Rabu, 01 Juni 2011

7. Mujtahid Gadungan!!!

Ada Mujtahid Gadungan.
Dahulu dan sekarang ada orang-orang semacam ini, ialah orang-orang yang sok aksi berfatwa ini-itu, tapi tidak pernah mempelajari fiqih, tak pernah mempelajari tafsir, tak pernah belajar bahasa Arab, tak pernah memasuki sekolah Agama, hanya berlagak Ulama.
Kejadian - kejadiannya :
1. Ada seseorang yang mengatakan bahwa isteri-isteri orang yang mati syahid langsung masuk syurga bersama suaminya. Jelas bahwa orang itu tidak mengetahui bahwa masuk syurga itu adalah tergantung kepada amal masing-masing yang tidak dapat diandalkan kepada suami. Sedangkan isteri Nabi Nuh tidak dapat masuk syurga bersama suaminya. (Al-Quran surat At Tahrim ayat 10) dan isteri Nabi Luth juga tidak bisa masuk syurga langsung bersama suaminya. (Al-Quran Surat An Naml -57).
2.  Ada lagi yang mengatakan bahwa kalau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup pada zaman ini, tentu beliau akan menghalalkan riba karena riba itu perlu dalam pembangunan Negara. Negara tak akan hidup tanpa Bank yang pakai riba. Jelas juga bahwa orang itu tidak tahu bahwa syariat Islam yang melarang riba bukanlah ciptaan pikiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi adalah perintah Tuhan. Tuhan yang hidup dari dulu sampai sekarang dan selanjutnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya Rasul Allah yang menyampaikan perintah itu.
3. Ada seorang ulama', di Indonesia yang mengatakan bahwa memakai pakaian ihram ketika mengerjakan Haji adalah rukun Haji. Terang juga bahwa ulama’ ini tidak pernah mempelajari bahwa memakai pakaian haji iru bukanlah rukun, tapi hanya "wajib" haji. Kalau tidak dipakai tidaklah membatalkan haji seperti meninggalkan rukun. Yang rukun ialah ihram, bukan memakai pakaian ihram.
4. Ada seorang "Profesor" mengatakan bahwa kita di Indonesia ini tidak pantas mengikuti Madzhab Syafi’i rahimahullah karena Madzhab itu dibuat di Mesir. Lebih baik kita bikin Madzhab sendiri di Indonesia yang kita namai “Madzhab Nasional”. Orang ini betul-betul keblinger, tak mengerti persoalan yang dihadapinya.
5. Ada cerita lucu.
Pada zaman dulu, yaitu zaman Khalifah al Mutawakil (822-861 M.) seorang wanita mendakwakan bahwa ia menjadi Nabi. Nabi gadungan itu dipanggil oleh Khalifah dan ditanyai, “Engkau Nabi ?", Tanya al Mutawakil. "Ya Tuanku," jawab si Wanita. "Engkau tak percaya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan bahwa tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad?" Wanita itu menjawab, "Percaya Tuanku' Tetapi yang tidak ada itu adalah Nabi pria, sedang perkataan "nabiya" itu adalah Iaki-laki. Saya ini Nabi Wanita”. Akhirnya Khalifah al Mutawakil ketawa dan membebaskan saja wanita itu karena dianggap sinting'
6. Ada Iagi pada zman Khalifah Mutawakil juga seorang laki-laki mendakwakan pula bahwa ia Nabi. Khalifah memanggil dan bertanya, "Engkau benar Nabi ?"' tanya Mutawakil.'Ya," katanya. “Apa buktinya dalam Al-Quran bahwa engkau Nabi ?"' Tanya Mutawakil. "Ayat Tuhan dalam Surat An Nasr", katanya:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Artinya : " Apabila datang Nashrullah dan kemenangan". Nama saya Nashrullah". Mutawakil dan Menteri jadi bingung menghadapi Nabi gadungan yang berdalil dengan Al-Quran itu'
7. Ada lagi orang yang boleh dianggap sebagai Mujtahid gadungan juga, yaitu memfatwakan bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam sudah mati, sesuai dengan firman Tuhan dalam Al-Quran :
 ……فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنتَ أَنتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنتَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya : (menurut mereka), " Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS AI Maidah : 117)
Hal ini berlainan sekali dengan I'tiqad dan keyakinan ummat Islam Indonesia sedari dulu, yaitu bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam tidak mati karena beliau tidak dapat dibunuh oleh orang-orang kafir, karena Nabi Isa ‘alahis salam diangkat oleh Tuhan Allah ke hadiratNya. Oleh Mujtahid gadungan ini, kalimat "tawaffa"yang tersebut dalam surat Al Maidah -117 diartikan dengan"mati". Nampaknya Mujtahid gadungan ini hanya memahami satu ayat itu saja tanpa menghiraukan ayat-ayat yang lain dalam Al Quran yaitu : Allah berfiman:
 ……مَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـٰكِن شُبِّهَ لَهُمْ ۚ ……
Artinya : "……. padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan 'Isa bagi mereka…. . (An Nisa' :157).
Kalimat "tawaffa" dalam Al-Quran tidak semuanya berarti "mati" sebagai tersebut dalam surat Ali Imran ayat lagi, surat Al An'am ayat 60 dan lain-lain.
Mujtahid gadungan ini terlalu berani menggali hukum dari isi Al-Quran dengan hanya mengetahui satu atau dua ayat saja. Menurut ahli-ahli tafsir yang kenamaan, arti yangsebenarnya dalam surat Al Maidah ayat 117 tersebut, adalah : "Dan setelah Engkau menggenggam aku, Engkaulah lagi yang menjaga mereka".
8. Ada seseorang yang sudah boleh dianggap pandai dalam Islam. Pada suatu hari, ia kedapatan makan siang dalam bulan puasa oleh penulis buku ini.
Dengan ta'jub kami bertanya, "lho, tidak puasa?”, “ya” jawabnya. Puasa itu sama dengan shalat, sama-sama rukun Islam. Kita tidak boleh shalat kalau kita mabuk, sesuai dengan fiman Tuhan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ …
Artinya : " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS An Nisa' : 43).
Oleh karena sekarang saya sedang mabuk, maka saya tidak berpuasa diqiyaskan kepada orang mabuk tidak boleh shalat, demikian katanya.
Kami bertanya, "Mabuk bagimana, sedang sekarang saya lihat sehat wal 'afiat dan berakal". "O," jawabnya. "Mabuk itu bukan satu macam. Ada mabuk hilang akal, mabuk karena jatuhnya perdagangan, mabuk soal politik dan banyak lagi” Mendengar cara Mujtahid gadungan ini mengambil hukum dari Al-Quran, betul-betul kita menjadi bingung dan di dalam hati berbisik, bahwa akan hancurlah agama kalau macam itu cara-caranya.
9. Diceritakan orang bahwa dulu ada Mujtahid gadungan yang membolehkan dan bahkan mewajibkan beristeri sebanyak 18 orang, berdalilkan ayat Al-Quran juga yaitu :
……  فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ…
Artinya : " ….maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat ". (An Nisa': 3).
Mereka mengambil hukum dari ayat ini dengan hitungan gampang saja, yaitu menambahkan dua-dua sama dengan empat, tiga-tiga sama dengan enam, empat-empat sama dengan delapan. Jumlah semuanya, 4 + 6 + 8 = 18; katanya. Oleh karena tidak belajar secara mendalam arti matsna-matsna, tsulasa-tsulasa, dan rub'a-rub'a dan juga tidak mengetahui hadits-hadits yang bertalian dengan ayat ini, maka menjadilah ia Mujtahid gadungan.
10. Ada orang yang lancang lagi berfatwa di atas mimbar dengan mengatakan : "Tuhan tidak bisa merubah nasibmu kalau kamu sendiri tidak merubahnya". Alasan yang dikemukakan ialah firman Allah :
…إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ…
Artinya : (katanya)…. "Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri "…, (QS Ar Ra'ad:11).
Apakah benar tafsir yang macam ini ? Lihatlah kitab-kitab tafsir yang dipercaya seperti Jalalein. Khazein, Ibnu Katsir, dan lain-lain. Tafsir Jalalein mengatakan : “Tuhan Allah tidak mengambil kembali ni'mat-Nya dari mereka, hingga mereka merubah apa yang ada pada mereka, yaetak olehetak olehkni dari kelakuan yang baik dirubah menjadi kelakuan yang maksiat.” (Jalalein, jilid II halaman 249, yaitu kitab yang dicetak bersama Shawi). Sedangkan pada tafsir Khazein menagatakan, “Bahwasanya Allah tidak merubah apa yang apada kamu, yakni sifat dan nikmat yang telah diberikan kepada mereka, kecuali kalau mereka merubah apa yang ada pada mereka, yakni hal yang baik ditukar dengan mendurhakai Allah dengan jalan mendurhakai nikmatnya.” (Khazein, juz 4 hal 4)
Jelaslah pada tafsir yang dipercaya bahwa arti ayat ini adalah, “bahwasanya Allah tidak akan mengambil nikmatnya lagi yang telah diberikan kepada seseorang, kecuali kalau orang itu sudah mendurhakai Allah, dengan jalan nikmat yang telah diberikan kepadanya tidak digunakan sesuai dengan apa yang dikehendakiNya. Dan ini berarti tidak seperti Mujtahid gadungan, yang mengartikan bahwa Allah tidak akan merubah nasib kalau mereka tidak merubahnya sendiri. Untuk memperjelas masalah ini dapat dilihat firman Allah berikut :
ذَ‌ٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌذَ‌ٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Hal itu (terjadi) disebabkan karena Allah tidak merubah nikmat yang telah diberikanNya kepada suatu kaum, kecuali kalau kaum itu sudah merubah hal mereka sendiri (dari taat menjadi durhaka).” (QS Al Anfal : 53)
11. Ada Mujtahid gadungan yang berfatwa nahwa Allah itu mempunyai muka dan yang kekal nanti adalah muka Tuhan Allah. Ia mengambil hukum dengan menyalahgunakan ayat yang terdapat dalam QS Ar Rahman ayat 27 :
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya : “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS Ar Rahman : 27)
Ia mengambil hukum bahwa  yang tinggal hanya muka Tuhan, karena inilah nash yang nyata dari kitabullah, katanya. Orang ini hanya membaca terjemahan Quran bukan tafsir Quran. Tafsir ayat ini menurut Jalalein adalah “Dan yang kekal adalah zat Tuhan yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” Kalimat wajah Tuhan itu berarti zat dan zat itu disifati dengan kebesaran dan kemuliaanNya. Muka saja tidak diberi sifat kebesaran dan kemuliaan. Terang sekali bahwa Mujtahid gadungan ini tidak memahami ilmu tafsir, sehingga bisa menyesatkan ummat.
12. Ada pula yang berfatwa, bahwa makmum dalam shalat tidak perlu membaca Surat Al Fatihah melainkan hanya berdiri tenang saja, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اَلْاءِمَامُ ضَامِنٌ
Artinya : “Imam itu menjamin.” (HR Ahmad dan Abu Daud)
Dengan arti yang begini ia sudah mengambil kesimpulan (istinbath hukum) kalau imam sudah menjamin, apa perlunya lagi kita membaca Al Fatihah, lebih diam saja. Ini adalah contoh ijtihaj yang keliru. Orang ini tidak tahu bahwa sesungguhnya ada hadits lain dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi :
لاَصَلَاةَ لِمَنْ لاَيَقْرَأُبِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya : “Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca fatihah Kitab.” (HR Bukhari Muslim).
Makna yang sebenarnya dari hadits “Imam itu menjamin” itu adalah untuk orang yang datang terlambat (masbuq) ketika imam sudah hampir ruku’, maka orang terus saja mengikuti imam, tak perlu membaca fatihah lagi, karena imam itu menjamin makmumnya yang datang terlambat. Begitulah ijtihad yang benar, menurut madzhab Syafi’i. Kedua hadits ini dipakai dan diletakkan menurut keadaan atau tempat yang sebenarnya.
13. Ada Mujtahid gadungan yang mengeluarkan hukum dari Al Quran yang mengatakan bahwa manusia boleh berbuat apa saja sesuka hatinya, jikalau hatinya mengatakan bahwa pekerjaan itu baik. Yang dijadikan pedoman adalah hatinya. Ia mengambil alasan pada ayat Al Quran Srat Hamim Sajadah (Fushshilat) ayat 40, berikut :
…اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ....
Artinya : “…Perbuatlah apa yang kamu kehendaki…” (QS Fushshilat : 40)
Terang dan jelas bahwa orang yang tidak mengerti Ilmu Ushul dan Fiqih yang menetapkan bahwa ada firman Allah dalam bentuk menyuruh tetapi yang dimaksudkan adalah melarang. Dalam ilmu Bayan dan Ushul Fiqih, perkataan suruhan itu bisa berarti dalam 15 arti, yaitu untuk sunnat, menganjurkan, mengharuskan, melarang, memuliakan, menghinakan, melemahkan, menyamakan, mengurniakan, mengadakan, menyerahkan, mendustakan, menyakitkan hati, mendo’akan dan mengharapkan. Amar atau suruhan yang ada dalam ayat ini maksudnya adalah melarang atau menakuti, bukan menyuruh sebagaimana yang diartikan oleh orang yang mencoba-coba hendak jadi mujtahid itu.

14. Ada lagi seseorang yang mengatakan di hadapan umum bahwa ia tidak mengikut salah satu madzhab, tetapi ia berijtihad sendiri, katanya. Penulis ini mendengar sendiri ucapan orang itu dengan dua telinga, jadi bukan kabar-kabar angin. Tetapi penulis sendiri juga melihat dengan mata kepala sendiri bahwa orang itu tidak mengerjakan shalat 5 waktu, hanya shalat Jum'at saja, yang kadang- kadang ditinggalkan pula. Puasa pun tidak pernah, dan kalau kebetulan dilihat orang ia tidak puasa, lantas ia minta ma'af kepada orang yang melihatnya dengan mengatakan ia sakit, padahal ia segar-bugar.
15. Ada orang memfatwakan bahwa mencuci kain yang dijilat anjing cukup dengan air dan karbol, tidak perlu dengan tanah karena karbol lebih kuat dari tanah dalam menghilangkan baksil-baksil dalam najis. Manakala dikatakan kepadanya bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh ummatnya mencuci (membasuh) barang yang dijilat anjing 7 kali, salah satunya dengan tanah, maka ia menjawab bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak tahu bahwa karbol akan ada. Kalau Nabi Muhammad tahu bahwa karbol akan ada, tentu beliau suruh mencucinya dengan karbol. Begitulah "ijtihadnya" orang yang anti taqlid itu. Ia rupanya bodoh, tidak tahu bahwa syari’at ini dari Tuhan yang menjadikan alam ini, baik alam yang dulu atau alam yang akan datang. Apakah tuhan tidak tahu bahwa karbol akan ada ? menyangka bahwa syari'at Islam iru datangnya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena bodohnya dalam agama.
16. Ada seorang yang dianggap pemimpin juga di Indonesia, memberikan fatwa bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Mi'raj hanya dalam mimpi, bukan dengan tubuhnya. Ia mengarang satu buku untuk menerangkan “ijtihadnya” itu. Dikatakan dalam bukunya itu, bahwa tidak masuk akal Nabi naik ke langit dengan roh dan rubuh. Yang naik hanya roh, bukan tubuh. Sekalian yang tak masuk akal, tidak diterima dalam syari'at Islam, katanya.
Alangkah melesetnya "Mujtahid gadungan” ini!  Ia menimbang soal-soal Agama hanya dengan akal yang ternyata akalnya itu pendek pula.

17. Ada pula Mujtahid gadungan yang melarang orang mengerjakan talqin, dengan alasan bahwa orang yang ditalqinkan itu sudah mati, sudah tidak mendengar lagi. .Kita tidak perlu bercakap-cakap dengan orang yang sudah mati, katanya. Fatwa ini diberinya alasan dengan ayat suci pada surat Al Fathir : 22, begini bunyinya.
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَن يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ
 Artinya : " dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar ". (QS Fathir : 22)
Nah, lihatlah itu, kata mujtahid gadungan. Apakah Tuhan tidak mengatakan bahwa kita tidak bisa membikin dengar orang dalam kubur ? Rupanya mujtahid gadungan ini hanya dapat melihat lafazh ayat saja dan diterjemahkannva pula sesuka hatinya. Tafsir ayat ini menurut hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ialah bahwa kita manusia tidak bisa membikin mendengar kafir-kafir yang berkepala batu untuk menerima ajaran kita yang membikin mereka mendengar hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Lihat tafsir Khazein jilid 5 halaman 247, Tafsir Jalalein dan Tafsir Shawi yang dicetak sama pada jilid ke 3, halaman 291.
Adapun khithab, yakni menghadapkan bicara kepada orang mati, banyak sekali kita ummat Islam isuruh oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya hadits ziarah, dimana dikatakan : “Salam atasmu hai orang-orang dalam kubur dan kami insya Allah akan mengikuti kamu". Jelas bahwa dalam syari'at Islam dibolehkan menghadapkan bicara kepada orang mati. Apakah mujtahid gadungan itu tahu akan hal ini ?
Orang-orang yang semacam ini, yang memberikan arti ayat-ayat Al-Quran sesuka hatinya saja, Tuhan mengancam akan memasukkannya ke dalam neraka sesuai dengan hadits Nabi yang bunyinva begini :
مَنْ فَسَّرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya : “Barangsiapa yang mentafsirkan Al Quran dengan pendapatnya sendiri, maka bagi orang itu telah disediakan  tempatnya dalam neraka". (Hadits riwayat Tirmidzi dan Nisai).
18. Di dalam hadits-hadits Nabi terdapat ucapan-ucapan beliau :
صَلُّوْاكَمَارَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى
Artinya : "Shalatlah kamu serupa yang kamu lihat shalatku" . (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim) .
Dengan hadits Nabi tersebut, maka berkatalah seorang lmam Mujtahid gadungan bahwa bacaan do'a dalam shalat boleh diIndonesiakan, karena yang wajib diikuti dari Nabi hanyalah pekerjaannya dalam shalat  yang diilihat dengan mata, karena dalam hadits itu terang disebut ”ama ra-aitumuni”. Yang tidak boleh dirobah dari shalat Nabi hanyalah gerakan beliau yang dapat dilihat dengan mata. Adapun yang diucapkan setiap orang boleh membuat kata-kata bagaimana yang diingininya. Demikian menurut Imam Mujtahid gadingan itu.
Allahu Akbar! Alangkah bahayanya dan akan hancur agama ini kaiau diserahkan fatwa agama kepada orang-orang yang macam itu !! Ia mungkin tahu hanya satu dua hadits lantas menggali hukum dari hadits-hadits itu menurut kemauan yang kemudian memfatwakannya. Apakah ia tidak tahu bahwa seluruh ibadat agama, perkataan dan perbuatan, wajib mengikuti bagaimana yang dibuat Nabi?
19. Di Jakarta dan beberapa daerah lainnya pada beberapa tahun yang lalu banyak dibicarakan orang soal permainan judi Hwa-Hwe. Banyak Ulama yang mengharamkan permainan itu, karena terang dan nyata dalam Al-Quran, Allah mengharamkan permainan judi. Hampir setiap Khatib Jum'at di Jakarta berfatwa bahwa judi Hwa-Hwe adalah haram hukumnya. Tetapi anehnya, pernah ada dalam sebuah surat kabar harian di Jakarta, seofang “kiyahi" yang tidak disebut namanya dalam koran itu telah memfatwakan bahwa judi Hwa-Hwe itu boleh diadakan karena tujuan mengadakannya adalah mencari dana untuk mendirikan sekolah-sekolah rakyat dan amal-amal sosial lainnya. Nabi bersabda, katanya :
إِنَّمَاالْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَأِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya : "Bahwasanya segala amalan dengan niat, dan bahwasanya manusia mendapat apa yang diniatkannya". (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Nah, lihatlah Mujtahid  gadungan ini mempermainkan tujuan hadits Nabi. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dinamakan niat dalam syari'at Islam. Ia mengartikan "niat” itu dengan "tujuan". Kalau Mujtahid Gadungan ini kita ikuti, maka mencuri akan boleh dengan niat untuk mencari nafkah anak-isteri, berzina akan boleh dengan niat dan tujuan berkasih sayang sesama hamba Allah, minum khamar (arak) akan dibenarkan dengan tujuan memanaskan badan. Segala pekerjaan yang haram akan boleh, kalau tujuan kita mengerjakan pekerjaan itu baik. Demikianlah jadinya kalau dibenarkan dan dituruti amatan mujtahid gadungan ini.
20. Ada seorang "ulama" yang boleh digolongkan juga ke dalam lingkungan Mujtahid gadungan. Dalam sebuah buku karangannya dikatakan bahwa Ulama-ulama mutaakhirin (maksudnya Ulama-ulama Syafi'iyah yang mengarang kitab-kitab fiqih Syafi’iyah pada abad-abad terkemudian) telah ketularan penyakit Yahudi. Ulama mutaakhirin itu, katany a, panjang lebar membicarakan hukum istinja', rukun bersuci dan panjang lebar memperkatakan niat shalat, sehingga kadang-kadang timbul yang lucu-lucu. Katanya, Nabi bersabda :
إِذَاقُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
Artinya : "Kalau hendak memulai shalat maka takbirlah.”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sederhana, kalau hendak shalat takbirlah, tetapi ulama-ulama mutaakhirin (maksudnya ulama-ulama Syafi’iyah) menambah ini dan itu, yaitu dengan mengadakan fawa-fatwa bahwa hendaklah membaca takbir itu serentak dengan niat, hendaklah niat itu mengandung qasad, mengandung ta’jin dan sebagainya. Ulama-ulama ini ketularan penyakit Yahudi, karena orang-orang Yahudi dulu disuruh Allah menyembelih lembu, tetapi orang Yahudi itu banyak bertanya, yakni lembu apa, apa warnanya, berapa umurnya, sudah pandai membajak atau tidak dan lain sebagainya, seperti yang tersebut dalam surat Al Baqarah, katanya.
Nabi mengatakan, katanya lagi :
وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةُ الْمَالِ وَكَثْرَةُ السُّؤَالِ
Artinya : "Dan dibenci pada kamu "katanya konon" dan kata si anu, dan membuang-buang harta, dan banyak bertanya”.
Lihatlah Nabi melarang orang mengatakan “Qila wa Qala” tetapi ulama mutaakhirin banyak sekali dalam fiqihnya membicarakan masalah fiqih dengan "katanya konon" dan lain sebagainya.
Nabi melarang “Banyak Tanya”, tetapi ulama-ulama Syafi'iyah mutaakhirin banyak sekali dalam kitabnya terdapat ucapan "kalau ditanya begini bagaimana jawabnya, kalau ditanya begitu bagaimana jawabnya, dan lain-lain sebagainya.
Pendeknya "Imam Mujtahid gadungan”, ini menganggap, beralasan dengan dua hadits di atas, bahwa ulama-uama Syafi’iyah Muta-akhirin ketularan penyakit Yahudi, karena mereka :
1. Berfatwa bahwa shalat itu berniat, padahal Nabi hanya menyuruh takbir saja manakala memulai shalat.
2. Befatwa bahwa niat itu harus serempak dengan takbir.
3. Berfatwa bahwa dalam niat itu harus ada qasad dan ta’jin.
4. Dalam kitab-kitab fiqih mereka banyak “qila awa qala”.
5. Dalam kitab-kitab fiqih mereka banyak “soal jawab” ini dan itu.
Demikianlah kesimpulan pendapat  “Imam Mujtahid gadungan" ini.
Nah,lihatlah, bagaimana ia menghina Ulama-ulama Syafi’iyah muta-akhirin sehingga dikatakannya ketularan penyakit Yahudi. Dan lihatlah bagaimana kedangkalan ilmunya, sehingga ia tak mengerti hadits dan tak mengerti arti dari hadits :
إِنَّمَاالْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَأِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya : "Bahwasanya segala amalan dengan niat, dan bahwasanya manusia mendapat apa yang diniatkannya". (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Lihatlah pula bagaimana kedangkalan ilmunya, sehingga ia tidak mengerti maksud hadits "Qila wa Qala", sehingga ia samakan Ulama-ulama/Sarjana-sarjana Islam yang menyorot dan menimbang persoalan hukum agama dan pelbagai segi dengan orang-orang bodoh yang banyak omong atau dengan orang yahudi yang banyak tanya.
Kalau pendapat "Mujtahid gadungan" ini kita ikuti, niscaya akan terhentilah seluruh pembahasan ilmiyah, akan terhentilah seluruh mudzakarah agama, akan lenyaplah majlis-majlis ilmu pengetahuan, karena seluruh orang disuruh berfikir cara pendek saja. Alangkah merugikan faham ini !! Haruslah diketahui, bahwa yang dilarang "banyak tanya" itu ialah pertanyaan-pertanyaan yang merupakan penyangkalan kepada perintah Tuhan, penyangkalan terhadap Al-Quran dan terhadap hadits Nabi, tetapi pertanyaan inilah yang berupa penggalian dalam ilmu tidaklah dilarang tetapi bahkan dianjurkan.
Begitu juga "banyak tanya" yang dilarang itu ialah banyak debat yang merupakan pengingkaran, merupakan keengganan menerima perintah Allah dan Rasul, bukan banyak tanya dalam soal-soal ilmu pengetahuan. Dalam soal-soal ilmu pengetahuan harus dilakukan banyak soal, banyak bertanya, didiskusikan, dimusyawarahkan, dibahas dari berbagai jurusan. Ini bukan "Qila wa Qaala" yang terlarang. Ini bukan "soal-soal" yang terlarang. Tahukah Mujtahid gadungan yang menghina ulama muta-akhirin itu akan hal ini?
Bertalian dengan ini dimajukanpertanyaan: 'Apakah Imam Zamakhsyari, pengarang Tafsir Al Kas-syaf yang terkenal (wafat 538 H. di Khuwarzim) sudah dihinggapi penyakit Yahudi pula, karena dalam tafsir yang dikarang beliau itu hampir setiap halaman kita temui perkataan "Fain qila-qultu" (Kalau anda bertanya begitu saya jawab begitu)?" Kalau penjawab ini menjawab dengan "ya" sesungguhnya ia sudah keterlaluan!
21. Ada seorang Mujtahid gadungan. Dalam suatu ceramah, berdasarkan dalil-dalil ayat-ayat Quran yang ditafsirkan semaunya saja,menyatakan bahwa uang hasil judi hwa-hwe boleh dipergunakan untuk mendirikan mesjid. Pada zaman ini janganlah ummat Islam mengorek-ngorek soal-soal hukum Islam yang haram sampai sekecil-kecilnya, karena hal itu akan membuat kita tidak bisa bergerak dalam kehidupan abad sekarang ini. Nampaknya beliau ini, walaupun ia seorang kiyahi, sudah menyerah kalah kepada "kemajuan zaman”, sehingga ia melarang orang-orang Islam mengorek-ngorek hukum Islam, apalagi yang haram-haram, karena ia khawatir kalau dikaji benar hukum itu tidak sesuai dengan zaman lagi

Alangkah naifnya pendapat ini! Agama Islam ditundukkannya kepada zaman, sehingga Islam harus menurut zaman, bukan zaman harus menurut Islam. Kalau pendapat ini ditarik lebih jauh niscaya akan timbul kesimpulan, bahwa agama Islam itu tidak sesuai lagi dengan zaman modern sekarang. Apakah ini maksudnya "mujtahid gadungan” ini? Kalau benar begitu maksudnya, sesungguhnyalah sudah keterlaluan. Mudah-mudahan hanya seorang itulah sajalah orang Islam yang berfaham begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar