Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau meninggalkan Quran-suci
yang ditulis di atas tulang-tulang, pelepah tamar, tembikar, batu atau apa saja
yang dapat ditulis. Yang ditulis ketika itu hanya Quran saja. Beliau juga
meninggalkan hadits-hadits yang tersimpan dalam dada para sahabat. Tentang
hadits tidak sama halnya antara para sahabat Nabi; ada yang banyak menghafal
perkataan Nabi karena selalu berjumpa dengan Nabi dan yang menghafal sedikit
karena ia jarang bertemu dengan Nabi dan bahkan ada pula yang menghafal hanya
satu atau dua hadits saja karena ia banyak utusan di luar. Oleh karena itu
biasa pula terjadi sesudah Nabi wafat seorang sahabat Nabi bertanya kepada
sahabat yang lain tentang hadits-hadits Nabi karena ia ketika itu kebetulan
tidak mendengar dari Nabi. (Ini logis saja).
Walaupun sahabat-sahabat
yang ditinggalkan Nabi beribu-ribu jumlahnya, (ingatlah pada ketika haji wada',
(penghabisan) Nabi naik haji bersama 124.000 orang sahabat), tetapi yang berani
berfatwa sesudah Nabi wafat hanya lk. 130 orang sahabat saja. Dan itupun
diantara mereka ada yang banyak fatwanya,ada yang sedang saja dan ada pula yang
hanya satu dua saja. Golongan yang banyak tahu dan banyak 'alim sehingga banyak
fatwanya adalah 7 orang saja, yaitu :
1. Saidina umar bin
Khattab, sahabat dan Khalifah Nabi yang kedua.
2. Ali bin Abi Thalib,
sahabat dan menantu Nabi. (Suami Sitti Fatimah radhiyallhu anha) dan Khalifah
Nabi yang keempat.
3. Abdullah bin Mas'ud,
seorang sahabat yang banyak ilmunya.
4. Sitti 'Aisyah, isteri
Nabi, Ummul Mu’minin.
5. Zeid bin Tsabit,
jurutulis yang banyak menuliskan Quran.
6. Abdullah bin Abbas,
sahabat ahli hadits dan ahli tafsir.
7- Abdullah bin Umar,
sahabat Nabi yang hampir selalu mengikuti Nabi ketika pergi berjihad.
Inilah nama 7 orang
sahabat Nabi yang banyak memberikan fatwa sesudah Nabi meninggal, karena
beliau-beliau itu banyak mengetahui ayat-ayat Quran dan banyak mendengar
hadits-hadits Nabi. Akan tetapi semua sahabat Nabi yang mendengar ucapan-ucapan
Nabi dan melihat perbuatan-perbuatan Nabi dan yang mengetahui
ketetapan-ketetapan yang diambil oleh Nabi, semuanya menyampaikan yang
didengarnya itu kepada murid (ummat)nya yang di bawah, yaitu yang dinamakan
para tabi’in (orang-orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menggembirakan orang-orang yang
memangku hadits-hadits dan menyampaikannya kepada muridnya sebagai yang ia
dengar. Nabi bersabda :
نَضَّرَ
اللهُ مْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَأَدَّاهَاكَمَاسَمِعَهَا
Artinya :
"Mencemerlangkan AIIah akan orang-orang yang mendengar ucapan-ucapan saya,
menyimpan di dalam dada dan menyampaikan kepada murid-muridnya sebagai yang ia
dengar". (HR. Baihaqi).
Itulah orang yang
dinamakan “Rawi”, yaitu yang merawikan.meriwayatkan hadits dari yang satu
kepada yang lain. Adapun sahabat-sahabat yang lebih kurang 130 orang tadi,
selain ia menjadi Rawi, juga ia mengeluarkan hukum dari hadits itu dan berfatwa
sesuai dengan “ijtihad” (pendapatnya). Tidak banyak sahabat Nabi yang sanggup
menjadi Imam Mujtahid, yang sanggup berfatwa berdasarkan ijtihadnya
masing-masing.
Berkata Masruq sahabat
Nabi, “Saya lihat para sahabat Rasulullah yang tua-tua umurnya bertanya kepada
Sitti Aisyah tentang hukum faraidh (tarekah)". . Berkata Ibnu Jureir,
"Bahwasanya Abdullah bin Umar dan orang-orang yang hidup kemudiannya di
Madinah, berfatwa dengan Madzhab Zaid binTsabit". Teranglah dalam ucapan
Ibnu Jureir ini bahwa sesudah Nabi wafat ada di antara sahabat-sahabat Nabi
yang menjadi Imam Mujtahid dan ada pula yang bertaqlid kepada salah seorang
Imam Mujtahid itu.
Adapun sahabat-sahabat
Nabi yang sedang saja banyak fatwanya adalah:
1. Saidina Abu Bakar, sahabat yang
pertama dan utama, Khalifah ke I. Ikut bersama Nabi pindah ke Madinah. (wafat
11 H.)
2. Ummi Salamah, isteri Nabi, Ummul
Mu'minun.
3. Anas bin Malik, sahabat dan
Khadam Nabi.
4. Abu Hurairah, sahabat yang
bersama Nabi ketika suka dan duka. (Banyak merawikan hadits, tapi fatwanya tak
begitu banyak).
5. Utsman bin Affan, sahabat Nabi
yang utama, Khalifah ke III.
6. Dan ada 15 orang
lagi.
Inilah sahabat-sahabat
Nabi yang fatwanya tidak begitu banyak.
Selain sahabat-sahabat
Nabi yang tersebut, maka sahabat-sahabat yang lain, sedikit sekali yang
berfatwa sesudah Nabi meninggal. Boleh dikatakan bahwa sedikit sekali diantara
sahabat-sahabat Nabi yang menjadi Imam Mujtahid, hanya beliau-betiau yang
tersebut di atas saja.
Kita sudah mengetahui
dalam sejarah ummat Islam, bahwa pada masa Khalifah sesudah Nabi meninggal,
negeri Islam sudah luas. Pada masa Saidina umar bin Khathab saja agama Islam
sudah meluas ke Mesir, ke palestina, ke Persia dan pada masa Khalifah Bani
Umaiyah dan Bani Abbas, Islam sudah meluas sampai ke seluruh penjuru dunia. Ke
Barat sampai Aljazair, ke Marokko, ke Spanyol dan ke Timur sampai ke
Afganistan, ke Turkistan dan bahkan sudah sampai ke Tiongkok.
Sesuai dengan
perkembangan Islam dan sesuai pula dengan luasnya daerah-daerah yang memeluk
agama Islam, maka para sahabat Nabi dan para tabi’in (orang-orang yang berjumpa
dengan sahabat Nabi) bertebaran pula ke pelosok dunia untuk mengembangkan agama
Islam yang dipeluknya. Para sahabat yang bertebaran itu menjumpai
bermacam-macam soal baru yang belum ada nashnya (hukumnya yang kelihatan) di
dalam Al-Quran dan Hadits, sehingga mereka berijtihad sendiri untuk menetapkan
hukum-hukum dalam masalah yang baru itu. Maka berijtihadlah mereka kalau mereka
tidak menjumpai nash dalam Al-Quran dan Hadits, karena ijtihad itu, baru
dibolehkan kalau nash tidak ada. Sudah menjadi tugas Imam Mujtahid mengeluarkan
hukum-hukum dari isi Al-Quran dan Hadits yang mana itu tidak dapat dilihat oleh
orang biasa.
Inilah yang dinamakan
"istinbath", yaitu menggali hukum. Dan hukum-hukum yang didapat
sesudah digali, itulah yang dinamakan madzhabnya orangyang menggali itu. Ini
madzhab Syafi’i karena digali oleh Syafi’i. Ini madzhab Maliki, karena digali
oleh Maliki dan begitulah seterusnya. Hal ini dibolehkan dan direstui oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Tirmidzi dan lain-lain, tersebut begini :
عَنْ
مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمَّابَعَثَهُ إِلَى
الْيَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ
اللهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ, قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَفِى كِتَابِ
اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدُرَأْيِ وَلاَآلُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ : اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ
رَسُوْلَ رَسُوْلِ
اللهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ
Artinya : "Dari
Mu'adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pada ketika
mengutusnya ke Yaman bertanya kepadanya, " Bagaimana caranya engkau
memutuskan perkara yang dibawa ke depanmu ?""Saya akan memutuskannya
menurut yang tersebut dalam Kitabullah" jawab Mu'adz. Nabi bertanya lagi,
"Kalau tak tersebut dalam Kitabullah, bagaimana ?"Jawab Mu'adz,
" Saya akan memutuskannya menurut Sunnah Rasul". Nabi bertanya lagi,
" Kalau engkau tak menemui hal itu dalam Sunnah Rasul dan Kitabullah,
bagaimana?"Mu'adz menjawab, "Pada ketika itu saya akan berijtihad
tanpa bimbang sedikitpun". Mendengar jawab itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya ke dadanya dan
berkata, " Semua puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan
Rasulullah, sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya". (Hadits riwayat Imam
Tirmidzi dan Abu Daud. Lihat kitab SahihTirmidzi juzu' II, halaman 68 - 69 dan
Sunan Abu Daud, juz, lll, halaman 303).
Hadits ini terang
benderang, bahwa seorang qadli (hakim) harus berfatwa dengan kitab Allah dan
Sunnah Rasul dan kalau tidak dijumpai dalam Kitab Allah dan Rasul barulah ia
berijtihad. Hal ini disetujui oleh Rasulullah, sesuai dengan Hadits Mu'adz ini.
Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam ada pula
bersabda :
إِذَااجْتَهَدَ
الْحَاكِمُ فَأَصاَبَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَأَخْطَأَفَلَهُ أَجْرٌوَاحِدٌ
Artinya : "Hakim
(Imam-imam kalau ia beijtihad dan betul dalam
ijtihadnya, maka ia dapat dua pahala, tetapi kalau ia salah dalam ijtihadnya
(dengan arti tidak sesuai dengan yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala)
maka ia dapat juga satu pahala." (Hadits riwayat Muslim-Lihat Syarah
Muslim juz Xll, halaman 13).
Dengan diberinya pahala
Imam-imam Mujtahid yang berijitihad itu, membuktikan kepada kita bahwa
pekerjaan ijtihad itu adalah suatu pekerjaan yang direstui oleh agama. Dalam
suatu surat amanat yang dikirim Saidina Umar radhiyallahu
anhu kepada Walinya di
Basrah, Abu Musa al Asy'ari, beliau berkata :
Artinya :
"Fahamkan, fahamKan benar sekalian soal yang bergolak dalam dadamu, yang
tidak terdapat (hukumnya) dalam Kitab dan Sunnah. Perhatikanlah yang serupa dan
sebanding, ketika itu qiyaskanlah yang satu kepada yang lain.”(Kitab Syafi’i,
Muhammad Abu Zarah, halaman 64).
Teranglah bahwa Khalifah
Nabi, Umar bin Khatab radhiyallahu
‘anhu, menyuruh juga
utusannya berijtihad dalam suatu hukum masalah yang tidak terdapat nashnya
dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul. Berkata Syaharstani dalam kitab al Milal wan
Nihal : “Bahwasanya hal-hal yang baru dan kejadian-kejadian dalam pergaulan
sehari-hari banyak sekali datang silih berganti, tak terhitung banyaknya.
Sampai akhir zaman, akan terus begini."
Kita mengetahui dengan
pasti bahwa "nash,, Quran dan Hadits tidak ada yang membicarakan hal ini satu persatu. Ini pasti dan juga
tidak mungkin ada hadits dan Quran untuk tiap-tiap sesuatunya itu. Karena Quran
dan Hadits ditutup setelah selesai pada waktu Nabi meninggal, sedang hal-hal
dan kejadian ini terjadi terus menerus. Tidak masuk akal bahwa barang yang
telah tertutup dan telah berhenti dapat membicarakan hal-hal yang baru yang
silih berganti. Wahyu tak turun lagi sedang kejadian-kejadian tetus
berlangsung. Karena itu dapat dimaklumi bahwa ijtihad dan qiyas (perbandingan
-perbandingan) itu mesti, wajib, tidak boleh tidak, supaya setiap sesuatu ada
hukumnya.
Para sahabat Nabi
sesudah Nabi meninggal, dihadapkan kepada kejadian baru yang belum pernah ada
pada zaman Nabi, maka mereka meneliti ayat ayat Quran adakah hukum hal itu di
dalamnya ? Kalau ada, mereka menghukum dengan Al Quran, tetapi kalau tidak ada
hukum yang nyata maka mereka mencari dalam hadits-hadits. Kalau hal ini juga
tidak menolong, dengan arti tidak seorang jugapun di antara para sahabat yang
mengetahui sebuah hadits yang sesuai dengan masalah yang terjadi, maka mereka
ber"ijtihad" sendiri. Hal ini sama dengan seorang hakim pengadilan
yang terikat dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang terdahulu maka
mereka menghukum sendiri dengan keinsyafan bathin mereka dengan pertanggungan
jawabnya kepada Tuhan. Demikian kata Syaharstani yang diterjemahkan secara
bebas. Dapat dimaklumi dari perkataan beliau ini bahwa ijtihad itu mesti dan
perlu, kalau tidak, agma akan mandek, akan terhenti dan tidak akan sanggup
menghadapi zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar