayat tadi yang memberi izin untuk menghadap kemana saja pada ketika shalat sunnat dalam perjalanan di atas kendaraan. Jadi ayat ini khusus untuk shalat sunnat dalam perjalanan. Seseorang berlayar dengan kapal api, atau terbang dengan pesawat udara, atau berjalan jauh dengan mobil, sedang ia akan shalat sunnat. Pada ketika itu ia boleh menghadap dalam shalat kemana kendaraannya menghadap karena wajah Allah itu ada di mana-mana. Inilah arti ayat ini yang sebenarnya,yang mana kalau tidak tahu kisah ini, niscaya akan tersalah dalam menggali hukum dalam ayat ini.
Kesimpulannya : Ilmu Asbabun-nuzul adalah syarat bagi seseorang yang menjadi Imam Muitahid!
5. Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui hadits-hadits Nabi, sekurangnya apa yang telah termatub dalam Kitab-kitab Hadits yang 6, yaitu: 1. Sahih Bukhari, 2. Sahih Muslim. 3. Sahih Tirmidzi. 4. Sunan Nisai, 5. Sunan Abi Daud dan ke 6. Sunan Ibnu Majah. Dan sebaiknya mengerti juga hadits-hadits yang tersebut dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Mustadrak Hakim, Sahih Ibnu Hibban, SahihTabhrani, Sunan Daruquthni dan lain sebagainya.
Hal ini sangat perlu, karena hukum-hukum fiqih ini bersumber kepada Quran dan Hadits, bukan kepada Quran saja atau kepada aqal saja, atau pendapat manusia saja. Karena itu setiap Imam Mujtahid harus mengerti Quran dan Hadits.
6. Syarat yang ke-enam bagi setiap lmam Mujtahid ialah berkesanggupan menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih mana yang maudhu' (yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, dan mana hadits yang lemah. Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui pula si"Rawi” yakni keadaannya orang yang meriwayatkan hadits itu. Ini penting, kalau tidak, kita akan terjerumus kepada mengambil hadits-hadits yang palsu, yang bercacat, yang lemah dan lain-lain sebagainya.
7. Mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam masalah-masalah yang dihadapi. Ini sangat perlu, agar setiap Imam Mujtahid tidak terjerumus kepada mengeluarkan hukum yang melawan ijma', yaitu kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam suatu zaman. Oleh karena itu sekurangnya ia harus membaca dan memahami kitab-kitab karangan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam syafi’i, dan Imam Hanbali, yang semuanya bisa didapat waktu sekarang, karena sudah banyak dicetak pada percetakan-percetakan di Mesir.
Demikianlah diantaranya syarat-syarat yuridis bagi seorang Imam Mujtahid, di samping ada pula syarat-syarat yang lain, yaitu shaleh dan bertaqwa kepada Allah, berakhlak yang tinggi, tidak sombong dan tidak takabbur, tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang keji yang dilarang oleh agama Islam.
Nah, cobalah ukur diri kita masing-masing, apakah kita sudah mempunyai syarat yang cukup untuk menjadi imam Mujtahid atau belum. Kalau sudah cukup, dan benar-benar cukup, silahkanlah menjadi Imam Mujtahid dan tampilah kemuka secara terus terang mengatakan :"INILAH IJTIHAD SAYA”. Ummat yang banyak ini, yang kebanyakan sudah cerdas pula, tentu akan member nilai, apakah benar-benar orang ini sudah berhak menjadi Imam Mujtahid, ataukah masih “taqlid” kepada ulama-ulama lain.

Akan tetapi, kalau umpamanya belum memenuhi syarat di atas janganlah buru-buru, belajarlah dulu sampai matang. Ketika itu ikut saja salah seorang dari Imam Mujtahid yang terdahulu, umpamanya Imam Syafi'i rahimahullah,misalnya. Mengikuti Imam Mujtahid ini pada hakekatnya adalah mengikut Quran dan Hadits dalam arti yang sebenarnya, kata Syeikh Yusuf Dajwi, seorang yang pernah menjadi guru besar Universitas AI Azhar di Mesir.

1 komentar:

  1. Komentar saya ada yang perlu diluruskan bahwa sejarah imam madzhab hidup di Abad ke 2 Hijriyah sebelum para muhaddits lahir atau lebih dikenal dengan tokoh kutubussittah namun untuk penguasaan hadits para imam Mujtahid terungkap dari pernyataan Imam Ahmad bahwa yang hafal 100ribu hadits belum bisa menjadi imam Mujtahid namun jika hafal 300.000 hadits mungkin saja, disamping tentunya hafal dan faham tafsir Al-Qur'an, jika hadits di kutubussittah dihimpun tidak sampai 100.000 hadits, dan pembukuan ilmu pada saat itu lebih mengedepankan ilmu syari'ah daripada hadits sebagaimana hal Imam Ahmad yang hafal 950.000 hadits hanya sempat menulis 22.000 hadits dalam Musnad Ahmad, bagaimana ummat mengikuti syariat dengan petunjuk Al-Qur'an dan hadits secara menyeluruh? Maka imam Abu khuzaimah pernah ditanya adakah hadits yang tidak diketahui Imam Syafi'i, jawab Ibnu khuzaimah tidak ada ini menunjukan syari'at melalui istimbath para imam sudah melalui peninjauan hukum melalui Al-Qur'an dan hadits secara menyeluruh namun dengan adanya khilafiyah bainal madzhab maka wajib bertaklid sehingga tidak ada pencampuran syarat rukun dan pembatal dalam satu rangkaian ibadah.

    BalasHapus