Selasa, 31 Mei 2011

6. Masih Adakah Imam Mujtahid?

Satu soal yang banyak dibicarakan dalam dunia Islam pada masa terakhir ini ialah persoalan tentang masih ada atau tidakkah Imam Mujtahid pada waktu sekarang atau pada waktu yang akan datang ? Sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini, lebih baik kita ketahui lebih dahulu bahwa derajat Imam Mujtahid Muthlak (Mujtahid penuh) adalah derajat yang tinggi sukar dicapai oleh sembarang orang, apalagi kalau orang itu tidak pernah masuk Sekolah Tinggi Agama Islam dalam dalam arti yang sebenarnya.
Betapa tidak, pangkat itu adalah seolah-olah pangkat Nabi, pengganti Nabi, Khalifah Nabi dalam memberikan hukum-hukum sesuatu persoalan. Ia menggantikan Nabi dalam membina hukum-hukum syari'at Islam, yang mana fatwanya itu dapat menyelamatkan manusia dunia dan akhirat. Alangkah mulia dan tingginya pangkat itu!!...
Pada zaman sahabat Nabi, tidak ada yang berani muncul menjadi Mujtahid kecuali hanya kita-kira 130 orang sedang yang lain hanya menjadi Muballigh, menyampaikan hadits-hadits dan menyampaikan hukum-hukum ijtihad orang lain, tidak berani berijtihad sendiri. Pada zaman Tabi'in dan Tabi' Tabiin pun, yaitu zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama tidak banyak orang yang sampai ke derajat Imam Mujtahid, paling banyak hanya 10 orang.
Barangkali tidak ada orang yang tidak kagum dengan ilmu Imam Ghazali, atau ilmu Imam Bukhari ahli Hadits yang terkenal atau ilmu Imam Nawawi, tetapi beliau-beliau ini belum berani menyatakan bahwa beliau sampai ke derajat Mujtahid Muthlak (penuh). Beliau-beliau itu masih mengatakan bahwa beliau Taqlid kepada lmam Syafi’i rahimahullah.
Banyak Ulama dari abad-abad kemudian yang tinggi-tinggi ilmunya, yang dapat menghafal beribu-ribu hadits yang dapat menghafal Al-Quran di luar kepala, yang tahu seluk beluknya bahasa Arab, tetapi hampir tidak ada yang mau menjadi Imam Mujtahid yang langsung berfat'wa menurut ijtihad sendiri. Mereka lebih aman menjadi orang yang taqlid dibanding menjadi Imam Mujtahid, karena menjadi Imam Mujtahid besar sekali resikonya, besar sekali bahayanya, bisa menyesatkan ummat dan akhirnya bisa merusak agama.
Cobalah perhatikan, tidak sedikit orang yang telah mencoba menjadi Imam Mujtihid, tetapi fatwanya itu tidak laku, tidak diterima orang dan akhirnya hilang diterbangkan angin. Hal ini disebabkan karena sendi-sendi ijtihadnya tidak kuat. Banyak orang yang berfatwa di atas mimbar memfatwakan ini dan itu, kadang-kadang sampai mengecam Imam-imam Mujtahid. Kemudian fatwanya sebentar saja sudah hilang lenyap karena sendi-sendinya tidak kuat. Demikianlah keadaannya.
Dalam hal ini sudah terdapat dua pendapat. Imam Rafi’i seorang Ulama pada abad VII H., berkata : "Orang-orang tampaknya sudah sepakat bahwa tidak ada lagi Imam Mujtahid pada waktu sekarang". (Maksudnya pada abad VII H.).
lmam Ghazali mengatakan dalam abad VI : "Sesungguhnya tidak berisi zaman ini dengan Mujtahid Muthlak".
Berkata lmam lbnu Daqiqil 'id pada abad VII H. : "Tidak ada zaman yang kosong dari Imam Mujtahid."
Berkata Imam Abu Ishak Sirazi pada permulaan abad,IV H. : "Tidak boleh satu masa kosong dari Imam Mujtahid”.
Demikianlah pendapat-pendapat itu. Perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa semua Imam tersebut adalah Ulama-ulama penganut Madzhab Syafi’i. Beliau-beliau itu hanya berselisih pendapat tentang "ada dengan tidak", bukan antara "boleh dengan tidak".
Yang mengatakan tidak ada itu bukan artinya ia melarang, tetapi hanya mengatakan bahwa tidak ada Imam Mujtahid pada abadnya itu, atau tidak ada lagi orang yang dapat mencapai derajat Imam Mujtahid Muthlaq. Beliau-beliau itu bukan mengatakan terlarang unfuk menjadi Imam Mujtahid Muthlaq yang baru, atau haram menjadi Imam Mujtahid Muthlaq baru, bukan begitu maksudnya. Beliau-beliau itu bersatu hati bahwa syarat untuk menjadi Mujtahid Muthlaq sangat berat, sangat sulit sehingga ada yang mengatakan tak sanggup orang ketika itu, apalagi zaman sekarang. Tetapi andaikata ada yang sanggup, yang betul betul sanggup, silakanlah dan tidak perlu diomongkan, bekerjalah dan orang akan menilai hasil karyanya. Yang sangat dikhawatirkan adalah bisikan iblis yang dengan sengaja membisikkan ke teringa orang-orang agar ia meloncat ke muka, menggali hukum, member fatwa, padahal belum pada tempatnya, sehingga nanti menjadi Imam Mujtahid gadungan yang merusak-binasakan agama .
Umpamanya saja orang yang belum insinyur dan bahkan belum sekolah tukang, tetapi ia bekerja berkeras hati hendak membuat gedung pencakar langit. Dibuatnya juga sebentar akan runtuh.  Seseorang yang belum belajar menyetir mobil, tapi berkeras hati membawa dan melarikan mobil. Akhirnya masuk jurang, bukan ? Yang lebih baik kalau belum pandai menyetir mobil duduk sajalah di belakang, serahkanlah setir kepada yang ahlinya supaya selamat. Kita selamat, penumpang selamat dan mobil pun selamat.
Apakah taqlid tidak menghambat kemajuan ? Tidak, bukan itu maksudnya. Tapi demi keselamatan Agama, demi keagungan Agama Tuhan, serahkanlah itu kepada yang ahlinya. Adalah lebih baik dan lebih aman bagi orang-orang yang belum sampai kepada derajat ijtihad, agar ia berfatwa menurut ajaran Imamnya yang ahli. Kalau bertabligh boleh mengemukakan hadits dan Quran, tetapi tafsirnya haruslah menurut yang difatwakan oleh Imam-imam Tafsir. Dan kalau mengadili sesuatu soal dalam fiqih, boleh mengeluarkan hadits dan Quran, tetapi tafsinya haruslah mengikuti Imamnya, jangan bermain di luar garis. Inilah yang paling aman!

Pada sub bab berikutnya, kami contohkan beberapa fatwa dari Mujtahid-mujtahid Gadungan atau Mujtahid palsu yang mencoba-coba bermain api, memberikan tafsir Quran menurut semaunya saja. 

Sabtu, 28 Mei 2011

5. Madzhab-madzhab dalam Fiqih

Seorang Imam Mujtahid yang berijtihad yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Quran dan Sunnah Rasul, maka hasil ijtihadnya itu dinamakan "Madzhab"-nya. Hasil ijtihad Imam Syafi’i dinamakan Madzhab Syafi'I, hasil ijtihad Imam Maliki dinamakan Madzhab Maliki dan begitulah seterusnya. Madzhab adalah bahasa Arab yang artinya jalan yang dilalui. Tetapi dalam istilah syari'at Islam berarti fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid.
Di dalam dunia Islam sekarang terkenal 4 besar Madzhab, yaitu :
1,. Madzhab Hanafi, yaitu fatwa-fatwa Imam Abu Hanifah an Nu'man bin Tsabit, (lahit 81 H. wafat 150 H) dan sahabat-sahabat beliau. Madzhab ini mulanya tumbuh di Iraq (Kufah), kemudian tersiar luas di Syria, Afganistan, India, Turki, Khurasan, Mesir, Aljazair, Tunis, Tripoli, Kaukasus, Balkan, Brazilia dan lain-lain.
2. Madzhab Maliki, yaitu fatwa –fatwa lmam Maliki bin Anas dan sahabat-sahabat beliau. [lahir 83 H. wafat 179 H.). Madzhab ini mulanya tumbuh di Madinah, kemudian tersiar luas di Hijaz,Marokko, Spanyol, Sudan dan lain-lain.
3. Madzhab Syafi'i, yaitu fatwa-fatwa Imam Muhammad bin Idris (lahir 150 H. wafat 204 H.). Madzhab ini mulanya tumbuh di Iraq dan Mesir, kemudian tersiar luas di Iraq, Mesir, Khurasan, Afghanistan, India, Indonesia, Thailand, Hijaz, Malaysia, Brunei, Yaman, Oman, Sudan, Somali, Syria, Palestina, Filipina dan sebagainya.
4. Madzhab Hanbali, yaitu fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hanbal dan sahabat-sahabat beliau. (lahir 162 H. wafat 241 H.). Madzhab ini tumbuh di Iraq dan kemudian tersiar luas dan akhirnya penganutnya yang banyak adalah di Nejed, negeri Ibnu Sa'ud, keluarga yang memerintah Saudi Arabia sekarang.
Inilah 4 Madzhab besar yang ditakdirkan Allah akan berkembang dan tetap memenuhi dunia Islam sampai sekarang (1437 H. (tahun 2016 M)). Madzhab-madzhab dalam fiqih pada mulanya banyak terdapat dalam dunia Islam karena Imam-imam Mujtahid itu banyak pula, apalagi Agama Islam sendiri menyuruh menggembirakan dan merestui agar setiap orang Islam harus pandai menjadi Imam Mujtahid, supaya hukum-hukum Islam itu tumbuh dari abad ke abad.
Para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang berfatwa tentang hukum fiqih sesudah Nabi wafat boleh digolongkan kepada Imam-imam Mujtahid karena beliau-beliau itu mengeluarkan hukum dari Al Quran dan Hadits. Dan dulu terdapat juga Imam Mujtahid, seperti Imam Daud Zhahiri, yaitu Abu Sulaiman bin Khalaf Al Ashbahani (lahir 200 H. wafat 270 H. di Baghdad). Tetapi sekarang sudah hilang. Dulu terdapat "Madzhab Ibnu Hazam,,, yaitu madzhab yang dibentuk oleh Ali lbnu Hazam di Andalusi (Cordova) (lahir 373 H. wafat 443 H.). Sekarang Madzhab itu tidak kedengaran lagi. Dulu juga terdapat "Madzlab Auza'i, Madzhab AI Leits, dan lain-lain, tetapi semuanya itu tidak tahan hidup dan hilang dibawa arus, mungkin karena dasar-dasar madzhabnya tidak kuat sehingga mudah saja hilang diterbangkan angin.
Yang tinggal sekarang dan yang diterima oleh dunia Islam ialah Madzhab yang 4 itu, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali.
Kalau kita berjalan ke seluruh dunia Islam pada waktu sekarang dan kita perhatikan masyarakat Islam dan pengadilan-pengadilan agamanya, akan terlihat sebagai berikut:
1. Marokko menganut Madzhab Maliki.
2. AlJazair menganut Madzhab Hanafi.
3. Tunis menganut Madzhab Hanafi.
4. Lybia menganut Madzhab Hanafi dan sedikit Syafi’i.
5. Turki menganut Madzhab Hanafi.
6. Mesir menganut Madzhab Hanafi dan sebahagian Madzhab Syafi’i.
7.  Iraq menganut Madzhab Hanafi dan sedikit Syi'ah Imamiyah.
8. Pakistan menganut Madzhab Hanafi dan sedikit Syi'ah Isma'iliyah.
9. India menganut Madzhab Hanafi.
10. Indonesia menganut Madzhab Syafi’i.
11, Philipina menganut Madzhab Syafi’i.
12. Malaysia menganut Madzhab Syafi’i.
13. Tiongkok menganut Madzhab Hanafi.
14. Somali menganut Madzhab Syafi’i.
15. Sudan menganut Madzhab Hanafi.
16. Negeria menganut Madzhab Hanafi.
17 . Afganistan menganut Madzhab Hanafi.
18. Libanon menganut Madzhab Hanafi dan sebagian Syi’ah Imamiyah.
19. Arabia Selatan menganut Madzhab Syafi’i.
20. Sa'udi Arabia menganut Madzhab Hanbali dan sebagian Hanafi.
21. Yaman menganut Madzhab Syi'ah Zaidiyah.
22. Iran menganut Madzhab Syi'ah Imamiyah.
23. Daerah-daerah Sovyet uni menganut Madzhab Hanafi dan sedikit Syi'ah.

Demikianlah pada umumnya mereka menganut salah satu madzhab yang empat, walaupun di sana sini terdapat juga beberapa orang yang "anti Madzhab”, tetapi pengadilan-pengadilan Agama tetap menganut hukum sebagai yang tertera dalam madzhabnya masing-masing.

Senin, 23 Mei 2011

4. Syarat untuk Menjadi Imam Mujtahid

Syarat muthlak bagi orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, ialah pandai, sekali lagi pandai. Tidak mungkin si Awam akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau si Awam mencoba hendak menjadi Mujtahid maka akan rusaklah agama, akan hancrulah agama dan akan porak porandalah hukum-hukum agama Islam yang suci. Ini masuk akal. Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam Negara Hukum ? Sudah pasti tidak. Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi Hakim, maka hukum itu akan diinjak-injaknya dan ia akan menjalankan "Hukum Rimba", yang berdasarkan siapa kuat siapa di atas.
Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak meniadi Imam Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas mengeluarkan hukum dari dalam Al-Quran dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat itu adalah :
1. Mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya karena Al-Quran dan Hadits, diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab yang fasih, yang mutunya tinggi dan pengertiannya luas dan dalam.
Allah berfirman :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya : "Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS Yusuf : 2)
Allah berfirman pula:
وَكَذَ‌ٰلِكَ أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا وَاقٍ
Artinya : "Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab . Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS Ar Ra'd : 37)
Orang yang tidak belaiar bahasa Arab tidak mungkin akan dapat menggali hukum-hukum dalam Al-Quran. Ini logis. Karena itu tidak mungkin ia menjadi Imam Mujtahid. Jadi ia harus mengikuti salah satu Imam, tidak boleh tidak. Al-Quran itu dalam bahasa yang fasih dan bermutu tinggi, tidak sama dengan bahasa pasaran atau bahasa-bahasa daerah yang sekarang banyak terpakai di daerah-daetah negeri Arab, atau katakanlah tidak sama dengan "bahasa Arab Tanah Abang". Orang Arab sendiri yang tidak mendalami bahasa Arab dan tidak belajar undang-undang bahasa Arab, tidak akan bisa menjadi Imam Mujtahid karena ia tidak akan pandai menggali isi Al-Quran sedalam-dalamnya.
Jadi hatus dipelajari semahir-mahirnya, bukan saja arti bahasa, tetapi ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa, seumpanya Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi', Balaghah, ‘Arudh dan Qawafi karena dengan ilmu-ilmu itu baru bisa diketahui yang mana dalam ayat ayat itu yang sifatnya umum, yang sifatnya khusus, yang suruhan, yang larangan, yang pertanyaaan, yang nash (nyata), yang majaz (tersirat), yang muthlaq, yang muqayad, yang berita, yang hikayat dan lain-lain sebagainya.
Di dalam Al-Quran ada firman yang pada lahirnya Nampak “menyuruh", tetapi pada hakikatnya “melarang” seumpama firman Allah :
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا ۗ أَفَمَن يُلْقَىٰ فِي النَّارِ خَيْرٌ أَم مَّن يَأْتِي آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Fushilat : 40)
Kalau kita tidak mengetahui ilmu ma'ni maka akan tersesatlah kita dalam memberikan arti kepada ayat ini karena bisa difahamkan bahwa Allah mengizinkan dan bahkan menyuruh supaya orang mengerjakan apa yang disukainya saja, biar pekerjaan jahat sekali pun. Padahal Allah dalam ayat ini bukan menyuruh, tetapi melarang dan mengecam supaya orang jangan berbuat sesuka hatinya saja dengan tidak memikirkan halal dan haramnnya.
Jadi ayat ini berarti larangan, bukan suruhan. Seperti halnya seorang bapak yang bosan atas kelakuan anaknya yang nakal, lantas berkata, "Sesuka hatimulah, buatlah apa yangkamu sukai!”
Contoh yang lain ada lagi,yaitu di dalam Al-Quran ada ayat yang tidak menurut bahwasanya, yaitu Allah berfirman :
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍكُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ  وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya : "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.". (Ar Rahman : 26-27)
Adapun arti wajah dalam bahasa Arab adalah “muka”. Jadi menurut ayat ini, sekalian yang ada akan lenyap atau binasa sedangkan yang kekal hanya "muka" Tuhan. Orang-orang yang mengetahui sastra Arab, ahli Bayan dan Ma'ni tentu mengetahui bahwa yang dimaksud dengan wajah dalam ayat ini adalah"dzat" Tuhan bukan "muka" Tuhan. Maka arti yang sebenarnya dari ayat ini adalah : "Sekalian yang ada akan lenyap/binasa, kecuali "dzat" Tuhan. Kesimpulan dapat dikatakan bahwa orang yang ingin menjadi Imam Mujtahid harus mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya, kalau tidak ia akan berbuat banyak kesalahan.
Ada orang bertanya, bahwa di Indonesia sekarang sudah banyak kitab-kitab terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang disusun dan dikarang oleh penterjemah bangsa Indonesia. Sudah bolehkah kita menggali hukum fiqih dari dalam Al-Quran, sedang kita hanya baru mengetahui arti ayat-ayat Al-Quran dari kitab-kitab teriemahan itu ? Memang sudah ada beberapa kitab terjemahan Al-Quran, dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan tegas pertanyaan di atas dapat dijawab dengan "Belum bisa", karena:

a. Ada kemungkinan terjemahan itu tersalah atau salah, sedang kita tidak mengetahui karena kita tidak mempunyat alat untuk mengoreksi kesalahan itu.
b. Kalau kita hanya mengikut saja kepada terjemahan pengarang-pengarang itu, maka artinya kita masih bertaqlid, belum Mujtahid.
c. Dalam kenyataannya terjemahan-terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang sudah ada di Indonesia, terdapat perbedaan-perbedaan arti satu sama lain dari satu ayat. Masing-masingnya memberikan arti menurut pendapatnya saja. Misalnya perkataan "laamas-tum" dalam Surat Nisa', ayat ke 43, terdapat terjemahan yang berlain-lainan.
Dalam terjemahan A berbunyi : "Atau kamu telah menyentuh perempuan" . (halaman 125).
Dalam terjemahan B berbunyi : "Atau kamu sentuh perempuan-perempuan". (halaman 159).
Dalam terjemahan C berbunyi : 'Atau kamu sudah campur dengan isterimu". (halaman 71).
Dalam terjemahan D berbunyi: "Atau kamu campur dengan perempuan". (halaman 119).
Ma'af, di sini tidak dituliskan nama pengarang dari kitab terjemahan Al-Quran itu, sebab pengarang-pengarangnya ada yang masih hidup dan mungkin merasa keberatan kalau namanya dicantumkan di sini.
Ayat ini ialah tentang soal yang “membatalkan wudhu''. Perhatikanlah baik-baik dengan tenang! Dengan keempat terjemahan itu, terdapat perbedaan-perbedaan arti yang juga dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan hukum yang keluar dari ayat ini.
Menurut terjemahan A, berarti bahwa sekalian persentuhan dengan perempuan membatalkan wudhu’. Tidak perduli apakah perempuan itu ibu, saudara, anak, mertua dan lain-lain sebagainya, karena dalam terjemahan itu hanya dikatakan : “atau kamu telah menyentuh perempuan".
Menurut terjemahan B, timbul hukum bahwa bersentuh dengan seorang perempuan tidak membatalkan wudhu'. Yang membatalkan ialah bersentuhan dengan banyak perempuan, karena dalam terjemahannya dlkatakan : “atau kamu sentuh perempuan-perempuan".
Menurut terjemahan C, menimbulkan pengertian bahwa bercampur dengan isteri membatalkan wudhu'. Apakah arti "bercampur” dalam bahasa Indonesia ? Artinya ialah bergaul atau berkumpul. Nah ! Menurut terjemahan C, bergaul saja dengan isteri sudah membatalkan wudhu’, tetapi bergaul dengan perempuan lain tidak membatalkan wudhu’, karena terjemahannya "atau kamu sudah campur dengan isterimu”. Tetapi kalau yang dimaksudkan dengan "bercampur" itu bersetubuh dengan isteri, maka yang membatalkan wudhu’, hanya bersetubuh dengan isteri. Adapun bersetubuh dengan orang lain tidak membatalkan wudhu’. Apakah begitu maksudnya ?
Menurut terjemahan D menimbulkan pengertian sama dengan terjemahan C. Akan tetapi bagi terjemahan D adalah bercampur dengan perempuan, bukan dengan isteri saja seperti terjemahan C.
Kesimpulannya, belumlah mungkin orang menggali hukum fiqih hanya bersandarkan dan berpedoman kepada arti ayat yang diberikan oleh pengarang-pengarang terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia. Sekali lagi ditekankan bahwa syarat mutlaq bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui bahasa Arab dalam segala seginya, karena Al Quran dan Hadits itu ditulis atau diturunkan oleh Tuhan dalam bahasa Arab yang mutunya sangat tinggi.
d. Harus diketahui, bahwa ayat ayat AL-Quran itu ditafsirkan artinya dengan hadits-hadits Nabi, atau dengan kata lain bahwa tafsiran Al-Quran haruslah menurut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh semaunya saja menurut kemauan kita. Karena itu adalah syarat muthlaq bagi setiap Imam Mujtahid mengetahui seluruh hadits yang bersangkutan dengan ayat itu, yaitu hadits-hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits yang 6 yaitu, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah. Dus, tidak cukup kalau baru hanya mengetahui tafsir Al-Quran dari Kitab-kitat Tafsir atau Kitab-kitab Terjemahan bahasa Indonesia itu.
2. Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum Al-Quran, yakni diketahui lebih dahulu mana di antara ayat Al-Quran itu yang umum sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayan, yang muthlaq, yang muqayad, yang zahir, yang nash, yang nasikh, yang mansukh, yang muhakkam yang mutasyabih dan lain-lain sebagainya. Untuk mengetahui hal ini semuanya calon Imam Mujtahid harus mengerti Ilmu ushul Fiqih, kalau tidak, tidaklah mungkin menjadi Imam Mujtahid, tetapi harus menjadi orang bertaqlid saja kepada salah seorang Imam Mujtahid.
Memang berat syarat-syarat ini, karena seperti yang dikatakan di atas, bahwa jabatan Imam Mujahid itu adalah jabatan yang sangat tinggi, karena ia adalah sebagai pengganti Rasulullah dalam membentuk hukum agama .
3. Syarat yang ketiga bagi lmam Mujtahid ialah mengerti akan isi dan maksud Al-Quran keseluruhannya, ke 30 juznya. Pada ketika ia berijtihad dalam sesuatu masalah semua isi dari Al-Quran terbayang di kepalanya, sehingga tidak menimbulkan hukum yang bertentangan dengan salah satu dai ayat-ayat Al-Quran itu. Imam Syafi'i rahimahullah dalam usia 9 tahun telah hafal keseluruhan ayat Al-Quran di luar kepala, begitu juga Imam Hanafi telah hafal seluruh ayat Al-Quran di luar kepala semasa beliau masih kecil. Adalah tidak mungkin bagi seseorang Imam Mujtahid kalau ia hanya mengetahui 10, 20 atau 100 ayat saja, karena ayat-ayat Al-Quran sangkut-bersangkut antara satu dengan yang lainnya.
Untuk menggambarkan kesulitannya, baiklah kami nukilkan perkataan Imam Ibnul Arabi al Maliki, pengarang kitab Tafsir "Ahkamul Quran", bahwa gurunya mengatakan kepadanya, bahwa dalam surat Al Baqarah saja terdapat seribu perintah, seribu larangan, seribu hukum, seribu berita (Ahkamul Quran jilid
I, halaman 8).
4. Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui 'Asbabun-nuzul" bagi setiap ayat itu, yakni mengetahui sebab maka ayat-ayat itu diturunkan. Seperti dimaklumi bahwa ayat-ayat suci Al-Quran bukan diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur selama 23 (duapuluh tiga) tahun.
Setiap ayat itu diturunkan karena ada perlunya, umpamanya untuk menjawab suatu pertanyaan dari rakyat, untuk mengalahkan sesuatu hujjah musuh, untuk suatu kabar yang diperlukan dan lain-lain sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran itu. Ini dinamai “Asbabun-nuzul", yaitu sebab-sebabnya turun. Setiap Imam Muitahid harus mengetahui Asbabun-nuzul, kalau tidak maka ia akan tersalah dalam mengartikan ayat-ayat itu.
Sebagai contoh dikemukakan, peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. Tersebut dalam Kitab. "Ahkamul Quran", juz l,halaman 28, bahwa dulu ada orang yang tersalah dalam mengartikan ayat, karena tidak tahu sebabnya maka ayat iru dirurunkan. Mereka membolehkan minum arak berdalilkan ayat Al Quran yang tersebut dalam surat Al Maidah, ayat 93 begini :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوا وَّآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوا وَّأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Aytinya : "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS AI Maidah : 93).
Nah, kata mereka, ayat ini membolehkan memakan atau meminum apa saja, kalau sudah mu'min dan sudah beramal saleh. Mereka tersalah dalam memberi arti kepada ayat ini karena tidak mengetahui “asbabun-nuzul", sebab-sebabnya maka ayat ini diturunkan.
Ayat ini justru untuk melarang minum arak, bukan untuk membolehkannya. Ceritanya begini : Dulu orang-orang Islam banyak minum arak, yakni sebelum dilarang. Kemudian turun ayat tersebut dalam surat Ar Baqarah : 219, yang menyuruh berhenti meminum arak itu. Sekumpulan orang Islam bertanya kepada Rasulullah : "Bagaimana-halnya kami yang sudah banyak minum arak dulu itu, yakni sebelum dilarang?” Maka turunlah ayat Al Maidah 93 ini, bahwa yang telah termakan atau terminum yang dulu-dulu itu tidak berdosa asal sekarang sudah iman dan sudah beramal saleh. Maka ayat ini turunnya untuk mencukupkan keterangan larangan, bukan untuk membolehkan apa saja untuk dimakan atau diminum.
b. Allah berfirman :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya : "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS AI Baqarah : 115).
Kalau menurut lahir atau lafazh ayat ini saja bisa timbul hukum, bahwa menghadap kiblat dalam sembahyang tidak wajib, karena wajah Allah ada di mana-mana. Pengertian semacam itu salah. Ummat Islam dari dulu sampai sekarang telah ijma' (sepakat) mewajibkan menghadap kiblat dalam shalat yang lima waktu dan shalat yang sunnat yang lain. Kesalahan pengertian ayat itu timbul karena tidak mengetahui 'Asbabun-nuzul" yaitu sebab maka ayat itu diturunkan. Sebab turunnya ayat ini adalah :
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membutuhkan banyak shalat sunnat, tetapi beliau dalam perjalanan mengendarai onta dari Mekkah ke Madinah. Pada ketika itu turun ayat tadi yang memberi izin untuk menghadap kemana saja pada ketika shalat sunnat dalam perjalanan di atas kendaraan. Jadi ayat ini khusus untuk shalat sunnat dalam perjalanan. Seseorang berlayar dengan kapal api, atau terbang dengan pesawat udara, atau berjalan jauh dengan mobil, sedang ia akan shalat sunnat. Pada ketika itu ia boleh menghadap dalam shalat kemana kendaraannya menghadap karena wajah Allah itu ada di mana-mana. Inilah arti ayat ini yang sebenarnya,yang mana kalau tidak tahu kisah ini, niscaya akan tersalah dalam menggali hukum dalam ayat ini.
Kesimpulannya : Ilmu Asbabun-nuzul adalah syarat bagi seseorang yang menjadi Imam Muitahid!
5. Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui hadits-hadits Nabi, sekurangnya apa yang telah termatub dalam Kitab-kitab Hadits yang 6, yaitu: 1. Sahih Bukhari, 2. Sahih Muslim. 3. Sahih Tirmidzi. 4. Sunan Nisai, 5. Sunan Abi Daud dan ke 6. Sunan Ibnu Majah. Dan sebaiknya mengerti juga hadits-hadits yang tersebut dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Mustadrak Hakim, Sahih Ibnu Hibban, SahihTabhrani, Sunan Daruquthni dan lain sebagainya.
Hal ini sangat perlu, karena hukum-hukum fiqih ini bersumber kepada Quran dan Hadits, bukan kepada Quran saja atau kepada aqal saja, atau pendapat manusia saja. Karena itu setiap Imam Mujtahid harus mengerti Quran dan Hadits.
6. Syarat yang ke-enam bagi setiap lmam Mujtahid ialah berkesanggupan menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih mana yang maudhu' (yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, dan mana hadits yang lemah. Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui pula si"Rawi” yakni keadaannya orang yang meriwayatkan hadits itu. Ini penting, kalau tidak, kita akan terjerumus kepada mengambil hadits-hadits yang palsu, yang bercacat, yang lemah dan lain-lain sebagainya.
7. Mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam masalah-masalah yang dihadapi. Ini sangat perlu, agar setiap Imam Mujtahid tidak terjerumus kepada mengeluarkan hukum yang melawan ijma', yaitu kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam suatu zaman. Oleh karena itu sekurangnya ia harus membaca dan memahami kitab-kitab karangan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam syafi’i, dan Imam Hanbali, yang semuanya bisa didapat waktu sekarang, karena sudah banyak dicetak pada percetakan-percetakan di Mesir.
Demikianlah diantaranya syarat-syarat yuridis bagi seorang Imam Mujtahid, di samping ada pula syarat-syarat yang lain, yaitu shaleh dan bertaqwa kepada Allah, berakhlak yang tinggi, tidak sombong dan tidak takabbur, tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang keji yang dilarang oleh agama Islam.
Nah, cobalah ukur diri kita masing-masing, apakah kita sudah mempunyai syarat yang cukup untuk menjadi imam Mujtahid atau belum. Kalau sudah cukup, dan benar-benar cukup, silahkanlah menjadi Imam Mujtahid dan tampilah kemuka secara terus terang mengatakan :"INILAH IJTIHAD SAYA”. Ummat yang banyak ini, yang kebanyakan sudah cerdas pula, tentu akan member nilai, apakah benar-benar orang ini sudah berhak menjadi Imam Mujtahid, ataukah masih “taqlid” kepada ulama-ulama lain.

Akan tetapi, kalau umpamanya belum memenuhi syarat di atas janganlah buru-buru, belajarlah dulu sampai matang. Ketika itu ikut saja salah seorang dari Imam Mujtahid yang terdahulu, umpamanya Imam Syafi'i rahimahullah,misalnya. Mengikuti Imam Mujtahid ini pada hakekatnya adalah mengikut Quran dan Hadits dalam arti yang sebenarnya, kata Syeikh Yusuf Dajwi, seorang yang pernah menjadi guru besar Universitas AI Azhar di Mesir.

3. Fatwa Agama Sesudah Nabi Wafat.

Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau meninggalkan Quran-suci yang ditulis di atas tulang-tulang, pelepah tamar, tembikar, batu atau apa saja yang dapat ditulis. Yang ditulis ketika itu hanya Quran saja. Beliau juga meninggalkan hadits-hadits yang tersimpan dalam dada para sahabat. Tentang hadits tidak sama halnya antara para sahabat Nabi; ada yang banyak menghafal perkataan Nabi karena selalu berjumpa dengan Nabi dan yang menghafal sedikit karena ia jarang bertemu dengan Nabi dan bahkan ada pula yang menghafal hanya satu atau dua hadits saja karena ia banyak utusan di luar. Oleh karena itu biasa pula terjadi sesudah Nabi wafat seorang sahabat Nabi bertanya kepada sahabat yang lain tentang hadits-hadits Nabi karena ia ketika itu kebetulan tidak mendengar dari Nabi. (Ini logis saja).
Walaupun sahabat-sahabat yang ditinggalkan Nabi beribu-ribu jumlahnya, (ingatlah pada ketika haji wada', (penghabisan) Nabi naik haji bersama 124.000 orang sahabat), tetapi yang berani berfatwa sesudah Nabi wafat hanya lk. 130 orang sahabat saja. Dan itupun diantara mereka ada yang banyak fatwanya,ada yang sedang saja dan ada pula yang hanya satu dua saja. Golongan yang banyak tahu dan banyak 'alim sehingga banyak fatwanya adalah 7 orang saja, yaitu :
1. Saidina umar bin Khattab, sahabat dan Khalifah Nabi yang kedua.
2. Ali bin Abi Thalib, sahabat dan menantu Nabi. (Suami Sitti Fatimah radhiyallhu anha) dan Khalifah Nabi yang keempat.
3. Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat yang banyak ilmunya.
4. Sitti 'Aisyah, isteri Nabi, Ummul Mu’minin.
5. Zeid bin Tsabit, jurutulis yang banyak menuliskan Quran.
6. Abdullah bin Abbas, sahabat ahli hadits dan ahli tafsir.
7- Abdullah bin Umar, sahabat Nabi yang hampir selalu mengikuti Nabi ketika pergi berjihad.
Inilah nama 7 orang sahabat Nabi yang banyak memberikan fatwa sesudah Nabi meninggal, karena beliau-beliau itu banyak mengetahui ayat-ayat Quran dan banyak mendengar hadits-hadits Nabi. Akan tetapi semua sahabat Nabi yang mendengar ucapan-ucapan Nabi dan melihat perbuatan-perbuatan Nabi dan yang mengetahui ketetapan-ketetapan yang diambil oleh Nabi, semuanya menyampaikan yang didengarnya itu kepada murid (ummat)nya yang di bawah, yaitu yang dinamakan para tabi’in (orang-orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menggembirakan orang-orang yang memangku hadits-hadits dan menyampaikannya kepada muridnya sebagai yang ia dengar. Nabi bersabda :
نَضَّرَ اللهُ مْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَأَدَّاهَاكَمَاسَمِعَهَا
Artinya : "Mencemerlangkan AIIah akan orang-orang yang mendengar ucapan-ucapan saya, menyimpan di dalam dada dan menyampaikan kepada murid-muridnya sebagai yang ia dengar". (HR. Baihaqi).
Itulah orang yang dinamakan “Rawi”, yaitu yang merawikan.meriwayatkan hadits dari yang satu kepada yang lain. Adapun sahabat-sahabat yang lebih kurang 130 orang tadi, selain ia menjadi Rawi, juga ia mengeluarkan hukum dari hadits itu dan berfatwa sesuai dengan “ijtihad” (pendapatnya). Tidak banyak sahabat Nabi yang sanggup menjadi Imam Mujtahid, yang sanggup berfatwa berdasarkan ijtihadnya masing-masing.
Berkata Masruq sahabat Nabi, “Saya lihat para sahabat Rasulullah yang tua-tua umurnya bertanya kepada Sitti Aisyah tentang hukum faraidh (tarekah)". . Berkata Ibnu Jureir, "Bahwasanya Abdullah bin Umar dan orang-orang yang hidup kemudiannya di Madinah, berfatwa dengan Madzhab Zaid binTsabit". Teranglah dalam ucapan Ibnu Jureir ini bahwa sesudah Nabi wafat ada di antara sahabat-sahabat Nabi yang menjadi Imam Mujtahid dan ada pula yang bertaqlid kepada salah seorang Imam Mujtahid itu.
Adapun sahabat-sahabat Nabi yang sedang saja banyak fatwanya adalah:
1.  Saidina Abu Bakar, sahabat yang pertama dan utama, Khalifah ke I. Ikut bersama Nabi pindah ke Madinah. (wafat 11 H.)
2.  Ummi Salamah, isteri Nabi, Ummul Mu'minun.
3.  Anas bin Malik, sahabat dan Khadam Nabi.
4.  Abu Hurairah, sahabat yang bersama Nabi ketika suka dan duka. (Banyak merawikan hadits, tapi fatwanya tak begitu banyak).
5.  Utsman bin Affan, sahabat Nabi yang utama, Khalifah ke III.
6. Dan ada 15 orang lagi.
Inilah sahabat-sahabat Nabi yang fatwanya tidak begitu banyak.
Selain sahabat-sahabat Nabi yang tersebut, maka sahabat-sahabat yang lain, sedikit sekali yang berfatwa sesudah Nabi meninggal. Boleh dikatakan bahwa sedikit sekali diantara sahabat-sahabat Nabi yang menjadi Imam Mujtahid, hanya beliau-betiau yang tersebut di atas saja.
Kita sudah mengetahui dalam sejarah ummat Islam, bahwa pada masa Khalifah sesudah Nabi meninggal, negeri Islam sudah luas. Pada masa Saidina umar bin Khathab saja agama Islam sudah meluas ke Mesir, ke palestina, ke Persia dan pada masa Khalifah Bani Umaiyah dan Bani Abbas, Islam sudah meluas sampai ke seluruh penjuru dunia. Ke Barat sampai Aljazair, ke Marokko, ke Spanyol dan ke Timur sampai ke Afganistan, ke Turkistan dan bahkan sudah sampai ke Tiongkok.
Sesuai dengan perkembangan Islam dan sesuai pula dengan luasnya daerah-daerah yang memeluk agama Islam, maka para sahabat Nabi dan para tabi’in (orang-orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi) bertebaran pula ke pelosok dunia untuk mengembangkan agama Islam yang dipeluknya. Para sahabat yang bertebaran itu menjumpai bermacam-macam soal baru yang belum ada nashnya (hukumnya yang kelihatan) di dalam Al-Quran dan Hadits, sehingga mereka berijtihad sendiri untuk menetapkan hukum-hukum dalam masalah yang baru itu. Maka berijtihadlah mereka kalau mereka tidak menjumpai nash dalam Al-Quran dan Hadits, karena ijtihad itu, baru dibolehkan kalau nash tidak ada. Sudah menjadi tugas Imam Mujtahid mengeluarkan hukum-hukum dari isi Al-Quran dan Hadits yang mana itu tidak dapat dilihat oleh orang biasa.
Inilah yang dinamakan "istinbath", yaitu menggali hukum. Dan hukum-hukum yang didapat sesudah digali, itulah yang dinamakan madzhabnya orangyang menggali itu. Ini madzhab Syafi’i karena digali oleh Syafi’i. Ini madzhab Maliki, karena digali oleh Maliki dan begitulah seterusnya. Hal ini dibolehkan dan direstui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Tirmidzi dan lain-lain, tersebut begini :
عَنْ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّابَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَفِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدُرَأْيِ وَلاَآلُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ : اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ
Artinya : "Dari Mu'adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepadanya, " Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa ke depanmu ?""Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah" jawab Mu'adz. Nabi bertanya lagi, "Kalau tak tersebut dalam Kitabullah, bagaimana ?"Jawab Mu'adz, " Saya akan memutuskannya menurut Sunnah Rasul". Nabi bertanya lagi, " Kalau engkau tak menemui hal itu dalam Sunnah Rasul dan Kitabullah, bagaimana?"Mu'adz menjawab, "Pada ketika itu saya akan berijtihad tanpa bimbang sedikitpun". Mendengar jawab itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata, " Semua puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya". (Hadits riwayat Imam Tirmidzi dan Abu Daud. Lihat kitab SahihTirmidzi juzu' II, halaman 68 - 69 dan Sunan Abu Daud, juz, lll, halaman 303).
Hadits ini terang benderang, bahwa seorang qadli (hakim) harus berfatwa dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul dan kalau tidak dijumpai dalam Kitab Allah dan Rasul barulah ia berijtihad. Hal ini disetujui oleh Rasulullah, sesuai dengan Hadits Mu'adz ini. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada pula bersabda :
إِذَااجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصاَبَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَأَخْطَأَفَلَهُ أَجْرٌوَاحِدٌ
Artinya : "Hakim (Imam-imam kalau ia beijtihad dan betul dalam ijtihadnya, maka ia dapat dua pahala, tetapi kalau ia salah dalam ijtihadnya (dengan arti tidak sesuai dengan yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala) maka ia dapat juga satu pahala." (Hadits riwayat Muslim-Lihat Syarah Muslim juz Xll, halaman 13).
Dengan diberinya pahala Imam-imam Mujtahid yang berijitihad itu, membuktikan kepada kita bahwa pekerjaan ijtihad itu adalah suatu pekerjaan yang direstui oleh agama. Dalam suatu surat amanat yang dikirim Saidina Umar radhiyallahu anhu kepada Walinya di Basrah, Abu Musa al Asy'ari, beliau berkata :
 اَلْفَهْمَ اَلْفَهْمَ فِيْمَاتَلَجْلَجَ فِى صَدْرِكَ مِمَّالَيْسَ فِى كِتَابٍ وَلاَسُنَّةٍ اِعْرِفِ الْأَشْبَاهَ وَالْأَمْثَالَ وَقِسِ الْأُمُوْرَعِنْدَ ذَلِكَ
Artinya : "Fahamkan, fahamKan benar sekalian soal yang bergolak dalam dadamu, yang tidak terdapat (hukumnya) dalam Kitab dan Sunnah. Perhatikanlah yang serupa dan sebanding, ketika itu qiyaskanlah yang satu kepada yang lain.”(Kitab Syafi’i, Muhammad Abu Zarah, halaman 64).
Teranglah bahwa Khalifah Nabi, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, menyuruh juga utusannya berijtihad dalam suatu hukum masalah yang tidak terdapat nashnya dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul. Berkata Syaharstani dalam kitab al Milal wan Nihal : “Bahwasanya hal-hal yang baru dan kejadian-kejadian dalam pergaulan sehari-hari banyak sekali datang silih berganti, tak terhitung banyaknya. Sampai akhir zaman, akan terus begini."
Kita mengetahui dengan pasti bahwa "nash,, Quran dan Hadits tidak ada yang membicarakan hal ini  satu persatu. Ini pasti dan juga tidak mungkin ada hadits dan Quran untuk tiap-tiap sesuatunya itu. Karena Quran dan Hadits ditutup setelah selesai pada waktu Nabi meninggal, sedang hal-hal dan kejadian ini terjadi terus menerus. Tidak masuk akal bahwa barang yang telah tertutup dan telah berhenti dapat membicarakan hal-hal yang baru yang silih berganti. Wahyu tak turun lagi sedang kejadian-kejadian tetus berlangsung. Karena itu dapat dimaklumi bahwa ijtihad dan qiyas (perbandingan -perbandingan) itu mesti, wajib, tidak boleh tidak, supaya setiap sesuatu ada hukumnya.

Para sahabat Nabi sesudah Nabi meninggal, dihadapkan kepada kejadian baru yang belum pernah ada pada zaman Nabi, maka mereka meneliti ayat ayat Quran adakah hukum hal itu di dalamnya ? Kalau ada, mereka menghukum dengan Al Quran, tetapi kalau tidak ada hukum yang nyata maka mereka mencari dalam hadits-hadits. Kalau hal ini juga tidak menolong, dengan arti tidak seorang jugapun di antara para sahabat yang mengetahui sebuah hadits yang sesuai dengan masalah yang terjadi, maka mereka ber"ijtihad" sendiri. Hal ini sama dengan seorang hakim pengadilan yang terikat dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang terdahulu maka mereka menghukum sendiri dengan keinsyafan bathin mereka dengan pertanggungan jawabnya kepada Tuhan. Demikian kata Syaharstani yang diterjemahkan secara bebas. Dapat dimaklumi dari perkataan beliau ini bahwa ijtihad itu mesti dan perlu, kalau tidak, agma akan mandek, akan terhenti dan tidak akan sanggup menghadapi zaman. 

Minggu, 22 Mei 2011

2. Fatwa Agama pada Masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

2. Fatwa Agama pada Masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Pada masa hidupnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada kesulitan. Semua hukum yang dibutuhkan masyarakat diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau langsung menyampaikannya kepada orang banyak. Misalnya hukum shalat membayar zakat. Tuhan memerintahkan dengan wahyu perantaraan Malaikat Jibril, langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau sesudah menerima lantas membacakan wahyu itu kepada para sahabat yang hadir ketika itu.
Allah berfirman, kata beliau :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' “
Pada ayat ini Allah menyuruh shalat dan mengeluarkankan zakat. Nabi berfatwa, ummat menerima. Kalau dalam perintah itu belum terang maka ummat bertanya kepada Nabi, yakni bagaimana caranya shalat itu, apa rukunnva, apa syaratnya dan pula perintah itu wajibkah atau sekedar anjuran. Begitu juga zakat, apakah macamnya harta yang mesti dizakatkan, kepada siapa harus diberikan, berapa banyaknya harta yang wajib dizakatkan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kesemuanya itu dan menerangkan dengan sejelas-jelasnya apa maksud Allah dengan wahyu-Nya itu, karena tugas Nabi selain menyampaikan wahyu kepada ummat, juga menjelaskan maksud wahyu itu.
Inilah maksud firman Allah :
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya : "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia . Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS Al-Maidah : 67).
Dan dalam ayat lain disebutkan:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan". (QS An Nahl : 44).
Jadi tugas Rasulullah ialah menyampaikan wahyu dan menjelaskan isi dan maksudnya. Kalau umpamanya ada ummat bertanya kepada Nabi dalam hukum sesuatu yang tidak/belum diturunkan wahyunya, maka Nabi menjawab, boleh jadi dengan menunggu wahyu atau beliau saja menerangkan tanpa wahyu yang dengan perantaraan Malaikat Jibril. Yang wahyu dinamakan al-Quran, dan yang langsung dari Nabi dinamakan hadits-hadits Nabi atau Sunnah Rasul. Yang wahyu pada waktu itu dituliskan, tetapi hadits-hadits tidak boleh dituliskan, karena takut akan campur aduk dengan wahyu. Hadits-hadits semuanya disimpan dalam dada dan dihafal di luar kepala oleh para sahabat Nabi yang mendengarnya.
Contohnya:
1. Sekumpulan orang bertanya kepada Nabi tentang hukum bersetubuh dengan isteri ketika mereka membawa bulan (haidh), maka Nabi menjawab dengan wahyu Ilahi, begini:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya : "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." . (QS AI Baqarah :222).
Kemudian ayat ini menimbulkan soal lagi karena dalam ayat tersebut disebutkan : 'Janganlah kamu mendekati mereka". Apakah benar-benar tidak boleh mendekati mereka? Hat ini diterangkan Nabi pula dengan ucapan beliau, begini:
إِصْنَعُوْاكُلَّ شَيْءٍإِلاَّالنِّكَاحَ
Artinya : "Buatlah apa saja kecuali bersetubuh". (Riwayat Muslim, dalam Sahih Muslim juz Xll hal. 211).
Pertanyaan yang pertama dijawab dengan wahyu dan yang kedua dijawab dengan hadits.
1. Sekumpulan orang bertanya kepada Nabi tentang hukum meminum minuman keras dan berjudi. Demikian pula mereka bertanya tentang apa yang harus mereka nafkahkan. Nabi menjawab dengan wahyu Ilahi, begini 
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَ‌ٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Artinya : "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir". (QS Al Baqarah : 219).
2. Seorang bertanya kepada Nabi tentang air laut, apakah boleh dipakai buat berwudhu' atau tidak. Beliau menjawab pertanyaan itu dengan tidak menunggu wahyu, sebagai tersebut dalam kitab hadits, begini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مَاءِالْبَحْرِ,فَقَالَ هُوَ الطَّهُوْرُمَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya : "Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya seorang laki-Iaki bertanya kepada Rasulullah tentang air laut, maka Nabi menjawab : "Air laut itu membersihkan (boleh dipakai untuk berwudhu'). Ikannya yang mati pun boleh dimakan" . (Hadits Tirmidzi - SahihTirmidzi juz I halaman 88).

Demikianlah bahwa hukum-hukum pada masa Nabi tidaklah mendapatkan kesulitan karena apa saja boleh ditanyakan kepada beliau.