Satu soal yang banyak
dibicarakan dalam dunia Islam pada masa terakhir ini ialah persoalan tentang
masih ada atau tidakkah Imam Mujtahid pada waktu sekarang atau pada waktu yang
akan datang ? Sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini, lebih baik kita ketahui
lebih dahulu bahwa derajat Imam Mujtahid Muthlak (Mujtahid penuh) adalah
derajat yang tinggi sukar dicapai oleh sembarang orang, apalagi kalau orang itu
tidak pernah masuk Sekolah Tinggi Agama Islam dalam dalam arti yang sebenarnya.
Betapa tidak, pangkat
itu adalah seolah-olah pangkat Nabi, pengganti Nabi, Khalifah Nabi dalam
memberikan hukum-hukum sesuatu persoalan. Ia menggantikan Nabi dalam membina
hukum-hukum syari'at Islam, yang mana fatwanya itu dapat menyelamatkan manusia
dunia dan akhirat. Alangkah mulia dan tingginya pangkat itu!!...
Pada zaman sahabat Nabi,
tidak ada yang berani muncul menjadi Mujtahid kecuali hanya kita-kira 130 orang
sedang yang lain hanya menjadi Muballigh, menyampaikan hadits-hadits dan
menyampaikan hukum-hukum ijtihad orang lain, tidak berani berijtihad sendiri.
Pada zaman Tabi'in dan Tabi' Tabiin pun, yaitu zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan agama tidak banyak orang yang sampai ke derajat Imam Mujtahid,
paling banyak hanya 10 orang.
Barangkali tidak ada
orang yang tidak kagum dengan ilmu Imam Ghazali, atau ilmu Imam Bukhari ahli
Hadits yang terkenal atau ilmu Imam Nawawi, tetapi beliau-beliau ini belum
berani menyatakan bahwa beliau sampai ke derajat Mujtahid Muthlak (penuh).
Beliau-beliau itu masih mengatakan bahwa beliau Taqlid kepada lmam Syafi’i rahimahullah.
Banyak Ulama dari
abad-abad kemudian yang tinggi-tinggi ilmunya, yang dapat menghafal beribu-ribu
hadits yang dapat menghafal Al-Quran di luar kepala, yang tahu seluk beluknya
bahasa Arab, tetapi hampir tidak ada yang mau menjadi Imam Mujtahid yang
langsung berfat'wa menurut ijtihad sendiri. Mereka lebih aman menjadi orang
yang taqlid dibanding menjadi Imam Mujtahid, karena menjadi Imam Mujtahid besar
sekali resikonya, besar sekali bahayanya, bisa menyesatkan ummat dan akhirnya
bisa merusak agama.
Cobalah perhatikan,
tidak sedikit orang yang telah mencoba menjadi Imam Mujtihid, tetapi fatwanya
itu tidak laku, tidak diterima orang dan akhirnya hilang diterbangkan angin.
Hal ini disebabkan karena sendi-sendi ijtihadnya tidak kuat. Banyak orang yang
berfatwa di atas mimbar memfatwakan ini dan itu, kadang-kadang sampai mengecam
Imam-imam Mujtahid. Kemudian fatwanya sebentar saja sudah hilang lenyap karena
sendi-sendinya tidak kuat. Demikianlah keadaannya.
Dalam hal ini sudah
terdapat dua pendapat. Imam Rafi’i seorang Ulama pada abad VII H., berkata :
"Orang-orang tampaknya sudah sepakat bahwa tidak ada lagi Imam Mujtahid
pada waktu sekarang". (Maksudnya pada abad VII H.).
lmam Ghazali mengatakan
dalam abad VI : "Sesungguhnya tidak berisi zaman ini dengan Mujtahid
Muthlak".
Berkata lmam lbnu
Daqiqil 'id pada abad VII H. : "Tidak ada zaman yang kosong dari Imam
Mujtahid."
Berkata Imam Abu Ishak
Sirazi pada permulaan abad,IV H. : "Tidak boleh satu masa kosong dari Imam
Mujtahid”.
Demikianlah
pendapat-pendapat itu. Perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa semua Imam
tersebut adalah Ulama-ulama penganut Madzhab Syafi’i. Beliau-beliau itu hanya
berselisih pendapat tentang "ada dengan tidak", bukan antara
"boleh dengan tidak".
Yang mengatakan tidak
ada itu bukan artinya ia melarang, tetapi hanya mengatakan bahwa tidak ada Imam
Mujtahid pada abadnya itu, atau tidak ada lagi orang yang dapat mencapai
derajat Imam Mujtahid Muthlaq. Beliau-beliau itu bukan mengatakan terlarang
unfuk menjadi Imam Mujtahid Muthlaq yang baru, atau haram menjadi Imam Mujtahid
Muthlaq baru, bukan begitu maksudnya. Beliau-beliau itu bersatu hati bahwa
syarat untuk menjadi Mujtahid Muthlaq sangat berat, sangat sulit sehingga ada
yang mengatakan tak sanggup orang ketika itu, apalagi zaman sekarang. Tetapi
andaikata ada yang sanggup, yang betul betul sanggup, silakanlah dan tidak
perlu diomongkan, bekerjalah dan orang akan menilai hasil karyanya. Yang sangat
dikhawatirkan adalah bisikan iblis yang dengan sengaja membisikkan ke teringa
orang-orang agar ia meloncat ke muka, menggali hukum, member fatwa, padahal
belum pada tempatnya, sehingga nanti menjadi Imam Mujtahid gadungan yang
merusak-binasakan agama .
Umpamanya saja orang
yang belum insinyur dan bahkan belum sekolah tukang, tetapi ia bekerja berkeras
hati hendak membuat gedung pencakar langit. Dibuatnya juga sebentar akan
runtuh. Seseorang yang belum belajar menyetir mobil, tapi berkeras hati
membawa dan melarikan mobil. Akhirnya masuk jurang, bukan ? Yang lebih baik
kalau belum pandai menyetir mobil duduk sajalah di belakang, serahkanlah setir
kepada yang ahlinya supaya selamat. Kita selamat, penumpang selamat dan mobil
pun selamat.
Apakah taqlid tidak
menghambat kemajuan ? Tidak, bukan itu maksudnya. Tapi demi keselamatan Agama,
demi keagungan Agama Tuhan, serahkanlah itu kepada yang ahlinya. Adalah lebih
baik dan lebih aman bagi orang-orang yang belum sampai kepada derajat ijtihad,
agar ia berfatwa menurut ajaran Imamnya yang ahli. Kalau bertabligh boleh
mengemukakan hadits dan Quran, tetapi tafsirnya haruslah menurut yang
difatwakan oleh Imam-imam Tafsir. Dan kalau mengadili sesuatu soal dalam fiqih,
boleh mengeluarkan hadits dan Quran, tetapi tafsinya haruslah mengikuti
Imamnya, jangan bermain di luar garis. Inilah yang paling aman!
Pada sub bab berikutnya,
kami contohkan beberapa fatwa dari Mujtahid-mujtahid Gadungan atau Mujtahid
palsu yang mencoba-coba bermain api, memberikan tafsir Quran menurut semaunya
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar