Selasa, 31 Mei 2011

6. Masih Adakah Imam Mujtahid?

Satu soal yang banyak dibicarakan dalam dunia Islam pada masa terakhir ini ialah persoalan tentang masih ada atau tidakkah Imam Mujtahid pada waktu sekarang atau pada waktu yang akan datang ? Sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini, lebih baik kita ketahui lebih dahulu bahwa derajat Imam Mujtahid Muthlak (Mujtahid penuh) adalah derajat yang tinggi sukar dicapai oleh sembarang orang, apalagi kalau orang itu tidak pernah masuk Sekolah Tinggi Agama Islam dalam dalam arti yang sebenarnya.
Betapa tidak, pangkat itu adalah seolah-olah pangkat Nabi, pengganti Nabi, Khalifah Nabi dalam memberikan hukum-hukum sesuatu persoalan. Ia menggantikan Nabi dalam membina hukum-hukum syari'at Islam, yang mana fatwanya itu dapat menyelamatkan manusia dunia dan akhirat. Alangkah mulia dan tingginya pangkat itu!!...
Pada zaman sahabat Nabi, tidak ada yang berani muncul menjadi Mujtahid kecuali hanya kita-kira 130 orang sedang yang lain hanya menjadi Muballigh, menyampaikan hadits-hadits dan menyampaikan hukum-hukum ijtihad orang lain, tidak berani berijtihad sendiri. Pada zaman Tabi'in dan Tabi' Tabiin pun, yaitu zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama tidak banyak orang yang sampai ke derajat Imam Mujtahid, paling banyak hanya 10 orang.
Barangkali tidak ada orang yang tidak kagum dengan ilmu Imam Ghazali, atau ilmu Imam Bukhari ahli Hadits yang terkenal atau ilmu Imam Nawawi, tetapi beliau-beliau ini belum berani menyatakan bahwa beliau sampai ke derajat Mujtahid Muthlak (penuh). Beliau-beliau itu masih mengatakan bahwa beliau Taqlid kepada lmam Syafi’i rahimahullah.
Banyak Ulama dari abad-abad kemudian yang tinggi-tinggi ilmunya, yang dapat menghafal beribu-ribu hadits yang dapat menghafal Al-Quran di luar kepala, yang tahu seluk beluknya bahasa Arab, tetapi hampir tidak ada yang mau menjadi Imam Mujtahid yang langsung berfat'wa menurut ijtihad sendiri. Mereka lebih aman menjadi orang yang taqlid dibanding menjadi Imam Mujtahid, karena menjadi Imam Mujtahid besar sekali resikonya, besar sekali bahayanya, bisa menyesatkan ummat dan akhirnya bisa merusak agama.
Cobalah perhatikan, tidak sedikit orang yang telah mencoba menjadi Imam Mujtihid, tetapi fatwanya itu tidak laku, tidak diterima orang dan akhirnya hilang diterbangkan angin. Hal ini disebabkan karena sendi-sendi ijtihadnya tidak kuat. Banyak orang yang berfatwa di atas mimbar memfatwakan ini dan itu, kadang-kadang sampai mengecam Imam-imam Mujtahid. Kemudian fatwanya sebentar saja sudah hilang lenyap karena sendi-sendinya tidak kuat. Demikianlah keadaannya.
Dalam hal ini sudah terdapat dua pendapat. Imam Rafi’i seorang Ulama pada abad VII H., berkata : "Orang-orang tampaknya sudah sepakat bahwa tidak ada lagi Imam Mujtahid pada waktu sekarang". (Maksudnya pada abad VII H.).
lmam Ghazali mengatakan dalam abad VI : "Sesungguhnya tidak berisi zaman ini dengan Mujtahid Muthlak".
Berkata lmam lbnu Daqiqil 'id pada abad VII H. : "Tidak ada zaman yang kosong dari Imam Mujtahid."
Berkata Imam Abu Ishak Sirazi pada permulaan abad,IV H. : "Tidak boleh satu masa kosong dari Imam Mujtahid”.
Demikianlah pendapat-pendapat itu. Perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa semua Imam tersebut adalah Ulama-ulama penganut Madzhab Syafi’i. Beliau-beliau itu hanya berselisih pendapat tentang "ada dengan tidak", bukan antara "boleh dengan tidak".
Yang mengatakan tidak ada itu bukan artinya ia melarang, tetapi hanya mengatakan bahwa tidak ada Imam Mujtahid pada abadnya itu, atau tidak ada lagi orang yang dapat mencapai derajat Imam Mujtahid Muthlaq. Beliau-beliau itu bukan mengatakan terlarang unfuk menjadi Imam Mujtahid Muthlaq yang baru, atau haram menjadi Imam Mujtahid Muthlaq baru, bukan begitu maksudnya. Beliau-beliau itu bersatu hati bahwa syarat untuk menjadi Mujtahid Muthlaq sangat berat, sangat sulit sehingga ada yang mengatakan tak sanggup orang ketika itu, apalagi zaman sekarang. Tetapi andaikata ada yang sanggup, yang betul betul sanggup, silakanlah dan tidak perlu diomongkan, bekerjalah dan orang akan menilai hasil karyanya. Yang sangat dikhawatirkan adalah bisikan iblis yang dengan sengaja membisikkan ke teringa orang-orang agar ia meloncat ke muka, menggali hukum, member fatwa, padahal belum pada tempatnya, sehingga nanti menjadi Imam Mujtahid gadungan yang merusak-binasakan agama .
Umpamanya saja orang yang belum insinyur dan bahkan belum sekolah tukang, tetapi ia bekerja berkeras hati hendak membuat gedung pencakar langit. Dibuatnya juga sebentar akan runtuh.  Seseorang yang belum belajar menyetir mobil, tapi berkeras hati membawa dan melarikan mobil. Akhirnya masuk jurang, bukan ? Yang lebih baik kalau belum pandai menyetir mobil duduk sajalah di belakang, serahkanlah setir kepada yang ahlinya supaya selamat. Kita selamat, penumpang selamat dan mobil pun selamat.
Apakah taqlid tidak menghambat kemajuan ? Tidak, bukan itu maksudnya. Tapi demi keselamatan Agama, demi keagungan Agama Tuhan, serahkanlah itu kepada yang ahlinya. Adalah lebih baik dan lebih aman bagi orang-orang yang belum sampai kepada derajat ijtihad, agar ia berfatwa menurut ajaran Imamnya yang ahli. Kalau bertabligh boleh mengemukakan hadits dan Quran, tetapi tafsirnya haruslah menurut yang difatwakan oleh Imam-imam Tafsir. Dan kalau mengadili sesuatu soal dalam fiqih, boleh mengeluarkan hadits dan Quran, tetapi tafsinya haruslah mengikuti Imamnya, jangan bermain di luar garis. Inilah yang paling aman!

Pada sub bab berikutnya, kami contohkan beberapa fatwa dari Mujtahid-mujtahid Gadungan atau Mujtahid palsu yang mencoba-coba bermain api, memberikan tafsir Quran menurut semaunya saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar