Syarat muthlak bagi
orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, ialah pandai, sekali lagi pandai.
Tidak mungkin si Awam akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau si Awam mencoba
hendak menjadi Mujtahid maka akan rusaklah agama, akan hancrulah agama dan akan
porak porandalah hukum-hukum agama Islam yang suci. Ini masuk akal. Dapatkah
orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam Negara
Hukum ? Sudah pasti tidak. Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba
menjadi Hakim, maka hukum itu akan diinjak-injaknya dan ia akan menjalankan
"Hukum Rimba", yang berdasarkan siapa kuat siapa di atas.
Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak meniadi Imam
Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas mengeluarkan hukum dari dalam
Al-Quran dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat.
Syarat-syarat itu adalah :
1. Mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya karena Al-Quran dan Hadits,
diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab yang fasih, yang mutunya tinggi dan
pengertiannya luas dan dalam.
Allah berfirman :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا
عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya : "Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya” (QS Yusuf : 2)
Allah berfirman pula:
وَكَذَٰلِكَ
أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم
بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا وَاقٍ
Artinya : "Dan
demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar)
dalam bahasa Arab . Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah
datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan
pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS Ar Ra'd : 37)
Orang yang tidak belaiar bahasa Arab tidak mungkin akan dapat menggali
hukum-hukum dalam Al-Quran. Ini logis. Karena itu tidak mungkin ia menjadi Imam
Mujtahid. Jadi ia harus mengikuti salah satu Imam, tidak boleh tidak. Al-Quran
itu dalam bahasa yang fasih dan bermutu tinggi, tidak sama dengan bahasa
pasaran atau bahasa-bahasa daerah yang sekarang banyak terpakai di
daerah-daetah negeri Arab, atau katakanlah tidak sama dengan "bahasa Arab
Tanah Abang". Orang Arab sendiri yang tidak mendalami bahasa Arab dan
tidak belajar undang-undang bahasa Arab, tidak akan bisa menjadi Imam Mujtahid
karena ia tidak akan pandai menggali isi Al-Quran sedalam-dalamnya.
Jadi hatus dipelajari semahir-mahirnya, bukan saja arti bahasa, tetapi ilmu-ilmu
yang bersangkutan dengan bahasa, seumpanya Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi',
Balaghah, ‘Arudh dan Qawafi karena dengan ilmu-ilmu itu baru bisa diketahui
yang mana dalam ayat ayat itu yang sifatnya umum, yang sifatnya khusus, yang
suruhan, yang larangan, yang pertanyaaan, yang nash (nyata), yang majaz
(tersirat), yang muthlaq, yang muqayad, yang berita, yang hikayat dan lain-lain
sebagainya.
Di dalam Al-Quran ada firman yang pada lahirnya Nampak “menyuruh",
tetapi pada hakikatnya “melarang” seumpama firman Allah :
إِنَّ
الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا ۗ أَفَمَن
يُلْقَىٰ فِي النَّارِ خَيْرٌ أَم مَّن يَأْتِي آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ اعْمَلُوا
مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya : "Sesungguhnya
orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari
Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik
ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki;
sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Fushilat : 40)
Kalau kita tidak mengetahui ilmu ma'ni maka akan tersesatlah kita dalam
memberikan arti kepada ayat ini karena bisa difahamkan bahwa Allah mengizinkan
dan bahkan menyuruh supaya orang mengerjakan apa yang disukainya saja, biar
pekerjaan jahat sekali pun. Padahal Allah dalam ayat ini bukan menyuruh, tetapi
melarang dan mengecam supaya orang jangan berbuat sesuka hatinya saja dengan
tidak memikirkan halal dan haramnnya.
Jadi ayat ini berarti larangan, bukan suruhan. Seperti halnya seorang bapak
yang bosan atas kelakuan anaknya yang nakal, lantas berkata, "Sesuka hatimulah, buatlah apa
yangkamu sukai!”
Contoh yang lain ada lagi,yaitu di dalam Al-Quran ada ayat yang tidak
menurut bahwasanya, yaitu Allah berfirman :
كُلُّ
مَنْ عَلَيْهَا فَانٍكُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو
الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya : "Semua yang
ada di bumi itu akan binasa. Dan
tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.".
(Ar Rahman : 26-27)
Adapun arti wajah dalam bahasa Arab adalah “muka”. Jadi menurut ayat ini,
sekalian yang ada akan lenyap atau binasa sedangkan yang kekal hanya "muka"
Tuhan. Orang-orang yang mengetahui sastra Arab, ahli Bayan dan Ma'ni tentu
mengetahui bahwa yang dimaksud dengan wajah dalam ayat ini
adalah"dzat" Tuhan bukan "muka" Tuhan. Maka arti yang
sebenarnya dari ayat ini adalah : "Sekalian yang ada akan lenyap/binasa,
kecuali "dzat" Tuhan. Kesimpulan dapat dikatakan bahwa orang yang
ingin menjadi Imam Mujtahid harus mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya,
kalau tidak ia akan berbuat banyak kesalahan.
Ada orang bertanya, bahwa di Indonesia sekarang sudah banyak kitab-kitab
terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang disusun dan dikarang oleh
penterjemah bangsa Indonesia. Sudah bolehkah kita menggali hukum fiqih dari
dalam Al-Quran, sedang kita hanya baru mengetahui arti ayat-ayat Al-Quran dari
kitab-kitab teriemahan itu ? Memang sudah ada beberapa kitab terjemahan
Al-Quran, dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan tegas pertanyaan di atas dapat
dijawab dengan "Belum bisa", karena:
a. Ada kemungkinan terjemahan itu tersalah atau salah, sedang kita tidak
mengetahui karena kita tidak mempunyat alat untuk mengoreksi kesalahan itu.
b. Kalau kita hanya mengikut saja kepada terjemahan pengarang-pengarang
itu, maka artinya kita masih bertaqlid, belum Mujtahid.
c. Dalam kenyataannya terjemahan-terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia
yang sudah ada di Indonesia, terdapat perbedaan-perbedaan arti satu sama lain
dari satu ayat. Masing-masingnya memberikan arti menurut pendapatnya saja.
Misalnya perkataan "laamas-tum" dalam Surat Nisa', ayat ke 43,
terdapat terjemahan yang berlain-lainan.
Dalam terjemahan A berbunyi : "Atau kamu telah menyentuh
perempuan" . (halaman 125).
Dalam terjemahan B berbunyi : "Atau kamu sentuh
perempuan-perempuan". (halaman 159).
Dalam terjemahan C berbunyi : 'Atau kamu sudah campur dengan isterimu".
(halaman 71).
Dalam terjemahan D berbunyi: "Atau kamu campur dengan perempuan".
(halaman 119).
Ma'af, di sini tidak dituliskan nama pengarang dari kitab terjemahan
Al-Quran itu, sebab pengarang-pengarangnya ada yang masih hidup dan mungkin
merasa keberatan kalau namanya dicantumkan di sini.
Ayat ini ialah tentang soal yang “membatalkan wudhu''. Perhatikanlah
baik-baik dengan tenang! Dengan keempat terjemahan itu, terdapat
perbedaan-perbedaan arti yang juga dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan hukum
yang keluar dari ayat ini.
Menurut terjemahan A, berarti bahwa sekalian persentuhan dengan perempuan
membatalkan wudhu’. Tidak perduli apakah perempuan itu ibu, saudara, anak,
mertua dan lain-lain sebagainya, karena dalam terjemahan itu hanya dikatakan : “atau kamu telah menyentuh
perempuan".
Menurut terjemahan B, timbul hukum bahwa bersentuh dengan seorang perempuan
tidak membatalkan wudhu'. Yang membatalkan ialah bersentuhan dengan banyak
perempuan, karena dalam terjemahannya dlkatakan : “atau kamu sentuh
perempuan-perempuan".
Menurut terjemahan C, menimbulkan pengertian bahwa bercampur dengan isteri
membatalkan wudhu'. Apakah arti "bercampur” dalam bahasa Indonesia ?
Artinya ialah bergaul atau berkumpul. Nah ! Menurut terjemahan C, bergaul saja
dengan isteri sudah membatalkan wudhu’, tetapi bergaul dengan perempuan lain
tidak membatalkan wudhu’, karena terjemahannya "atau kamu sudah campur dengan
isterimu”. Tetapi kalau yang dimaksudkan dengan "bercampur" itu
bersetubuh dengan isteri, maka yang membatalkan wudhu’, hanya bersetubuh dengan
isteri. Adapun bersetubuh dengan orang lain tidak membatalkan wudhu’. Apakah
begitu maksudnya ?
Menurut terjemahan D menimbulkan pengertian sama dengan terjemahan C. Akan
tetapi bagi terjemahan D adalah bercampur dengan perempuan, bukan dengan isteri
saja seperti terjemahan C.
Kesimpulannya, belumlah mungkin orang menggali hukum fiqih hanya
bersandarkan dan berpedoman kepada arti ayat yang diberikan oleh
pengarang-pengarang terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia. Sekali lagi
ditekankan bahwa syarat mutlaq bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui
bahasa Arab dalam segala seginya, karena Al Quran dan Hadits itu ditulis atau
diturunkan oleh Tuhan dalam bahasa Arab yang mutunya sangat tinggi.
d. Harus diketahui, bahwa ayat ayat AL-Quran itu ditafsirkan artinya dengan
hadits-hadits Nabi, atau dengan kata lain bahwa tafsiran Al-Quran haruslah
menurut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam tidak boleh
semaunya saja menurut kemauan kita. Karena itu adalah syarat muthlaq bagi
setiap Imam Mujtahid mengetahui seluruh hadits yang bersangkutan dengan ayat
itu, yaitu hadits-hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits yang 6 yaitu,
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah. Dus, tidak cukup
kalau baru hanya mengetahui tafsir Al-Quran dari Kitab-kitat Tafsir atau
Kitab-kitab Terjemahan bahasa Indonesia itu.
2. Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum
Al-Quran, yakni diketahui lebih dahulu mana di antara ayat Al-Quran itu yang
umum sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayan, yang muthlaq, yang
muqayad, yang zahir, yang nash, yang nasikh, yang mansukh, yang muhakkam yang
mutasyabih dan lain-lain sebagainya. Untuk mengetahui hal ini semuanya calon Imam
Mujtahid harus mengerti Ilmu ushul Fiqih, kalau tidak, tidaklah mungkin menjadi
Imam Mujtahid, tetapi harus menjadi orang bertaqlid saja kepada salah seorang
Imam Mujtahid.
Memang berat syarat-syarat ini, karena seperti yang dikatakan di atas,
bahwa jabatan Imam Mujahid itu adalah jabatan yang sangat tinggi, karena ia
adalah sebagai pengganti Rasulullah dalam membentuk hukum agama .
3. Syarat yang ketiga bagi lmam Mujtahid ialah mengerti akan isi dan maksud
Al-Quran keseluruhannya, ke 30 juznya. Pada ketika ia berijtihad dalam sesuatu
masalah semua isi dari Al-Quran terbayang di kepalanya, sehingga tidak
menimbulkan hukum yang bertentangan dengan salah satu dai ayat-ayat Al-Quran
itu. Imam Syafi'i rahimahullah dalam usia 9 tahun telah hafal
keseluruhan ayat Al-Quran di luar kepala, begitu juga Imam Hanafi telah hafal
seluruh ayat Al-Quran di luar kepala semasa beliau masih kecil. Adalah tidak
mungkin bagi seseorang Imam Mujtahid kalau ia hanya mengetahui 10, 20 atau 100
ayat saja, karena ayat-ayat Al-Quran sangkut-bersangkut antara satu dengan yang
lainnya.
Untuk menggambarkan kesulitannya, baiklah kami nukilkan perkataan Imam
Ibnul Arabi al Maliki, pengarang kitab Tafsir "Ahkamul Quran", bahwa
gurunya mengatakan kepadanya, bahwa dalam surat Al Baqarah saja terdapat seribu
perintah, seribu larangan, seribu hukum, seribu berita (Ahkamul Quran jilid
I, halaman 8).
4. Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui
'Asbabun-nuzul" bagi setiap ayat itu, yakni mengetahui sebab maka
ayat-ayat itu diturunkan. Seperti dimaklumi bahwa ayat-ayat suci Al-Quran bukan
diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur selama 23 (duapuluh tiga) tahun.
Setiap ayat itu diturunkan karena ada perlunya, umpamanya untuk menjawab
suatu pertanyaan dari rakyat, untuk mengalahkan sesuatu hujjah musuh, untuk
suatu kabar yang diperlukan dan lain-lain sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran
itu. Ini dinamai “Asbabun-nuzul", yaitu sebab-sebabnya turun. Setiap Imam
Muitahid harus mengetahui Asbabun-nuzul, kalau tidak maka ia akan tersalah
dalam mengartikan ayat-ayat itu.
Sebagai contoh dikemukakan, peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. Tersebut dalam Kitab. "Ahkamul Quran", juz l,halaman 28, bahwa
dulu ada orang yang tersalah dalam mengartikan ayat, karena tidak tahu sebabnya
maka ayat iru dirurunkan. Mereka membolehkan minum arak berdalilkan ayat Al
Quran yang tersebut dalam surat Al Maidah, ayat 93 begini :
لَيْسَ
عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا
مَا اتَّقَوا وَّآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّآمَنُوا
ثُمَّ اتَّقَوا وَّأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Aytinya : "Tidak
ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena
memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman,
dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan
beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS AI Maidah : 93).
Nah, kata mereka, ayat ini membolehkan memakan atau meminum apa saja, kalau
sudah mu'min dan sudah beramal saleh. Mereka tersalah dalam memberi arti kepada
ayat ini karena tidak mengetahui “asbabun-nuzul", sebab-sebabnya maka ayat
ini diturunkan.
Ayat ini justru untuk melarang minum arak, bukan untuk membolehkannya.
Ceritanya begini : Dulu orang-orang Islam banyak minum arak, yakni sebelum
dilarang. Kemudian turun ayat tersebut dalam surat Ar Baqarah : 219, yang
menyuruh berhenti meminum arak itu. Sekumpulan orang Islam bertanya kepada
Rasulullah : "Bagaimana-halnya
kami yang sudah banyak minum arak dulu itu, yakni sebelum dilarang?” Maka turunlah ayat Al Maidah 93
ini, bahwa yang telah termakan atau terminum yang dulu-dulu itu tidak berdosa
asal sekarang sudah iman dan sudah beramal saleh. Maka ayat ini turunnya untuk
mencukupkan keterangan larangan, bukan untuk membolehkan apa saja untuk dimakan
atau diminum.
b. Allah berfirman :
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ
اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya : "Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS AI Baqarah : 115).
Kalau menurut lahir atau lafazh ayat ini saja bisa timbul hukum, bahwa
menghadap kiblat dalam sembahyang tidak wajib, karena wajah Allah ada di
mana-mana. Pengertian semacam itu salah. Ummat Islam dari dulu sampai sekarang
telah ijma' (sepakat) mewajibkan menghadap kiblat dalam shalat yang lima waktu
dan shalat yang sunnat yang lain. Kesalahan pengertian ayat itu timbul karena
tidak mengetahui 'Asbabun-nuzul" yaitu sebab maka ayat itu diturunkan.
Sebab turunnya ayat ini adalah :
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam membutuhkan
banyak shalat sunnat, tetapi beliau dalam perjalanan mengendarai onta dari
Mekkah ke Madinah. Pada ketika itu turun ayat tadi yang memberi izin untuk
menghadap kemana saja pada ketika shalat sunnat dalam perjalanan di atas
kendaraan. Jadi ayat ini khusus untuk shalat sunnat dalam perjalanan. Seseorang
berlayar dengan kapal api, atau terbang dengan pesawat udara, atau berjalan
jauh dengan mobil, sedang ia akan shalat sunnat. Pada ketika itu ia boleh
menghadap dalam shalat kemana kendaraannya menghadap karena wajah Allah itu ada
di mana-mana. Inilah arti ayat ini yang sebenarnya,yang mana kalau tidak tahu
kisah ini, niscaya akan tersalah dalam menggali hukum dalam ayat ini.
Kesimpulannya : Ilmu Asbabun-nuzul adalah syarat bagi seseorang yang
menjadi Imam Muitahid!
5. Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui
hadits-hadits Nabi, sekurangnya apa yang telah termatub dalam Kitab-kitab
Hadits yang 6, yaitu: 1. Sahih Bukhari, 2. Sahih Muslim. 3. Sahih Tirmidzi. 4.
Sunan Nisai, 5. Sunan Abi Daud dan ke 6. Sunan Ibnu Majah. Dan sebaiknya
mengerti juga hadits-hadits yang tersebut dalam Musnad Ahmad bin Hanbal,
Mustadrak Hakim, Sahih Ibnu Hibban, SahihTabhrani, Sunan Daruquthni dan lain
sebagainya.
Hal ini sangat perlu, karena hukum-hukum fiqih ini bersumber kepada Quran
dan Hadits, bukan kepada Quran saja atau kepada aqal saja, atau pendapat
manusia saja. Karena itu setiap Imam Mujtahid harus mengerti Quran dan Hadits.
6. Syarat yang ke-enam bagi setiap lmam Mujtahid ialah berkesanggupan
menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih mana yang maudhu' (yang dibuat-buat
oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, dan mana hadits yang lemah. Hal
ini dapat diketahui dengan mengetahui pula si"Rawi” yakni keadaannya orang
yang meriwayatkan hadits itu. Ini penting, kalau tidak, kita akan terjerumus
kepada mengambil hadits-hadits yang palsu, yang bercacat, yang lemah dan
lain-lain sebagainya.
7. Mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam
masalah-masalah yang dihadapi. Ini sangat perlu, agar setiap Imam Mujtahid
tidak terjerumus kepada mengeluarkan hukum yang melawan ijma', yaitu
kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam suatu zaman. Oleh karena itu sekurangnya
ia harus membaca dan memahami kitab-kitab karangan Imam Hanafi, Imam Maliki,
Imam syafi’i, dan Imam Hanbali, yang semuanya bisa didapat waktu sekarang,
karena sudah banyak dicetak pada percetakan-percetakan di Mesir.
Demikianlah diantaranya syarat-syarat yuridis bagi seorang Imam Mujtahid,
di samping ada pula syarat-syarat yang lain, yaitu shaleh dan bertaqwa kepada
Allah, berakhlak yang tinggi, tidak sombong dan tidak takabbur, tidak melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang keji yang dilarang oleh agama Islam.
Nah, cobalah ukur diri kita masing-masing, apakah kita sudah mempunyai
syarat yang cukup untuk menjadi imam Mujtahid atau belum. Kalau sudah cukup,
dan benar-benar cukup, silahkanlah menjadi Imam Mujtahid dan tampilah kemuka
secara terus terang mengatakan :"INILAH IJTIHAD SAYA”. Ummat yang banyak
ini, yang kebanyakan sudah cerdas pula, tentu akan member nilai, apakah
benar-benar orang ini sudah berhak menjadi Imam Mujtahid, ataukah masih
“taqlid” kepada ulama-ulama lain.
Akan tetapi, kalau umpamanya belum memenuhi syarat di atas janganlah
buru-buru, belajarlah dulu sampai matang. Ketika itu ikut saja salah seorang
dari Imam Mujtahid yang terdahulu, umpamanya Imam Syafi'i rahimahullah,misalnya.
Mengikuti Imam Mujtahid ini pada hakekatnya adalah mengikut Quran dan Hadits
dalam arti yang sebenarnya, kata Syeikh Yusuf Dajwi, seorang yang pernah
menjadi guru besar Universitas AI Azhar di Mesir.