Senin, 23 Mei 2011

3. Fatwa Agama Sesudah Nabi Wafat.

Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau meninggalkan Quran-suci yang ditulis di atas tulang-tulang, pelepah tamar, tembikar, batu atau apa saja yang dapat ditulis. Yang ditulis ketika itu hanya Quran saja. Beliau juga meninggalkan hadits-hadits yang tersimpan dalam dada para sahabat. Tentang hadits tidak sama halnya antara para sahabat Nabi; ada yang banyak menghafal perkataan Nabi karena selalu berjumpa dengan Nabi dan yang menghafal sedikit karena ia jarang bertemu dengan Nabi dan bahkan ada pula yang menghafal hanya satu atau dua hadits saja karena ia banyak utusan di luar. Oleh karena itu biasa pula terjadi sesudah Nabi wafat seorang sahabat Nabi bertanya kepada sahabat yang lain tentang hadits-hadits Nabi karena ia ketika itu kebetulan tidak mendengar dari Nabi. (Ini logis saja).
Walaupun sahabat-sahabat yang ditinggalkan Nabi beribu-ribu jumlahnya, (ingatlah pada ketika haji wada', (penghabisan) Nabi naik haji bersama 124.000 orang sahabat), tetapi yang berani berfatwa sesudah Nabi wafat hanya lk. 130 orang sahabat saja. Dan itupun diantara mereka ada yang banyak fatwanya,ada yang sedang saja dan ada pula yang hanya satu dua saja. Golongan yang banyak tahu dan banyak 'alim sehingga banyak fatwanya adalah 7 orang saja, yaitu :
1. Saidina umar bin Khattab, sahabat dan Khalifah Nabi yang kedua.
2. Ali bin Abi Thalib, sahabat dan menantu Nabi. (Suami Sitti Fatimah radhiyallhu anha) dan Khalifah Nabi yang keempat.
3. Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat yang banyak ilmunya.
4. Sitti 'Aisyah, isteri Nabi, Ummul Mu’minin.
5. Zeid bin Tsabit, jurutulis yang banyak menuliskan Quran.
6. Abdullah bin Abbas, sahabat ahli hadits dan ahli tafsir.
7- Abdullah bin Umar, sahabat Nabi yang hampir selalu mengikuti Nabi ketika pergi berjihad.
Inilah nama 7 orang sahabat Nabi yang banyak memberikan fatwa sesudah Nabi meninggal, karena beliau-beliau itu banyak mengetahui ayat-ayat Quran dan banyak mendengar hadits-hadits Nabi. Akan tetapi semua sahabat Nabi yang mendengar ucapan-ucapan Nabi dan melihat perbuatan-perbuatan Nabi dan yang mengetahui ketetapan-ketetapan yang diambil oleh Nabi, semuanya menyampaikan yang didengarnya itu kepada murid (ummat)nya yang di bawah, yaitu yang dinamakan para tabi’in (orang-orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menggembirakan orang-orang yang memangku hadits-hadits dan menyampaikannya kepada muridnya sebagai yang ia dengar. Nabi bersabda :
نَضَّرَ اللهُ مْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَأَدَّاهَاكَمَاسَمِعَهَا
Artinya : "Mencemerlangkan AIIah akan orang-orang yang mendengar ucapan-ucapan saya, menyimpan di dalam dada dan menyampaikan kepada murid-muridnya sebagai yang ia dengar". (HR. Baihaqi).
Itulah orang yang dinamakan “Rawi”, yaitu yang merawikan.meriwayatkan hadits dari yang satu kepada yang lain. Adapun sahabat-sahabat yang lebih kurang 130 orang tadi, selain ia menjadi Rawi, juga ia mengeluarkan hukum dari hadits itu dan berfatwa sesuai dengan “ijtihad” (pendapatnya). Tidak banyak sahabat Nabi yang sanggup menjadi Imam Mujtahid, yang sanggup berfatwa berdasarkan ijtihadnya masing-masing.
Berkata Masruq sahabat Nabi, “Saya lihat para sahabat Rasulullah yang tua-tua umurnya bertanya kepada Sitti Aisyah tentang hukum faraidh (tarekah)". . Berkata Ibnu Jureir, "Bahwasanya Abdullah bin Umar dan orang-orang yang hidup kemudiannya di Madinah, berfatwa dengan Madzhab Zaid binTsabit". Teranglah dalam ucapan Ibnu Jureir ini bahwa sesudah Nabi wafat ada di antara sahabat-sahabat Nabi yang menjadi Imam Mujtahid dan ada pula yang bertaqlid kepada salah seorang Imam Mujtahid itu.
Adapun sahabat-sahabat Nabi yang sedang saja banyak fatwanya adalah:
1.  Saidina Abu Bakar, sahabat yang pertama dan utama, Khalifah ke I. Ikut bersama Nabi pindah ke Madinah. (wafat 11 H.)
2.  Ummi Salamah, isteri Nabi, Ummul Mu'minun.
3.  Anas bin Malik, sahabat dan Khadam Nabi.
4.  Abu Hurairah, sahabat yang bersama Nabi ketika suka dan duka. (Banyak merawikan hadits, tapi fatwanya tak begitu banyak).
5.  Utsman bin Affan, sahabat Nabi yang utama, Khalifah ke III.
6. Dan ada 15 orang lagi.
Inilah sahabat-sahabat Nabi yang fatwanya tidak begitu banyak.
Selain sahabat-sahabat Nabi yang tersebut, maka sahabat-sahabat yang lain, sedikit sekali yang berfatwa sesudah Nabi meninggal. Boleh dikatakan bahwa sedikit sekali diantara sahabat-sahabat Nabi yang menjadi Imam Mujtahid, hanya beliau-betiau yang tersebut di atas saja.
Kita sudah mengetahui dalam sejarah ummat Islam, bahwa pada masa Khalifah sesudah Nabi meninggal, negeri Islam sudah luas. Pada masa Saidina umar bin Khathab saja agama Islam sudah meluas ke Mesir, ke palestina, ke Persia dan pada masa Khalifah Bani Umaiyah dan Bani Abbas, Islam sudah meluas sampai ke seluruh penjuru dunia. Ke Barat sampai Aljazair, ke Marokko, ke Spanyol dan ke Timur sampai ke Afganistan, ke Turkistan dan bahkan sudah sampai ke Tiongkok.
Sesuai dengan perkembangan Islam dan sesuai pula dengan luasnya daerah-daerah yang memeluk agama Islam, maka para sahabat Nabi dan para tabi’in (orang-orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi) bertebaran pula ke pelosok dunia untuk mengembangkan agama Islam yang dipeluknya. Para sahabat yang bertebaran itu menjumpai bermacam-macam soal baru yang belum ada nashnya (hukumnya yang kelihatan) di dalam Al-Quran dan Hadits, sehingga mereka berijtihad sendiri untuk menetapkan hukum-hukum dalam masalah yang baru itu. Maka berijtihadlah mereka kalau mereka tidak menjumpai nash dalam Al-Quran dan Hadits, karena ijtihad itu, baru dibolehkan kalau nash tidak ada. Sudah menjadi tugas Imam Mujtahid mengeluarkan hukum-hukum dari isi Al-Quran dan Hadits yang mana itu tidak dapat dilihat oleh orang biasa.
Inilah yang dinamakan "istinbath", yaitu menggali hukum. Dan hukum-hukum yang didapat sesudah digali, itulah yang dinamakan madzhabnya orangyang menggali itu. Ini madzhab Syafi’i karena digali oleh Syafi’i. Ini madzhab Maliki, karena digali oleh Maliki dan begitulah seterusnya. Hal ini dibolehkan dan direstui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Tirmidzi dan lain-lain, tersebut begini :
عَنْ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّابَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَفِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدُرَأْيِ وَلاَآلُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ : اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ
Artinya : "Dari Mu'adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepadanya, " Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa ke depanmu ?""Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah" jawab Mu'adz. Nabi bertanya lagi, "Kalau tak tersebut dalam Kitabullah, bagaimana ?"Jawab Mu'adz, " Saya akan memutuskannya menurut Sunnah Rasul". Nabi bertanya lagi, " Kalau engkau tak menemui hal itu dalam Sunnah Rasul dan Kitabullah, bagaimana?"Mu'adz menjawab, "Pada ketika itu saya akan berijtihad tanpa bimbang sedikitpun". Mendengar jawab itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata, " Semua puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya". (Hadits riwayat Imam Tirmidzi dan Abu Daud. Lihat kitab SahihTirmidzi juzu' II, halaman 68 - 69 dan Sunan Abu Daud, juz, lll, halaman 303).
Hadits ini terang benderang, bahwa seorang qadli (hakim) harus berfatwa dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul dan kalau tidak dijumpai dalam Kitab Allah dan Rasul barulah ia berijtihad. Hal ini disetujui oleh Rasulullah, sesuai dengan Hadits Mu'adz ini. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada pula bersabda :
إِذَااجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصاَبَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَأَخْطَأَفَلَهُ أَجْرٌوَاحِدٌ
Artinya : "Hakim (Imam-imam kalau ia beijtihad dan betul dalam ijtihadnya, maka ia dapat dua pahala, tetapi kalau ia salah dalam ijtihadnya (dengan arti tidak sesuai dengan yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala) maka ia dapat juga satu pahala." (Hadits riwayat Muslim-Lihat Syarah Muslim juz Xll, halaman 13).
Dengan diberinya pahala Imam-imam Mujtahid yang berijitihad itu, membuktikan kepada kita bahwa pekerjaan ijtihad itu adalah suatu pekerjaan yang direstui oleh agama. Dalam suatu surat amanat yang dikirim Saidina Umar radhiyallahu anhu kepada Walinya di Basrah, Abu Musa al Asy'ari, beliau berkata :
 اَلْفَهْمَ اَلْفَهْمَ فِيْمَاتَلَجْلَجَ فِى صَدْرِكَ مِمَّالَيْسَ فِى كِتَابٍ وَلاَسُنَّةٍ اِعْرِفِ الْأَشْبَاهَ وَالْأَمْثَالَ وَقِسِ الْأُمُوْرَعِنْدَ ذَلِكَ
Artinya : "Fahamkan, fahamKan benar sekalian soal yang bergolak dalam dadamu, yang tidak terdapat (hukumnya) dalam Kitab dan Sunnah. Perhatikanlah yang serupa dan sebanding, ketika itu qiyaskanlah yang satu kepada yang lain.”(Kitab Syafi’i, Muhammad Abu Zarah, halaman 64).
Teranglah bahwa Khalifah Nabi, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, menyuruh juga utusannya berijtihad dalam suatu hukum masalah yang tidak terdapat nashnya dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul. Berkata Syaharstani dalam kitab al Milal wan Nihal : “Bahwasanya hal-hal yang baru dan kejadian-kejadian dalam pergaulan sehari-hari banyak sekali datang silih berganti, tak terhitung banyaknya. Sampai akhir zaman, akan terus begini."
Kita mengetahui dengan pasti bahwa "nash,, Quran dan Hadits tidak ada yang membicarakan hal ini  satu persatu. Ini pasti dan juga tidak mungkin ada hadits dan Quran untuk tiap-tiap sesuatunya itu. Karena Quran dan Hadits ditutup setelah selesai pada waktu Nabi meninggal, sedang hal-hal dan kejadian ini terjadi terus menerus. Tidak masuk akal bahwa barang yang telah tertutup dan telah berhenti dapat membicarakan hal-hal yang baru yang silih berganti. Wahyu tak turun lagi sedang kejadian-kejadian tetus berlangsung. Karena itu dapat dimaklumi bahwa ijtihad dan qiyas (perbandingan -perbandingan) itu mesti, wajib, tidak boleh tidak, supaya setiap sesuatu ada hukumnya.

Para sahabat Nabi sesudah Nabi meninggal, dihadapkan kepada kejadian baru yang belum pernah ada pada zaman Nabi, maka mereka meneliti ayat ayat Quran adakah hukum hal itu di dalamnya ? Kalau ada, mereka menghukum dengan Al Quran, tetapi kalau tidak ada hukum yang nyata maka mereka mencari dalam hadits-hadits. Kalau hal ini juga tidak menolong, dengan arti tidak seorang jugapun di antara para sahabat yang mengetahui sebuah hadits yang sesuai dengan masalah yang terjadi, maka mereka ber"ijtihad" sendiri. Hal ini sama dengan seorang hakim pengadilan yang terikat dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang terdahulu maka mereka menghukum sendiri dengan keinsyafan bathin mereka dengan pertanggungan jawabnya kepada Tuhan. Demikian kata Syaharstani yang diterjemahkan secara bebas. Dapat dimaklumi dari perkataan beliau ini bahwa ijtihad itu mesti dan perlu, kalau tidak, agma akan mandek, akan terhenti dan tidak akan sanggup menghadapi zaman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar