Makam Imam Syafi'i
1. Tahun dan Tempat Lahir Imam Syafi’i.
Nama asli dari Imam Syafi'i adalah Muhammad bin
Idris. Gelar beliau Abu Abdillah. Orang Arab kalau menuliskan nama biasanya
mendahulukan gelar dari nama sehingga berbunyi : Abu Abdillah Muhammad bin
Idris. Beliau lahir di Gazza, bagian selatan dari Palestina, pada tahun 150 H.
pertengahan abad kedua Hijriyah.
Ada ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir di
Asqalan, tetapi kedua perkataan ini tidak berbeda karena Gazza dahulunya adalah
daerah Asqalan. Kampung halaman Imam Syafi’i rahimahullah bukan di Gazza
Palestina, tetapi di Mekkah (Hijaz). Dahulunya ibu-bapak beliau datang ke Gazza
untuk suatu keperluan, dan tidak lama setelah itu beliau lahir.
Ketika beliau masih kecil bapaknya meninggal di
Gazza, dan beliau menjadi anak yatim yang hanya dibela oleh ibunya saja.
Sejarah telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam
Syafi’i rahimahullah yaitu:
1). Sewaktu Imam Syafi’i dalam kandungan, ibunya
bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya dan terus naik
membubung tinggi, kemudian bintang itu pecah bercerai dan berserak menerangi
daerah-daerah sekelilingnya. Ahli mimpi menta'birkan bahwa ia akan melahirkan
seorang putera yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad. Sekarang menjadi
kenyataan bahwa ilmu Imam Syafi'i rahimahullah memang memenuhi dunia, bukan saja
di tanah Arab, di Timur Tengah dan Afrika, tetapi juga sampai ke Timur Jauh, ke
Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina dan lain-lain.
2). Sepanjang sejarah pada hari Imam Syafi’i rahimahullah
dilahirkan itu, meninggal dunia dua orang Ulama Besar, seorang di Bagdad
(Iraq) yaitu lmam Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit (pembangun Madzhab Hanafi) dan
yang seorang lagi di Mekkah, yaitu lmam lbnu Jurej al Makky, Mufti Hijaz ketika
itu.
Kata orang dalam ilmu firasat hal ini adalah satu
pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu
dan kepintarannya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.
2. Nenek Moyang Imam Syafi’i rahimahullah
Nenek moyang Imam Syafi’i rahimahullah adalah : Muhammad, bin Idris, bn
Abbas, bin Utsman, bin Syafi’, bin Saib, bin Abu Yazid, bin Hasyim, bin Abdul
Muththalib, bin Abdul Manaf, bin Qushai. Abdul Manafbin Qushai yang menjadi
kakek ke 9 dari Imam Syafi’i rahimahullah,
adalah Abdul Manaf bin Qushai kakek yang ke 4 dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nenek moyang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
dimaklumi, adalah : Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim,
bin Abdul Manaf, bin Qushai, bin Kilab, bin Marah, bin Ka'ab, bin Luai, bin
Ghalib, bin Fihir, bin Malik, bin Nadlar, bin Kinanah, bin Khuzaimah, bin
Mudrikah, bin llyas, bin Ma'ad, bin Adnan sampai kepada Nabi lsma'il dan Nabi
Ibrahim alaimashshalatu
wassalam. Teranglah dalam silsilah ini bahwa Imam Syafi’i rahimahullah senenekmoyang dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun dari fihak lbu: Fathimah, binti Abdullah,
bin Hasan, bin Hussein, bin AIi, bin Abi Thalib. Ibu Imam Syafi’I rahimahullah adalah cucu dari cucu Saidina 'Ali bin
Abi Thalib, menantu, sahabat Nabi dan Khalifah ke IV yang terkenal. Sepanjang
sejarah diketemukan, bahwa Saib bin Abu Yazid, kakek Imam Syafi'i yang ke 5
adalah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi, baik dipandang dari segi keturunan darah,
maupun dipandang dari keturunan ilmu maka Imam Syafi’I rahimahullah yang
kita bicarakan ini adalah karib kerabat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Gelaran "SYAFI'I" dari Imam Syafi’i rahimahullah diambil dari kakeknya yang 4, yaitu
Syafi’i bin Saib.
Silsilah Imam Syafi'i dan Hubungannya dengan Rasulullah1. Tahun dan Tempat Lahir Imam Syafi’i.
Nama asli dari Imam Syafi'i adalah Muhammad bin
Idris. Gelar beliau Abu Abdillah. Orang Arab kalau menuliskan nama biasanya
mendahulukan gelar dari nama sehingga berbunyi : Abu Abdillah Muhammad bin
Idris. Beliau lahir di Gazza, bagian selatan dari Palestina, pada tahun 150 H.
pertengahan abad kedua Hijriyah.
Ada ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir di
Asqalan, tetapi kedua perkataan ini tidak berbeda karena Gazza dahulunya adalah
daerah Asqalan. Kampung halaman Imam Syafi’i rahimahullah bukan di Gazza
Palestina, tetapi di Mekkah (Hijaz). Dahulunya ibu-bapak beliau datang ke Gazza
untuk suatu keperluan, dan tidak lama setelah itu beliau lahir.
Ketika beliau masih kecil bapaknya meninggal di
Gazza, dan beliau menjadi anak yatim yang hanya dibela oleh ibunya saja.
Sejarah telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam
Syafi’i rahimahullah yaitu:
1). Sewaktu Imam Syafi’i dalam kandungan, ibunya
bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya dan terus naik
membubung tinggi, kemudian bintang itu pecah bercerai dan berserak menerangi
daerah-daerah sekelilingnya. Ahli mimpi menta'birkan bahwa ia akan melahirkan
seorang putera yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad. Sekarang menjadi
kenyataan bahwa ilmu Imam Syafi'i rahimahullah memang memenuhi dunia, bukan saja
di tanah Arab, di Timur Tengah dan Afrika, tetapi juga sampai ke Timur Jauh, ke
Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina dan lain-lain.
2). Sepanjang sejarah pada hari Imam Syafi’i rahimahullah
dilahirkan itu, meninggal dunia dua orang Ulama Besar, seorang di Bagdad
(Iraq) yaitu lmam Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit (pembangun Madzhab Hanafi) dan
yang seorang lagi di Mekkah, yaitu lmam lbnu Jurej al Makky, Mufti Hijaz ketika
itu.
Kata orang dalam ilmu firasat hal ini adalah satu
pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu
dan kepintarannya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.
2. Nenek Moyang Imam Syafi’i rahimahullah
Nenek moyang Imam Syafi’i rahimahullah adalah : Muhammad, bin Idris, bn
Abbas, bin Utsman, bin Syafi’, bin Saib, bin Abu Yazid, bin Hasyim, bin Abdul
Muththalib, bin Abdul Manaf, bin Qushai. Abdul Manafbin Qushai yang menjadi
kakek ke 9 dari Imam Syafi’i rahimahullah,
adalah Abdul Manaf bin Qushai kakek yang ke 4 dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nenek moyang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
dimaklumi, adalah : Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim,
bin Abdul Manaf, bin Qushai, bin Kilab, bin Marah, bin Ka'ab, bin Luai, bin
Ghalib, bin Fihir, bin Malik, bin Nadlar, bin Kinanah, bin Khuzaimah, bin
Mudrikah, bin llyas, bin Ma'ad, bin Adnan sampai kepada Nabi lsma'il dan Nabi
Ibrahim alaimashshalatu
wassalam. Teranglah dalam silsilah ini bahwa Imam Syafi’i rahimahullah senenekmoyang dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun dari fihak lbu: Fathimah, binti Abdullah,
bin Hasan, bin Hussein, bin AIi, bin Abi Thalib. Ibu Imam Syafi’I rahimahullah adalah cucu dari cucu Saidina 'Ali bin
Abi Thalib, menantu, sahabat Nabi dan Khalifah ke IV yang terkenal. Sepanjang
sejarah diketemukan, bahwa Saib bin Abu Yazid, kakek Imam Syafi'i yang ke 5
adalah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi, baik dipandang dari segi keturunan darah,
maupun dipandang dari keturunan ilmu maka Imam Syafi’I rahimahullah yang
kita bicarakan ini adalah karib kerabat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Gelaran "SYAFI'I" dari Imam Syafi’i rahimahullah diambil dari kakeknya yang 4, yaitu
Syafi’i bin Saib.
Silsilah Imam Syafi'i dan Hubungannya dengan Rasulullah
3. Kembali ke Mekkah Al Mukarramah
Setelah usia Imam Syafi’i rahimahullah 2 tahun, ia dibawa ibunya kembali ke
Mekkah al Mukarramah, yaitu kampung halaman beliau, dan tinggal di Mekkah
sampai usia 20 tahun, yakni sampai tahun 170 H. Dalam angka 20 ini terdapat
perbedaan-perbedaan dalam catatan sejarah, ada yang mengatakan sampai usia 13
tahun, ada yang mengatakan sampai usia 14 tahun, ada yang mengatakan sampai
usia 20 tahun dan ada yang mengatakan sampai usia 22 tahun. Tetapi penulis buku
ini sesudah memperhatikan dari bermacam-macam segi, agak condong berpendapat
bahwa Imam Syafi’i rahimahullah tinggal di Mekkah sampai usia 20 tahun
dan sesudah itu pindah ke Madinah al Munawwarah. Perbedaan angka ini tidak
prinsipil, yang terang beliau tinggal di Mekkah di waktu kecil dan setelah muda
remaia pindah ke Madinah.
Selama beliau di Mekkah, Imam Syafi’i rahimahullah berkecimpung dalam menuntut ilmu
pengetahuan, khusus yang bertalian dengan Agama Islam sesuai dengan kebiasaan
anak-anak kaum Muslimin. Sebagai dimaklumi bahwa dalam seiarah pada abad I dan
II tahun Hijrah, ummat Islam boleh dikatakan dalam masa, keemasan, sedang
memuncak membubung tinggi. Agama Islam sudah tersiar luas, ke Barat sampai ke
Marokko dan Spanyol, ke Timur sudah sampai ke Iran, ke Afganistan, ke India
Selatan, ke Indonesia dan ke Tiongkok dan di Afrika sudah hampir pada seluruh
daerah. Pada abad-abad itu yang berkuasa adalah Khalifah-khalifah Ar Rasyidin,
Khalifah-khalifah Bani Ummayyah dan Khalifah-khalifah Bani 'Abbas, yang
terkenal bukan saja dalam keberanian, tetapi juga dalam memperkembangkan ilmu
pengetahuan.
Dalam masa Khalifah-khalifah Harun ar Rasyid (170 –
193 H) dan al Makmun (L98 - 218 H) rerkenal sebagai masa yang memuncak tinggi
kedudukan ilmu pengetahuan. Dalam Agama Islam yang sangat dipatuhi orang ketika
itu, baik dalam Hadits-hadits Nabi maupun dalam al Quran, banyak sekali
terdapat petunjuk-petunjuk yang menganjurkan dan mengerahkan rakyat supaya
belajar segala macam ilmu pengetahuan, khususnya yang bertalian dengan Agama.
Sesuai dengan ini maka Imam Syafi’i rahimahullah pada masa mudanya menghabiskan
waktunya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Markas-markas ilmu pengetahuan ketika
itu adalah di Mekkah, di Madinah, di Kufah (Iraq), di Syam (Damsyik) dan di
Mesir. Oleh karena itu seluruh pemuda mengidam-idamkan dapat tinggal di salah
satu kota itu untuk berstudi, untuk mencari ilmu pengetahuan dari yang rendah
sampai yang tinggi.
Imam Syafi’i rahimahullah belajar membaca al Quran kepada
lsma'il bin Qusthanthein. Dalam usia 9 tahun Imam Syafi’i telah menghafal
ketiga puluh juznya al Quran di luar kepala. Catatlah ini, yaitu : Dalam usia 9
tahun. Imam Syafi’i pada mulanya tertarik dengan prosa dan puisi, sya'ir-sya'ir
dan sajak-sajak bahasa Arab klasik, sehingga beliau sewaktu-waktu datang ke
Qabilah-qabilah Badui di Padang Pasir, Qabilah Hudzel dan lain-lain.
Kadang-kadang beliau tinggal lama di Qabilah-qabilah itu untuk mempelajari
sastra Arab sehingga akhirnya Imam Syafi’I rahimahullah mahir dalam
kesusasteraan Arab kuno dan beliau menghafal di luar kepala sya'ir dari
lmrun-ul Qois, Sya'ir Zuheir, Sya'ir Jarir dan lain-lain. Hal ini kemudian
ternyata ada baiknya karena dapat menolong beliau memahamkan al-Qur’an yang
diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih, y ang asli dan yang murni.
Tersebutlah dalam sejarah yang diceritakan oleh
Mush'ab bin Abdillah az Zabiri, sebagaimana termaktub dalam kitab "al
Majmu’" bahwa Imam Syafi’i rahimahullah pada waktu mudanya hanya tertarik
kepada puisi, sya'ir-sya'ir dan sajak bahasa Arab klasik, tetapi kemudian
beliau terjun mempelajari hadits dan fiqih. Sebabnya ialah bahwa pada suatu
hari ia mengendarai onta. Dibelakangnya ada seorang lain, yaitu jurutulis bapak
saya, kata Mush'ab. Muhammad bin Idris ketika itu berdendang dan bernyanyi
mendengungkan sebuah sya'ir. Jurutulis bapak saya mengetok dengan tongkatnya
dari belakang dan menegurnya : 'Akh, pemuda seperti kamu menghabiskan
kepemudaannya dengan berdendang dan bernyanyi; alangkah baiknya kalau waktu
kepemudaanmu ini dipakai untuk mempelajari hadits dan fiqih!" Berkata
Mush'ab, bahwa teguran inilah sebab yang menggerakkan hati Imam Syafi’i rahimahullah untuk mempelajari ilmu hadits dan
fiqih dan kemudian beliau datang belajar kepada Mufti Mekkah, Muslim bin Khalid
al Zanji dan Ulama hadits Sofyan bin 'Uwaniah. (wafat 198 H).
Inilah di antara guru Imam Syafi’i rahimahullah dalam ilmu hadits dan Fiqih. Selain
daipada itu Imam Syafi’i rahimahullah menceritakan tentang diri beliau,
begini :
"Saya pada mulanya mempelajari ilmu Nahwu
(gramatika) dan Adab (kesusasteraan), kemudian setelah saya datang kepada
Muslim bin Khalid beliau bertanya, Hai Muhammad; kamu darimana?" Jawabku ;
"Saya orang sini, orang Mekkah". "Dari kampung mana?” "Dari
kampung Khaif ". "Dari kabilah apa?" "Dari kabilah Abdu
Manaf”. "Bakhin, bakhin (senang, senang sekali), Tuhan telah memuliakan
kamu dunia akhirat. Alangkah baiknya kalau kecerdasan kamu itu ditumpahkan pada
ilmu fiqih, inilah yang baik bagimu". Kemudian ucapan Imam Muslim bin
Khalid inilah sebab yang menggerakkan hati saya untuk mempelajari ilmu fiqih
ssedalam-dalamnya, kata Imam Syafi’i rahimahullah.
Apakah ilmu fiqih itu?
Fiqih dalam bahasa Arab berarti pengertian,
kefahaman dan dalam Islam berarti ilmu pengetahuan tentang hukum syari'at
Islam sesuai dengan dalilnya satu persatu, umpama, shalat hari raya hukumnya
sunnat, sesuai dengaan hadits itu. Riba hukumnya haram, sesuai dengan firman
Tuhan, perkawinan tanpa wali tidak sah, sesuai dengan hadits Nabi, minum arak
haram sesuai dengan al Quran dalam surat itu dan lain sebagainya.
Orang yang ahli dalam ilmu fiqih disebut “Faqih”,
jama’nya "Fuqaha". Kalau ada seorang Muslim yang sampai derajatnya
kepada "Faqih" maka itu satu bukti bahwa Tuhan telah menetapkan dia
menjadi orang baik-baik sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
Artiny a : " Barangsiapa yang dikehendaki oleh
AIIah untuk menjadi orang baik-baik maka ia difaqihkan dalam agama"
(hadits riwayat Bukhari dan Muslim, lihat Fathul Bari juz l, hal 173 dan Syarah
Muslim juz Vll, halaman 128).
Arti "di-faqihkan" ialah dipintarkan. Di
samping ilnu fiqih ada lagi ilmu Ushul-fiqih. Ilmu ushul fiqih ialah ilmu untuk
mengetahui qaedah-qaedah (pokok-pokok, norma-norma) yang mana dengan qaedah-
qaedah itu dapat diistinbathkan (dikeluarkan) hukum-hukum syari'at dari
dalil-dalilnya. Imam Syafi’i rahimahullah
orang yang mula-mula menciptakan ilmu ushul fiqih ini.
Imam Syafi’i ketika usia mudanya di Mekkah,
mempelajari selain ilmu fiqih juga ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu Mustalah
Hadits. Apakah yang dikatakan ilmu tafsir itu ? Ilmu tafsir ialah pengetahuan
untuk hal ihwaI yang bertalian dengan Kitab Suci AI-Quran, umpama sebab-sebab
turunnya ayat, arti dan ma'na ayat dalam bahasa Arab, maksud dan tujuan ayat
itu yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang menurunkan ayat, mentak'wilkan apa
yang patut dita'wilkan, hubungan antara satu ayat dengan yang lain, penafsiran
ayat yang satu pada yang lain, mana yang nasekh dan mana yang mansukh, mana
ayat yang diturunkan di Mekkah dan mana yang diturunkan di Madinah dan
lain-lain sebagainya. Imam Syafi’i rahimahullah di waktu remajanya mempelajari ilmu
tafsir ini.
Apakah itu ilmu Mustalah Hadits ?
Ilmu Mustalah Hadits ialah ilmu tentang keadaan
Hadits, keadaan matan hadits, sanad hadits, orang yang membawa hadits itu dan
lain-lain sebagainya yang bertalian dengan hadits. Orang-orang yang mengetahui
ilmu Mustalah Hadits akan mengetahui dengan mudah bahwa hadits itu sahih,
hadits ini hasan (baik), hadits ini dha'if (lemah), hadits itu muqathi'(putus
sirawinya) dan lain-lain sebagainya. Pendeknya Imam Syafi’i rahimahullah ketika di Mekkah itu mempelajari ilmu
fiqih, ilmu hadits, ilmu ushul fqih, ilmu mustalah hadits, ilmu tafsir dan ilmu
tajwid (pembacaan Al-Quran). Adalah kenyataan bahwa Imam Syafi’i dalam usia 9
tahun telah hafal Al-Quran di luar kepala dan dalam usia 10 tahun sudah pula
hafal di luar kepala kitab fiqih karangan Imam Malik yang bernama Al Muwatha'.
Sepanjang sejarah dinyatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah
membagi malam menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk belajar dan
mengajar, sepertiga untuk beribadat dan munajat kepada Tuhan dan sepertiga lagi
untuk tidur. Kalau siang hari dari pagi sampai waktu dzuhur Imam Syafi’i rahimahullah bekerja dalam soal-soal ilmu
pengetahuan. Bekerja dari jam 8 pagi sampai dzuhur sebagai yang dipraktekkan
orang sekarang adalah atas perunjuk Imam Syafi’i rahimahullah pada mula-mulanya.
Dalam usia 18 tahun (dalam satu riwayat 15 tahun)
Imam Syafi’i rahimahullah telah diberi izin oleh gurunya Muslim
bin KhaIid Az Zanji untuk mengajar di Masjidil Haram (Masjid Mekkah) sehingga
mengagumkan orang-orang haji yang naik haji ke Mekkah pada tahun-tahun itu.
4. Ketekunan Imam Syafi’i Rahimahullah dalam
Belajar
Muhammad bin Idris adalah seorang pemuda yang
sangat rajin dalam belajar. Ia belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun.
Sebagai dimaklumi, beliau adalah seorang pelajar yang miskin, tidak mempunyai
harta yang banyak untuk biaya belajar. Beliau seorang anak yatim di mana
belanjanya hanya diberi oleh ibunya yang dalam serba kekurangan pula. Tetapi
Imam Syafi’i rahimahullah mempunyai
keyakinan bahwa menuntut ilmu itu tidak tergantung kepada kekayaan, tetapi
hanya kepada kemauan yang keras. Anak-anak miskin yang keras hati lebih banyak yang
maju dibanding dengan anak-anak yang kaya, yang biasanya suka malas. Beliau
mengumpulkan tulang-tulang kambing atau tulang-tulang onta, yang biasanya
banyak berserakan terutama sesudah orang-orang mengerjakan haji di Mina. Beliau
mengumpulkan pelepah-pelepah tamar yang kering, beliau mengumpulkan tembikar
dan batu-batu yang dapat ditulis dan beliau mengumpulkan kertas-kertas yang
dibuang orang-orang kantor yang dapat ditulis Iagi. Beliau mendengar ucapan
guru, dikte-dikte guru lalu menuliskan di atas bahan-bahan tadi sambil
memperhatikan dan menghafalnya mana yang patut dihafal.
Pada suatu ketika penuh sesaklah kamar beliau
dengan benda-benda tulang yang betulisan itu sehingga tidak dapat lagi beliau
meluruskan kakinya ketika melepaskan lelah atau ketika tidur. Akhirnya beliau
memutuskan agar semua tulisan itu dihafal saja di luar kepala dan tulang-tulang
itu dikeluarkan dari kamar supaya kamar tidurnya meniadi agak lapang. Semua
yang tertulis dihafalnya di luar kepala dan sesudah itu tulang-tulang dikeluarkan
dari kamarnya. Jadi Imam Syafi’i rahimahullah sejak kecil sudah terlatih dan
terdidik dengan menghafal di luar kepala. “Ilmu itu yang ada dalam dada, bukan
yang ada dalam kertas'', kata peribahasa. Inilah nampaknya yang diamalkan oleh
Imam Syafi’i rahimahullah.
Maka dengan cara begini tidaklah heran kalau Imam
Syafi’i rahimahullah dalam usia 9 tahun sudah menghafal
Al-Quran di luar kepala, dan dalam usia 10 tahun sudah menghafal di luar kepala
kitab Al Muwatha’, katangan Imam Malik. Beginilah kecerdasan dan ketajaman otak
Imam Syafi’i rahimahullah. Dan begitulah Imam Syafi’i rahimahullah belajar seiak kecil sampai remaja,
sampai dewasa berusia 20 tahun, di mana beliau sesudah itu pindah dari Mekkah
al Mukarramah ke Madinah al Munawwarah.
5. Mencari Ilmu ke Madinah.
Pada seperempat terakhir dari abad ke ll Hijriyah
kotaMadinah sedang gilang-gemilang dalam ilmu pengetahuan, karena di sana
banyak menetap Ulama-ulama Tabi'in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi)
dan ulama-ulama Tabi'-tabi'in (orang yang berjumpa dengan orang yang berjumpa
dengan sahabat Nabi). Ditengah-tengah ulama-ulama yang banyak itu ada seorang
yang menonjol yang menjadi bintangnya, yaitu : seorang ulama yang terkenal
dengan gelar julukan "Imam Darul Hijrah" (Imam negeri tempat Nabi
berpindah), yaitu Imam Malik bin Anas, pembangun Madzhab Maliki). Imam Malik
bin Anas lahir tahun 93 H., yaitu 57 tahun lebih tua dari Syafi’i rahimahullah dan wafat pada tahun 179 H., 25 tahun
terdahulu dari Syafi’i rahimahullah. Sepanjang riwayat, Imam Malik bin
Anas ini adalah seorang Ulama' yang bersungguh-sungguh mengumpulkan
hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau kumpulkan dan beliau hafal
sebanyak 100.000 hadits dalam masa 40 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa Imam Malik bin Anas
adalah seorang "Huffazh” (penghafal) hadits nomor satu pada zamannya dan
tidak ada seorang pun yang menandingi beliau dalam soal penghafalan hadits itu.
Hadits-hadits yang 100.000 banyaknyaitu beliau teliti satu per-satu, beliau
lihat si rawi yang membawa hadits-hadits, beliau cocokkan dengan kitab suci
Al-Quran tentang arti tujuannya. Pada akhirnya hadits yang 100.000 itu beliau
pilih sehingga yang tinggal hanya 5.000 buah yang beliau anggap sangat sahihnya.
Hadits yang 5.000 in'ah yang beliau kumpulkan dalam satu kitab yang berbentuk
kitab fiqih sekarang, yang diberi nama “Al Muwatha’”. “Al Muwatha’ artinya :
“yang disepakati”. Imam Malik bin Anas menamakan kitabnya dengan Al Muwatha'
(yang disepakati) karena beliau telah memperlihatkan kitab itu kepada 70 orang
ulama-ulama fiqih di Madinah yang mana kesemua Ulama itu menyetujuinya.
Imam Syafi’i rahimahullah seorang yang mengagumi Imam Malik bin
Anas dan pula seorang yang mengasihi kitab Al Muwatha’ sehingga kitab itu
dihafal di luar kepala pada ketika beliau masih berumur 10 tahun. Sesungguhpun
kitab Al Muwatha' sudah hafal di luar kepala, tetapi keinginan Imam Syafi’i rahimahullah untuk datang belajar kepada
pengarangnya makin berkobar. Beliau ingin mengambil ilmu Imam Malik dari mulut
ke mulut, yakni berhadap-hadapan. Maka beliau minta izin kepada gurunya Muslim
bin Khalid az Zanji untuk pergi ke Madinah menjumpai Imam Malik dan belajar
pada beliau. Imam Syafi’i rahimahullah berangkat ke Madinah pada tahun 170 H.
dengan membawa sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan
kepada Imam Malik bin Anas. Selain itu Imam Syafi’i rahimahullah membawa surat pula dari Wali Mekkah
(semacam Gubernur) kepada Wali Madinah, dimana Wali Mekkah minta agar kiranya
Wali Madinah memperkenankan Imam Syafi’i rahimahullah belajar kepada Imam Malik bin
Anas.
Selama 8 hari 8 malam perjalanan antara Mekkah dan
Madinah dengan mengendarai onta. Imam Syafi’i rahimahullah membaca Al Quran sebanyak 16 kali
khatam/tammat, dengan mengkhatamkan 1 kali siang dan 1 kali malam. Sesampainya
di Madinah beliau langsung menjumpai Imam Malik bersam dengan Wali Madinah.
Imam Malik setelah menerima surat dari Wali Mekkah yang dialamatkan kepadanya,
menyindir dengan mengatakan : “Subhanallah, menuntut ilmu Rasulullah kok pakai
perantara.” Wali Madinah mempersilahkan Imam Syafi’i rahimahullah berbincang-bincang.
“Mudah-mudahan tuan dikaruniai oleh Allah”, kata
Imam Syafi’i rahimahullah kepada Imam Malik. “Saya ini dari kaum Muththalib,
datang dari Mekkah untuk menuntut ilmu dari tuan guru karena saya sudah lama
mendengar nama tuan guru dan ingin belajar langsung dari tuan guru.” Sesudah
itu Imam Malik memperhatikan Imam Syafi’i seketika dan beliau berkata, “Siapa
namamu?” Imam Syafi’i menjawab, “Muhammad bin Idris.” Imam Malik menyambung,
“Hai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, dan jauhilah segala kedurhakaan. Saya
melihat kepadamu ada sesuatu yang akan terjadi. Baiklah, besok datanglah lagi
dan akan saya suruh orang membacakan Al Muwatha’ kepadamu.”
Jawab Imam Syafi'i, "Tak perlu dicarikan orang
lain karena saya sudah menghafal di luar kepala Kitab Al Muwatha’ itu. Imam
Malik menjawab, "Kalau begitu keadaannya, cobalah baca ." Imam
Syafi’i rahimahullah lantas membaca kitab Al Muwatha’ yang
langsung didengar oleh Imam Malik dengan seksama dan di sana-sini membetulkan
pembacaan-pembacaan Imam Syafi’i yang lancar itu. Imam Malik sangat kagum
melihat Imam Syafi’i muda ini, karena masih dalam usia muda remaja sudah
mendalam ilmunya, sudah mahir dalam arti ayat-ayat suci Al Quran, hadits-hadits
Nabi dan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah tetap
setiap hari mendatangi halakah tempat Imam Malik mengajar di mesjid Madinah di
mana beliau bersama-sama pelajarpelajar lain yang terdiri dad Ulama-ulama Besar
dari seluruh penjuru mendengar dan mencatat pengajian-pengajian yang diberikan
oleh Imam Malik, seorang Ulama Besar dan lmam Mujtahid yang jarang
tandingannya.
Akhirnya Imam Syafi’i rahimahullah mendapat kepercayaan besar dari Imam
Malik dan lantas diundang menginap di rumahnya dan setiap hari datang ke mesjid
bersama-sama sebagai pembantunya dalam mengajarkan kitab Al Muwatha' dan
lain-lain. Imam Malik membacakan kitabnya kepada murid-murid dan sesudah itu
Imam Syafi’i rahimahullah (yang ketika itu belum berpangkat Imam
Mujtahid) membantu Imam Malik mendiktekan (mengimlakkan) kitab karangan Imam
Malik itu kepada sekalian mahasiswanya.
Ada kira-kira setahun Imam Syafi’i rahimahullah tidak berpisah dengan Imam Malik,
selalu dengan beliau sebagai murid dan sebagai pembantu. Dengan cara begitu
Imam Syafi’i rahimahullah mendapat kenalan
banyak dari Ulama-ulama yang datang ke Madinah
sesudah menunaikan ibadah haji dan datang belajar kepada Imam Malik. Di antara
orang-orang yang berkenalan dengan Imam Syafi’i rahimahullah ketika itu adalah Abdullah bin al
Hakam dari Mesir (Kairo), yang kemudian di waktu Imam Syafi’i rahimahullah datang ke Mesir, beliau berkunjung ke
rumah Abdullah bin al Hakam ini. Juga Imam Syafi’i rahimahullah berkenalan dengan Asyhab lbnul Qasim
dan aI Laits bin Sa'ad, yaitu ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah yang
telah mendengar Imam Syafi’i mendiktekan kitab al Muwatha'. Dan juga Imam
Syafi’i rahimahullah berkenalan
dengan Ulama-ulama Iraq yang berkunjung ke Madinah sesudah menunaikan ibadah
haji. Banyak sekali diantara mereka yang datang menguniungi halakah Imam Malik
dan mendengar imlak dari Imam Syafi’i rahimahullah yang bijak itu.
Pada ketika itulah Muhammad bin Idris mendengar
bahwa di Bagdad dan Kufah banyak sekali terdapat ulama-ulama murid dari Imam
Abu Hanifah (pembangun dari Madzhab Hanafi), sehingga tertarik hati beliau
hendak mengunjungi lraq dan Mesir.
6. Berkunjung ke Bagdad dan lain-lain.
Setelah 2 tahun di Madinah yakni dalam usia 22
tahun Imam Syafi’i rahimahullah berangkat ke Iraq (Kufah dan
Bagdad), di mana beliau bermaksud selain menambah ilmu dalam soal-soal
kehidupan bangsa-bangsa juga untuk menemui ulama-ulama ahli hadits atau ahli
fiqih yang bertebarang pada ketika itu di Iraq dan Persia (Iran). Sebagai
dimaklumi kota Kufah ketika itu adalah ibu kota tempat kedudukan
Khalifah-khalifah Abu Ja'far al Mansyur dan penggantinya Khalifah Harun Ar
Rasyid yang terkenal, dan Bagdad adalah pusat ilmu pengetahuan, baik
pengetahuan yang datang dari Barat atau yang datang dari Timur. Memang Iraq
pada zaman Harun ar Rasyid dianggap sebagai negeri tempat ilmu Pengetahuan yang
memancar ke seluruh penjuru dunia sebagai yang diterangkan di atas.
Perjalanan antara Madinah dan Iraq dilakukan dengan
mengendarai onta selama 24 hari. Jauh juga. Tapi Imam Syafi’i rahimahullah mendapat
bekal dari gurunya lmam Malik rahimahullah sebanyak 50 dinar
emas, cukup untuk belanja dan untuk menginap di situ beberapa waktu lamanya
karena ongkos kendaraan-dari Madinah ke Iraq hanya 4 dinar (emas).
Sesampainya di Kufah beliau menemui ulama-ulama
sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan di mana Imam Syafi’i rahimahullah seringkali bertukar fikiran dan
beri-memberi dengan beliau-beliau ini dalam soal-soal ilmu pengetahuan agama.
Dalam kesempatan ini Imam Syafi’i rahimahullah dapat
mengetahui aliran-aliran atau cara-cara fiqih dalam Madzhab Hanafi yang agak
jauh berbeda dari cara-cara dan aliran fiqih dalam Madzhab Maliki.
Imam Hanafi dan Imam Maliki hampir bersamaan
zamannya karena Imam Hanafi dilahirkan tahun 81 H. meninggal 150 H. Sedangkan
Imam Maliki dilahirkan tahun 93 H. dan meninggal 179 H. Tetapi walaupun
bersamaan zaman, namun aliran madzhab masing-masing berbeda. Madzhab Imam
Maliki di Madinah berpendapat bahwa kalau dalam Al Quran tidak terdapat hukum
agama ,maka hadits Nabilah yang menjadi sandaran hukum, sekali pun hadits Nabi
itu Mutawatir (banyak yang merawikan). Ahad (satu jalan saja yang merawikan),
Sahih atau Hasan. Tetapi Madzhab Hanafi di Iraq berpendapat bahwa kalau dalam
AI Quran tidak terdapat hukum sesuatu yang terjadi maka yang boleh dijadikan
sandaran hukum lagi hanya hadits yang mutawatir saja. Kalau tidak ada hadits
yang mutawatir, langsung pindah pada "ijtihad" yakni pendapat Imam
Mujtahid. Oleh karena itu golongan Imam Maliki dinamakan golongan Ahli
Hadits dan golongan Imam Hanafi dinamakan "AhIi Ra’yi'' (Ahli Pendapat).
Imam Syafi’i rahimahullah ketika
itu dapat mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu.
Ketika itu beliau tidak lama di Iraq dan terus mengembara ke Persi, sampai ke
Anadholi (Turki), terus ke Ramlah (Palestina) dimana beliau dalam perjalanan
mencari dan menjumpai ulama-ulama baik Tabi’in atau Tabi-Tabi'in. Pada
kesempatan mengembara ini beliau mengetahui adat istiadat bangsa-bangsa selain
bangsa Arab, karena Persia dan Anadholi bukan bangsa Arab lagi. Hal ini
nantinya menolong beliau dalam membangun fat'wanya dalam Madzhab Syafi’i.
7. Kembali ke Madinah
Sesudah 2 tahun mengembara meninjau antara Bagdad,
Persia, Turki dan Palestina, Imam Syafi’i rahimahullah kembali
ke Madinah dan kembali kepada guru besarnya yaitu Imam Maliki, Malik bin Anas.
Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i rahimahullah dan
bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melebihi
ilmunya.
Imam Maliki memberi izin kepada Imam Syafi’i rahimahullah untuk
memberi fatwa sendiri dalam ilmu Frqih, artinya tidak berfatwa atas dasar
aliran lmam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran Imam Hanafi, tetapi
berfatwa atas dasar madzhab sendiri. Imam Syafi’i rahimahullah tinggal
bersama Imam Maliki sampai tahun 179 H. yaitu sampai Imam Maliki meninggal
dunia. Imam Syafi’i rahimahullah belaiar dengan Imam Maliki
selama 7 tahun, yaitu pada tahun 170 H. - 172 H. dan dari tahun 174 H. - 179 H.
8. Menjadi Mufti di Yaman.
Setelah gurunya (Imam Malik) berpulang ke rahmatullah,
maka Imam Syafi’i rahimahullah pergi ke Yaman. Perjalanan ke
Yaman ini sepanjang riwayat ialah bahwa Wali (semacam gubernur) Yaman datang ke
kota Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Ia mendengar dari orang Madinah tentang kecakapan dan kepintarann
Imam Syafi’i rahimahullah. Wali negeri Yaman ini tertarik kepada Imam
Syafi’i rahimahullah sehingga diusahakannya berjumpa dengan
beliau.
Kemudian terdapat kata sepakat antara keduanya,
bahwa Imam Syafi’i rahimahullah akan dibawa ke Yaman, diangkat
sebagai Sekretaris Negara, sambil mengajar dan menjadi Mufti. "Mufti"
artinya berfatwa tentang hukum-hukum agama. Nama Muhammad bin Idris as Syafi’i
menjadi masyhur di negeri Yaman dan sekitarnya, banyaklah orang memujinya
karena kecakapan dan kepintaran beliau. Tetapi, sungguhpun beliau sudah alim
besar, sudah disegani oleh segala pihak, namun beliau tidak segan-segan untuk
belajar apabila melihat ada guru agama yang lebih pintar daripadanya, yang
dikiranya dapat menambah ilmunya.
Di Yaman beliau belajar kepada Syeikh Yahya bin
Husein, seorang ulama besar di kota Shan'a ketika itu. Ketika beliau di Yaman
beliau diangkat pula menjadi Wali daerah Najran, sebagai Kepala Daerah beliau
disayangi oleh rakyat karena adil dan pemurahnya. Pekerjaan ini tidak lama
dijabat oleh beliau, karena tidak sesuai dengan bakatnya. Beliau lebih condong
kepada ilmu daripada siasah.
Imam Syafi’i rahimahullah menikah
di Yaman dengan seorang puteri bernama Hamidah binti Nafi’i, seorang puteri
keturunan Saidina Utsman bin Affan, Sahabat dan Khalifah Nabi yang ke III. Usia
beliau sewaktu nikah lebih-kurang 30 tahun. Dari pernikahan ini beliau mendapat
3 (tiga) orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Anak beliau
yang laki-laki ini bernama Muhammad bin Syafi’i kemudian menjadi ulama besar
pula dan menjadi qadhi di Jazirah (wafat 240H.).
9. Imam Syafi’i rahimahullah Ditangkap.
Imam Syafi’i rahimahullah ketika
di Yaman ini sudah menjadi orang besar. Beliau disayangi oleh Wali Negeri dan
diangkat menjadi "Katib-Daulah" (Sekretaris Negara) di samping beliau
menjadi Mufti dan guru agama di mesjid-mesjid, bertabligh di mana-mana sehingga
masyhur namanya. Telah menjadi kebiasaan di dunia yang fana ini bahwa setiap
orang yang mendapat nikmat, ada saja orang yang dengki dan yang berniat jahat
untuk menjatuhkannya. Beliau difitnah kepada Khalifah Harun ar Rasyid, yang
ketika itu berkedudukan di Bagdad (Iraq), dikatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengembangkan
faham syi'ah di Yaman dan masuk golongan partai Syi'ah yang sangat membenci
Khalifah Harun ar Rasyid, khalifah Abbasiyah itu.
Memang dalam sejarah Islam tercatat bagaimana
permusuhan yang mendalam antara orang-orang Syi'ah yang katanya pengikut
Saidina 'Ali radhiyallahu anhu dengan orang-orang Bani Umaiyah
dan Bani Abbas. Ya, pada mulanya pembangunan Dinasti Abbassiyah ditolong oleh
orang-orang Syi'ah untuk melawan Bani Umaiyah, akan tetapi kemudian ternyata
bahwa orang-orang Syi'ah tidak senang hati pula pada orang-orang Bani Abbas
itu. Khalifah Harun ar Rasyid selalu dirongrong oleh partai Syi'ah, yang
kebetulan banyak bertebaran di Yaman ketika itu. Oleh karena itu Khalifah Harun
ar Rasyid selalu curiga kepada Ulama-ulama di Yaman yang dianggapnya
mengembangkan faham Syi'ah yang ditantangnya.
Disebabkan fitnah dari orang-orang yang dengki
terhadap Imam Syafi’i maka beliau ditangkap bersama-sama kaum Syi'ah dan
digolongkan kepada orang-orang Syi'ah lalu dibawa ke Bagdad untuk diadili oleh
Khalifah Harun ar Rasyid, dengan rantai-besi pada kaki dan tangannya. Inilah
imtihan (ujian iman) bagi Imam Syafi’i rahimahullah. Memang
orang-orang yang beriman itu banyak mendapat cobaan iman. Banyak di antara
rombongan Syi'ah itu yang dijatuhi hukuman mati oleh Khalifah, tetapi ketika
sampai pertanyaan kepada Imam Syafi’i rahimahullah, maka terjadilah
dialog (percakapan) antara Khalifah dengan Imam Syafi’i rahimahullah.
Dengan merangkak karena kedua kakinya dibelenggu.
Imam Syafi’i masuk ke majlis Harun ar Rasyid dan berkata, Assalamu'alaikum
wabarakatuh" (selamat atasmu dan berkat-Nya). Imam Syafi’i tidak
mengucapkan warahmatullahi (dan rahmat Tuhan). Khalifah Harun ar Rasyid
menjawab, "Alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh" (Selamat
atasmu, rahmat Tuhan dan berkat-Nya). Harun ar Rasyid agak heran melihat
ketenangan Imam Syafi’i rahimahullah karena tidak gelisah sedikit
pun, padahal kawan-kawannya yang sama-sama ditangkap sudah dijatuhi hukuman
mati. Khalifah Harun ar Rasyid bertanya, "Kenapa kamu berbicara dalam
sidang ini tanpa izin saya, sehingga saya terpaksa menjawabnya?" (Pedu
diketahui bahwa mengucapkan salam hukumnya sunnat, sedang menjawab hukumnya
wailb). Imam Syafi’i rahimahullah membacakan firman Tuhan :
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم
مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي
شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
Artinya : " Dan Allah telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik. (QS An-Nur : 55).
Lalu Imam Syafi’i rahimahullah meneruskan
ucapannya : "Tuhan apabila berjanji, menepati janji-Nya dan kini ia telah
mengangkat Tuanku menjadi Khalifah di bumi-Nya yang luas ini. Tuanku telah
memberikan keamanan kepada saya sesudah saya dalam ketakutan, karena Tuanku
menjawab salam saya dengan ucapan Warahmatullahi, (dan rahmat Tuhan untuk
saya). Dengan begitu Tuanku telah memberikan arhmat Tuhan kepada saya dengan
kemurahan hati Tuanku.” Khalifah Harun ar Rasyid tergerak hatinya mendengar
ucapan yang lantang dan fasih dari Imam Syafi’i yang kelihatannya tak sedikit
juga takut dan gentar.
Lantas Khalifah Harun ar Rasyid berkata, ..Bukankah
engkau yang mengepalai komplotan pemberontak untuk menentangku, bukankah engkau
telah bersekongkol dengan Abdullah bin Hasan untuk menentang aku, bukankah
engkau orang yang sudah terang salahnya, bagaimana ..bagaimana engkau dapat
membelanya? Imam Syafi'i menjawab, "Saya akan menerangkan pula isi dada
saya sebaik-baiknya untuk mencari keadilan dan kebenaran. Tetapi dapatkah orang
melahirkan perasaannya dengan seksama kalau kaki dan tangannya dirantai dengan
besi berat ini? Saya minta agar rantai kaki dan tangan saya dibuka dan
memperkenankan duduk sewajarnya. Dan puji-pujian kepada Allah yang Maha Kaya.”
Khalifah Harun ar Rasyid terbuka hatinya dan
memerintahkan ketika itu juga kepada petugasnya untuk membuka rantai-rantai
yang melingkari kaki dan tangan Imam Syafi’i rahimahullah. Imam
Syafi'i lantas berkata, "Tuhan berfirman begini :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya : " Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. ".
(Al-Hujarat : 6).
"Saya berselindung kepada Allah, bahwa saya adalah
laki-laki yang disampaikan kepada Tuanku, bohong sekali orang yang menyampaikan
kepada Tuanku. Saya mempunyai dua pertalian dengan Tuan Khalifah, yaitu
sama-sama beragama Islam dan sama-sama satu keturunan. Tuanku adalah seorang
yang harus berpegang kepada Kitabullah. Tuanku anak paman Rasulullah yang harus
melindungi agamanya."
Mendengar ucapan-ucapan Imam Syafi’i yang diucapkan
dengan lancar ini, Khalifah Harun ar Rasyid tiba-ti[a jadi gembira, lalu
berkata. "Tenanglah, tenangkanlah pikiranmu, saya menghargai ilmumu dan
juga menghargai pertalihan darah kita.” Lalu Khalifah berkata lagi,
"Bagaimana keadaan ilmu kamu dengan Kitabullah 'azza wajalla, di sanalah
kita mulai bicara.” Imam Syafi’i rahimahullah menjawab, “Kitab
Suci yang mana Tuan Khalifah tanyakan,karena kitab suci yang diturunkan banyak
sekali.” Khalifah menjawab, "Baiklah, saya bertanya tentang kitab suci
yang diturunkan kepada anak paman saya, Muhammad Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam." Imam Syafi’i rahimahullah menjawab, “Ilmu yang
terkandung dalam Al Quran itu banyak sekali, yang manakah yangTuanku tanyakan ?
Ada ilmu ayat-ayat mutasyabih dan ayat muhakkamah, ada ilmu ayat-ayat taqdim
dan ta'khir, ada ilmu tentang Nasekh dan Mansukh, ada ilmu ini dan ada ilmu
itu."
Kemudian Khalifah terpesona dan lantas menukar
haluan, bukan lagi bertanya soal-soal agama tetapi berpindah kepada soal-soal
ilmu falak, ilmu kedokteran, iimu firasat dan lain-lain yang kesemuanya dijawab
oleh Imam Syafi’i rahimahullah dengan sangat memuaskan
Khalifah Harun ar Rasyid. Kemudian Khalifah berkata, "Datanglah engkau
sewaktu-waktu untuk mengajar saya!"
Dengan begitu bebaslah Imam Syafi’i rahimahullah dari
tuduhan, dan kecewalah tukang-tukang fitnah yang memfitnah beliau. Inilah
kedatangan Imam Syafi’i rahimahullah yang kedua kali ke Iraq
(Kufah atau Bagdad) yang terjadi pada tahun 184 H. yakni dalam usia 34 tahun.
10. Kembali ke Mekkah (Hijaz).
Tidak lama sesudah beliau bebas maka Imam Syafi’i rahimahullah
kembali ke kampung asalnya yaitu Mekkah aI Mukarramah, sesudah
ditinggalkannya lebih kurang 11 tahun. Ia disambut oleh Ulama dan rakyat Mekkah
karena kemasyhurannya. Sudah lama beliau di Mekkah masih mendapat sambutan
akibat banyaknya orang haji yang pulang balik antara Madinah dan Mekkah dan antara
Mekkah dengan Kufah (Iraq).
Beliau membuat rumah tempat tinggal di luar kota
Mekkah di suatu tempat yang memungkinkan dapat didatangi oleh pelajar-pelajar
yang menuntut ilmu kepada beliau. Lebih kurang selama 17 tahun beliau di Mekkah
menaburkan ilmu-ilmu agama kepada kaum Muslimin yang setiap tahun datang ke
Mekkah untuk ibadat haji. Karena itu nama Imam Syafi’i rahimahullah masyhur ke seluruh dunia Islam karena
setiap orang haji yang datang ke Mekkah pulang ke kampungnya membawa kabar
tentang ke'aliman Imam Syafi’i. Tetapi pada ketika itu beliau masih merasa
belum sampai kepada derajatnya Imam Mujtahid Muthlak (Mujtahij Penuh), sehingga
fatwa-fatwa beliau adalah berdasarkan fatwa guru-gurunya yang didapatnya di
Mekkah, Madinah dan Iraq.
11. Pergi ke Iraq yang ke Tiga Kali.
Di Mekkah sudah didengar kabar wafatnya Khalifah
Harun ar Rasyid dan telah digantikan oleh Khalifah aI Amin dan sesudah itu oleh
Al Ma'mun. Begitu juga telah meninggal guru-guru Imam Syafi’i rahimahullah di Iraq, yaitu Abu Yusuf pada tahun
182 H. dan Muhammad bin Hasan pada tahun 188 H. Hati Imam Syafi’i tergerak
kembali hendak datang ke Bagdad, Ibu Kota dan Pusat Kerajaan Ummat Islam ketika
itu, karena di situ duduknya Khalifah, Amirur Mu'minin.
Beliau tidak lama di Iraq pada kali itu, tetapi
pada kesempatan ini beliau membuat sejarah, yaitu membentuk madzhab tersendiri
yang kemudian dinamakan "MADZHAB SYAFI'I".
12. Madzhab Syafi’i yang Pertama.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris as Syafi’i ini
setelah ilmunya tinggi dan fahamnya begitu dalam dan tajam, timbullah inspirasinya
untuk berfatwa sendiri mengeluarkan hukum-hukum dari Quran dan Hadits sesuai
dengan "ijtihad"nya sendiri, terlepas dari fatwa-fatwa gurunya Imam
Maliki dan Ulama-ulama Hanafi di Iraq. Hal ini terjadi pada tahun 198 H. yaitu
sesudah usia beliau 48 tahun dan sesudah melalui masa belajar lebih kurang 40
tahun. Beliau telah menghafal al-Quran dan berpuluh ribu hadits di
luar kepala dan juga telah mendalami tafsir dari
ayat suci dan makna hadits-hadits serta pendapat Ulama yang terdahulu. Beliau
berfatwa dengan lisan menurut ijtihadnya (pendapat) sendiri dan juga
mengarangkan kitab-kitab yang berisikan pendapat-pendapatnya itu. Mula-mula di
Iraq beliau mengarang kitab "ar-Risalah", kitab UshuI Fiqih yang
pertama di dunia, yakni suatu ilmu yang dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum Fiqih dari kitab suci al-Quran dan dari hadits Nabi.
Harus dimaklumi bahwa sekalian fatwa dengan lisan
dan tulisan pada ketika Imam syafi'i di Iraq ini dinamakan 'Al-Qaulul
Qadim" (Fatwa lama) sedang fatwa-fatwa yang dikeluarkan sesudah beliau
pindah ke Mesir dinamakan "Al-Qaulul Jadid" fatwa baru). Barangsiapa
yang mempelaiari kitab-kitab Imam Syafi’i rahimahullah atau
kitab-kitab Syafi'iyah dewasa ini, akan berjumpa dengan tulisan-tulisan
al-Qaulul Qadim dan al-Qaulul Jadid itu.
13. Pindah ke Mesir.
Pada bulan Syawal tahun 198 H. itu juga, Imam
Syafi’i pindah ke Mesir. Kebetulan saja Khalifah al Ma'mun mengangkat Abbas bin
Musa menjadi Wali (Gubernur) Mesir dan mengirimnya ke Mesir. Imam Syafi'i
menumpang dalam kafilah Wali Mesir itu, karena Imam Syafi’i rahimahullah adalah
salah seorang Ulama yang dihormati, bukan saja oleh rakyat Iraq tetapi juga
oleh Khalifah Ma'mun sendiri. Ketika beliau akan berangkat dari Iraq ke Mesir,
banyaklah datang sahabat-sahabatnya untuk mengucapkan selamat jalan,
diantaranya adalah muridnya yang terkenal dan kemudian dikenal dengan nama
Ahmad bin Hanbal (Pembangun Madzhab Hanbali).
Pada ketika Imam Syafi’i bersalaman dengan Ahmad
bin Hanbal, beliau membaca sebuah sya'ir, begini:
لَقَدْ أَصْبَحَتْ نَفْسِى تَتُوْقُ إِلَى
مِصْرَ,
وَمِنْ
دُوْنِهَاأَرْضُ الْمُهَامَةِ وَالْقَفْرِ
وَوَاللهِ
لاَأَدْرِى لِلْعِزِّ وَالْغِنَى,
أُسَاقُ
إِلَيْهَاأَمْ أُسَاقُ إِلَى الْقَبْرِ
" Saya rindu pergi Ke Mesir,
untuk melihat sungai
dan pasir,
untuk kebesaran atau
kekayaan,
ataukah ini makam
pekuburan"
Rupanya Imam Syafi’i rahimahullah sudah
merasa bahwa ia akan wafat dan bermakam buat selama-lamanya di Mesir.
Abbas bin Musa, Gubernur Mesir meminta agar Imam
Syafi’i menginap di rumahnya, tetapi Imam Syafi’i rahimahullah menolak
karena ia ingin tinggal dengan seorang ulama Besar namanya Abdullah bin aI
Hakam seorang ulama yang pernah menjadi muridnya di Madinah pada ketika Imam
syafi’i mendiktekan kitab Al Muwatha’ atas nama Imam Maliki. Beliau tinggal di
rumah Abdullah bin al Hakam sampai tahun 204 Hijriyah.
14. Imam Syafi’i Suka Mengembara dalam Rangka
Mencari Ilmu Pengetahuan.
Dalam riwayat, Imam Syafi’i rahimahullah suka
mengembara, pindah dari satu negeri ke negeri yang lain, terutama dalam hal
mencari ilmu pengetahuan. Beliau lahir di Gazza, pergi ke Mekkah, pindah ke
Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq dan Syam, ke Mekkah dan ke Irak lagi,
kemudian pindah ke Mesir, wafat dan bermakam di Mesir.
Imam Syafi’i rahimahullah bukan saja
mempraktekkan pindah-pindah tempat itu untuk dirinya sendiri, tetapi juga
beliau menganjurkan bagi siapa saja agar mengadakan pengembaraan dengan
perasaan gembira dan perjalanan keliling, khususnya dalam belajar untuk mencari
ilmu pengetahuan. Beliau pernah berkata dalam sya’ir begini :
مَافِى
الْمَقَامِ لِذِى عَقْلٍ وَذِى أَدَبٍ
مِنْ
رَاحَةٍ فَدَعِ الْأَوْطَانَ وَاغْتَرِبِ
سَافِرْ
تَجِدْ عِوَضًاعَمًّاتُفَارِقُهُ
وَانْصَبْ
فَإِنَّ لَذِيْذَالْعَيْشِ فِى النَّصَبِ
إِنِّى
رَأَيْتُ وُقُوْفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ
إِنْ سَالَ
طَابَ وَإِنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
أَلْأُسْدُلَوْلاَفِرَاقُ
الْغَابِ مَاافْتَرَسَتْ
وَالسَّهْمُ
لَوْلاَفِرَاقُ الْقَوْسِ لَمْ يُصِبِ
وَالشَّمْسُ
لَوْوَقَفَتْ فِى الْفُلْكِ دَائِمَةً
لَمَلَّهَاالنَّاسُ
مِنْ عُجْمٍ وَمِنْ عَرَبٍ
وَالتِّبْرُ
كَالتُّرْبِ مُلْقًى فِى أَمَاكِنِهِ
وَالْعُوْدُفِى
أَرْضِهِ نَوْعٌ مِنَ الْحَطَبِ
فَإِنْ
تَغَرَّبَ هَذَاعَزَّمَطْلَبُهُ
وَإِنْ
تَغَرَّبَ ذَاكَ غَزَّكَالذَّهَبِ
Tidak enak bagi orang
cerdik pandai tinggal tetap di suatu tempat
Oleh karena itu
tinggalkanlah tanah air dan mengembaralah
Musafirlah! Engkau akan
mendapatykan sahabat-sahabat
Pengganti
sahabat-sahabat yang ditinggalkan
Bekerja keraslah karena
kelezatan hidup dalam bekerja keras
Saya melihat bahwa air
yang tetap di suatu tempat akan busuk
Kalau air mengalir akan
bersih dan kalau tidak mengalir akan kotor
Singa kalau tidak
keluar dari sarangnya, ia tidak dapat makan
Anak panah yang tidak
keluar dari busurnya, ia tidak akan mengena
Matahari kalau tetap,
maka seluruh manusia akan marah padanya
Tibir/biji emas seperti
tanah saat masih tergeletak ditempatnya
Kayu harum saat di
rimba, sama saja dengan kayu lainnya
Kalau kayu harum keluar
rimba, sukar sekali mendapatkannya
Tibir kalau keluar dari
tempatnya sangat berharga seperti emas
Demikianlah sya’ir dari Imam Syafi’i rahimahullah yang
menganjurkan kepada semua orang supaya menyukai pengembaraan, terutama untuk
mencari ilmu pengetahuan.
15. Meninggal Dunia dalam Usia 54 Tahun
Setelah 6 tahun tinggal di Mesir mengembangkan
madzhabnya dengan lisan dan tulisan dan sesudah mengarang Kita bar Risalah
(dalam ushul fiqih) dan sesudah mengarang Kitab-kitab beliau yang banyak
sekali, maka beliau meninggal dunia pulang ke rahmatullahke dalam syurgaNya,
janntun na’im. Berkata Rabi’ bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i), “Imam
Syafi’i rahmatullah alaih bedrpulang ke rahmatullah pada waktu
petang sesudah shalat maghrib, pada hari kamis malam Jum’at, akhir bulan Rajab
dan kami makamkan beliau pada hari Jum’at dan sorenya kami lihat hilal tanggal
1 bulan Sya’ban 204 Hijriyah. Dalam tarikh Masehi bertepatan dengan tanggal 28
juni 819 M. Raja Mesir pada saat itu juga ikut shalat jenazah beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar