Ada Mujtahid Gadungan.
Dahulu dan sekarang ada
orang-orang semacam ini, ialah orang-orang yang sok aksi berfatwa ini-itu, tapi
tidak pernah mempelajari fiqih, tak pernah mempelajari tafsir, tak pernah
belajar bahasa Arab, tak pernah memasuki sekolah Agama, hanya berlagak Ulama.
Kejadian - kejadiannya :
1. Ada seseorang yang
mengatakan bahwa isteri-isteri orang yang mati syahid langsung masuk syurga
bersama suaminya. Jelas bahwa orang itu tidak mengetahui bahwa masuk syurga itu
adalah tergantung kepada amal masing-masing yang tidak dapat diandalkan kepada
suami. Sedangkan isteri Nabi Nuh tidak dapat masuk syurga bersama suaminya.
(Al-Quran surat At Tahrim ayat 10) dan isteri Nabi Luth juga tidak bisa masuk
syurga langsung bersama suaminya. (Al-Quran Surat An Naml -57).
2. Ada lagi yang
mengatakan bahwa kalau Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam masih hidup
pada zaman ini, tentu beliau akan menghalalkan riba karena riba itu perlu dalam
pembangunan Negara. Negara tak akan hidup tanpa Bank yang pakai riba. Jelas
juga bahwa orang itu tidak tahu bahwa syariat Islam yang melarang riba bukanlah
ciptaan pikiran Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, tetapi adalah perintah Tuhan. Tuhan yang hidup dari dulu
sampai sekarang dan selanjutnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya Rasul Allah yang menyampaikan
perintah itu.
3. Ada seorang ulama',
di Indonesia yang mengatakan bahwa memakai pakaian ihram ketika mengerjakan
Haji adalah rukun Haji. Terang juga bahwa ulama’ ini tidak pernah mempelajari
bahwa memakai pakaian haji iru bukanlah rukun, tapi hanya "wajib"
haji. Kalau tidak dipakai tidaklah membatalkan haji seperti meninggalkan rukun.
Yang rukun ialah ihram, bukan memakai pakaian ihram.
4. Ada seorang
"Profesor" mengatakan bahwa kita di Indonesia ini tidak pantas
mengikuti Madzhab Syafi’i rahimahullah karena Madzhab itu dibuat di Mesir.
Lebih baik kita bikin Madzhab sendiri di Indonesia yang kita namai “Madzhab
Nasional”. Orang ini betul-betul keblinger, tak mengerti persoalan yang
dihadapinya.
5. Ada cerita lucu.
Pada zaman dulu, yaitu
zaman Khalifah al Mutawakil (822-861 M.) seorang wanita mendakwakan bahwa ia
menjadi Nabi. Nabi gadungan itu dipanggil oleh Khalifah dan ditanyai, “Engkau
Nabi ?", Tanya al Mutawakil. "Ya Tuanku," jawab si Wanita.
"Engkau tak percaya kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam yang
mengatakan bahwa tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad?" Wanita itu
menjawab, "Percaya Tuanku' Tetapi yang tidak ada itu adalah Nabi pria,
sedang perkataan "nabiya" itu adalah Iaki-laki. Saya ini Nabi
Wanita”. Akhirnya Khalifah al Mutawakil ketawa dan membebaskan saja wanita itu
karena dianggap sinting'
6. Ada Iagi pada zman
Khalifah Mutawakil juga seorang laki-laki mendakwakan pula bahwa ia Nabi.
Khalifah memanggil dan bertanya, "Engkau benar Nabi ?"' tanya
Mutawakil.'Ya," katanya. “Apa buktinya dalam Al-Quran bahwa engkau Nabi
?"' Tanya Mutawakil. "Ayat Tuhan dalam Surat An Nasr", katanya:
إِذَا
جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Artinya : " Apabila
datang Nashrullah dan kemenangan". Nama saya Nashrullah". Mutawakil
dan Menteri jadi bingung menghadapi Nabi gadungan yang berdalil dengan Al-Quran
itu'
7. Ada lagi orang yang boleh dianggap
sebagai Mujtahid gadungan juga, yaitu memfatwakan bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam sudah mati, sesuai dengan firman Tuhan
dalam Al-Quran :
……فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنتَ أَنتَ
الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنتَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya : (menurut
mereka), " Maka setelah
Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau
adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS AI Maidah : 117)
Hal ini berlainan sekali
dengan I'tiqad dan keyakinan ummat Islam Indonesia sedari dulu, yaitu bahwa
Nabi Isa ‘alaihis salam tidak mati karena beliau tidak dapat
dibunuh oleh orang-orang kafir, karena Nabi Isa ‘alahis salam diangkat oleh Tuhan Allah ke
hadiratNya. Oleh Mujtahid gadungan ini, kalimat "tawaffa"yang
tersebut dalam surat Al Maidah -117 diartikan dengan"mati". Nampaknya
Mujtahid gadungan ini hanya memahami satu ayat itu saja tanpa menghiraukan
ayat-ayat yang lain dalam Al Quran yaitu : Allah berfiman:
……مَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ
وَلَـٰكِن شُبِّهَ لَهُمْ ۚ ……
Artinya : "……. padahal mereka tidak membunuhnya dan
tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang
diserupakan dengan 'Isa bagi mereka…. . (An Nisa' :157).
Kalimat
"tawaffa" dalam Al-Quran tidak semuanya berarti "mati"
sebagai tersebut dalam surat Ali Imran ayat lagi, surat Al An'am ayat 60 dan
lain-lain.
Mujtahid gadungan ini
terlalu berani menggali hukum dari isi Al-Quran dengan hanya mengetahui satu
atau dua ayat saja. Menurut ahli-ahli tafsir yang kenamaan, arti yangsebenarnya
dalam surat Al Maidah ayat 117 tersebut, adalah : "Dan setelah Engkau
menggenggam aku, Engkaulah lagi yang menjaga mereka".
8. Ada seseorang yang
sudah boleh dianggap pandai dalam Islam. Pada suatu hari, ia kedapatan makan
siang dalam bulan puasa oleh penulis buku ini.
Dengan ta'jub kami
bertanya, "lho, tidak puasa?”, “ya” jawabnya. Puasa itu sama dengan
shalat, sama-sama rukun Islam. Kita tidak boleh shalat kalau kita mabuk, sesuai
dengan fiman Tuhan :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ
حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ …
Artinya : " Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan.” (QS An Nisa' : 43).
Oleh karena sekarang
saya sedang mabuk, maka saya tidak berpuasa diqiyaskan kepada orang mabuk tidak
boleh shalat, demikian katanya.
Kami bertanya,
"Mabuk bagimana, sedang sekarang saya lihat sehat wal 'afiat dan
berakal". "O," jawabnya. "Mabuk itu bukan satu macam. Ada
mabuk hilang akal, mabuk karena jatuhnya perdagangan, mabuk soal politik dan
banyak lagi” Mendengar cara Mujtahid gadungan ini mengambil hukum dari
Al-Quran, betul-betul kita menjadi bingung dan di dalam hati berbisik, bahwa
akan hancurlah agama kalau macam itu cara-caranya.
9. Diceritakan orang
bahwa dulu ada Mujtahid gadungan yang membolehkan dan bahkan mewajibkan
beristeri sebanyak 18 orang, berdalilkan ayat Al-Quran juga yaitu :
…… فَانكِحُوا
مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ…
Artinya : " ….maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. ". (An Nisa': 3).
Mereka mengambil hukum
dari ayat ini dengan hitungan gampang saja, yaitu menambahkan dua-dua sama
dengan empat, tiga-tiga sama dengan enam, empat-empat sama dengan delapan.
Jumlah semuanya, 4 + 6 + 8 = 18; katanya. Oleh karena tidak belajar secara
mendalam arti matsna-matsna, tsulasa-tsulasa, dan rub'a-rub'a dan juga tidak
mengetahui hadits-hadits yang bertalian dengan ayat ini, maka menjadilah ia
Mujtahid gadungan.
10. Ada orang yang
lancang lagi berfatwa di atas mimbar dengan mengatakan : "Tuhan tidak bisa
merubah nasibmu kalau kamu sendiri tidak merubahnya". Alasan yang
dikemukakan ialah firman Allah :
…إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ…
Artinya : (katanya)…. "Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri "…, (QS
Ar Ra'ad:11).
Apakah benar tafsir yang
macam ini ? Lihatlah kitab-kitab tafsir yang dipercaya seperti Jalalein.
Khazein, Ibnu Katsir, dan lain-lain. Tafsir Jalalein mengatakan : “Tuhan Allah
tidak mengambil kembali ni'mat-Nya dari mereka, hingga mereka merubah apa yang
ada pada mereka, yaetak olehetak olehkni dari kelakuan yang baik dirubah
menjadi kelakuan yang maksiat.” (Jalalein, jilid II halaman 249, yaitu kitab
yang dicetak bersama Shawi). Sedangkan pada tafsir Khazein menagatakan,
“Bahwasanya Allah tidak merubah apa yang apada kamu, yakni sifat dan nikmat
yang telah diberikan kepada mereka, kecuali kalau mereka merubah apa yang ada
pada mereka, yakni hal yang baik ditukar dengan mendurhakai Allah dengan jalan
mendurhakai nikmatnya.” (Khazein, juz 4 hal 4)
Jelaslah pada tafsir
yang dipercaya bahwa arti ayat ini adalah, “bahwasanya Allah tidak akan
mengambil nikmatnya lagi yang telah diberikan kepada seseorang, kecuali kalau
orang itu sudah mendurhakai Allah, dengan jalan nikmat yang telah diberikan
kepadanya tidak digunakan sesuai dengan apa yang dikehendakiNya. Dan ini
berarti tidak seperti Mujtahid gadungan, yang mengartikan bahwa Allah tidak
akan merubah nasib kalau mereka tidak merubahnya sendiri. Untuk memperjelas
masalah ini dapat dilihat firman Allah berikut :
ذَٰلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ
حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً
أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Hal itu
(terjadi) disebabkan karena Allah tidak merubah nikmat yang telah diberikanNya
kepada suatu kaum, kecuali kalau kaum itu sudah merubah hal mereka sendiri
(dari taat menjadi durhaka).” (QS Al Anfal : 53)
11. Ada Mujtahid gadungan yang berfatwa
nahwa Allah itu mempunyai muka dan yang kekal nanti adalah muka Tuhan Allah. Ia
mengambil hukum dengan menyalahgunakan ayat yang terdapat dalam QS Ar Rahman
ayat 27 :
وَيَبْقَىٰ
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya : “Dan tetap
kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS Ar Rahman : 27)
Ia mengambil hukum
bahwa yang tinggal hanya muka Tuhan, karena inilah nash yang nyata dari
kitabullah, katanya. Orang ini hanya membaca terjemahan Quran bukan tafsir
Quran. Tafsir ayat ini menurut Jalalein adalah “Dan yang kekal adalah zat Tuhan
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” Kalimat wajah Tuhan itu berarti zat
dan zat itu disifati dengan kebesaran dan kemuliaanNya. Muka saja tidak diberi
sifat kebesaran dan kemuliaan. Terang sekali bahwa Mujtahid gadungan ini tidak
memahami ilmu tafsir, sehingga bisa menyesatkan ummat.
12. Ada pula yang
berfatwa, bahwa makmum dalam shalat tidak perlu membaca Surat Al Fatihah
melainkan hanya berdiri tenang saja, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اَلْاءِمَامُ
ضَامِنٌ
Artinya : “Imam itu
menjamin.” (HR Ahmad dan Abu Daud)
Dengan arti yang begini
ia sudah mengambil kesimpulan (istinbath hukum) kalau imam sudah menjamin, apa
perlunya lagi kita membaca Al Fatihah, lebih diam saja. Ini adalah contoh
ijtihaj yang keliru. Orang ini tidak tahu bahwa sesungguhnya ada hadits lain
dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi :
لاَصَلَاةَ
لِمَنْ لاَيَقْرَأُبِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya : “Tidak (sah)
shalat orang yang tidak membaca fatihah Kitab.” (HR Bukhari Muslim).
Makna yang sebenarnya
dari hadits “Imam itu menjamin” itu adalah untuk orang yang datang terlambat
(masbuq) ketika imam sudah hampir ruku’, maka orang terus saja mengikuti imam,
tak perlu membaca fatihah lagi, karena imam
itu menjamin makmumnya yang datang terlambat. Begitulah ijtihad yang benar,
menurut madzhab Syafi’i. Kedua hadits ini dipakai dan diletakkan menurut
keadaan atau tempat yang sebenarnya.
13. Ada Mujtahid
gadungan yang mengeluarkan hukum dari Al Quran yang mengatakan bahwa manusia
boleh berbuat apa saja sesuka hatinya, jikalau hatinya mengatakan bahwa
pekerjaan itu baik. Yang dijadikan pedoman adalah hatinya. Ia mengambil alasan
pada ayat Al Quran Srat Hamim Sajadah (Fushshilat) ayat 40, berikut :
…اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ....
Artinya : “…Perbuatlah apa yang kamu
kehendaki…” (QS Fushshilat :
40)
Terang dan jelas bahwa
orang yang tidak mengerti Ilmu Ushul dan Fiqih yang menetapkan bahwa ada firman
Allah dalam bentuk menyuruh tetapi yang dimaksudkan adalah melarang. Dalam ilmu
Bayan dan Ushul Fiqih, perkataan suruhan itu bisa berarti dalam 15 arti, yaitu
untuk sunnat, menganjurkan, mengharuskan, melarang, memuliakan, menghinakan,
melemahkan, menyamakan, mengurniakan, mengadakan, menyerahkan, mendustakan,
menyakitkan hati, mendo’akan dan mengharapkan. Amar atau suruhan yang ada dalam
ayat ini maksudnya adalah melarang atau menakuti, bukan menyuruh sebagaimana
yang diartikan oleh orang yang mencoba-coba hendak jadi mujtahid itu.
14. Ada lagi seseorang
yang mengatakan di hadapan umum bahwa ia tidak mengikut salah satu madzhab,
tetapi ia berijtihad sendiri, katanya. Penulis ini mendengar sendiri ucapan
orang itu dengan dua telinga, jadi bukan kabar-kabar angin. Tetapi penulis
sendiri juga melihat dengan mata kepala sendiri bahwa orang itu tidak mengerjakan
shalat 5 waktu, hanya shalat Jum'at saja, yang kadang- kadang ditinggalkan
pula. Puasa pun tidak pernah, dan kalau kebetulan dilihat orang ia tidak puasa,
lantas ia minta ma'af kepada orang yang melihatnya dengan mengatakan ia sakit,
padahal ia segar-bugar.
15. Ada orang
memfatwakan bahwa mencuci kain yang dijilat anjing cukup dengan air dan karbol,
tidak perlu dengan tanah karena karbol lebih kuat dari tanah dalam
menghilangkan baksil-baksil dalam najis. Manakala dikatakan kepadanya bahwa
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam menyuruh
ummatnya mencuci (membasuh) barang yang dijilat anjing 7 kali, salah satunya
dengan tanah, maka ia menjawab bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak tahu bahwa karbol akan ada.
Kalau Nabi Muhammad tahu bahwa karbol akan ada, tentu beliau suruh mencucinya
dengan karbol. Begitulah "ijtihadnya" orang yang anti taqlid itu. Ia
rupanya bodoh, tidak tahu bahwa syari’at ini dari Tuhan yang menjadikan alam
ini, baik alam yang dulu atau alam yang akan datang. Apakah tuhan tidak tahu
bahwa karbol akan ada ? menyangka bahwa syari'at Islam iru datangnya dari Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, karena bodohnya dalam agama.
16. Ada seorang yang
dianggap pemimpin juga di Indonesia, memberikan fatwa bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Mi'raj hanya dalam mimpi, bukan dengan
tubuhnya. Ia mengarang satu buku untuk menerangkan “ijtihadnya” itu. Dikatakan
dalam bukunya itu, bahwa tidak masuk akal Nabi naik ke langit dengan roh dan
rubuh. Yang naik hanya roh, bukan tubuh. Sekalian yang tak masuk akal, tidak
diterima dalam syari'at Islam, katanya.
Alangkah melesetnya
"Mujtahid gadungan” ini! Ia
menimbang soal-soal Agama hanya dengan akal yang ternyata akalnya itu pendek
pula.
17. Ada pula Mujtahid gadungan
yang melarang orang mengerjakan talqin, dengan alasan bahwa orang yang
ditalqinkan itu sudah mati, sudah tidak mendengar lagi. .Kita tidak perlu
bercakap-cakap dengan orang yang sudah mati, katanya. Fatwa ini diberinya
alasan dengan ayat suci pada surat Al Fathir : 22, begini bunyinya.
وَمَا
يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ
مَن يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ
Artinya : " dan tidak (pula) sama orang-orang yang
hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan
orang yang di dalam kubur dapat mendengar ". (QS Fathir : 22)
Nah, lihatlah itu, kata
mujtahid gadungan. Apakah Tuhan tidak mengatakan bahwa kita tidak bisa membikin
dengar orang dalam kubur ? Rupanya mujtahid gadungan ini hanya dapat melihat
lafazh ayat saja dan diterjemahkannva pula sesuka hatinya. Tafsir ayat ini
menurut hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam ialah bahwa
kita manusia tidak bisa membikin mendengar kafir-kafir yang berkepala batu
untuk menerima ajaran kita yang membikin mereka mendengar hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Lihat
tafsir Khazein jilid 5 halaman 247, Tafsir Jalalein dan Tafsir Shawi yang dicetak
sama pada jilid ke 3, halaman 291.
Adapun khithab, yakni
menghadapkan bicara kepada orang mati, banyak sekali kita ummat Islam isuruh
oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, diantaranya hadits ziarah, dimana dikatakan : “Salam
atasmu hai orang-orang dalam kubur dan kami insya Allah akan mengikuti
kamu". Jelas bahwa dalam syari'at Islam dibolehkan menghadapkan bicara
kepada orang mati. Apakah mujtahid gadungan itu tahu akan hal ini ?
Orang-orang yang semacam
ini, yang memberikan arti ayat-ayat Al-Quran sesuka hatinya saja, Tuhan
mengancam akan memasukkannya ke dalam neraka sesuai dengan hadits Nabi yang
bunyinva begini :
مَنْ
فَسَّرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya : “Barangsiapa
yang mentafsirkan Al Quran dengan pendapatnya sendiri, maka bagi orang itu
telah disediakan tempatnya
dalam neraka". (Hadits riwayat Tirmidzi dan Nisai).
18. Di dalam hadits-hadits Nabi terdapat
ucapan-ucapan beliau :
صَلُّوْاكَمَارَأَيْتُمُوْنِى
أُصَلِّى
Artinya :
"Shalatlah kamu serupa yang kamu lihat shalatku" . (Hadits Riwayat
Bukhari dan Muslim) .
Dengan hadits Nabi
tersebut, maka berkatalah seorang lmam Mujtahid gadungan bahwa bacaan do'a
dalam shalat boleh diIndonesiakan, karena yang wajib diikuti dari Nabi hanyalah
pekerjaannya dalam shalat yang
diilihat dengan mata, karena dalam hadits itu terang disebut ”ama ra-aitumuni”.
Yang tidak boleh dirobah dari shalat Nabi hanyalah gerakan beliau yang dapat
dilihat dengan mata. Adapun yang diucapkan setiap orang boleh membuat kata-kata
bagaimana yang diingininya. Demikian menurut Imam Mujtahid gadingan itu.
Allahu Akbar! Alangkah
bahayanya dan akan hancur agama ini kaiau diserahkan fatwa agama kepada
orang-orang yang macam itu !! Ia mungkin tahu hanya satu dua hadits lantas
menggali hukum dari hadits-hadits itu menurut kemauan yang kemudian
memfatwakannya. Apakah ia tidak tahu bahwa seluruh ibadat agama, perkataan dan
perbuatan, wajib mengikuti bagaimana yang dibuat Nabi?
19. Di Jakarta dan
beberapa daerah lainnya pada beberapa tahun yang lalu banyak dibicarakan orang
soal permainan judi Hwa-Hwe. Banyak Ulama yang mengharamkan permainan itu,
karena terang dan nyata dalam Al-Quran, Allah mengharamkan permainan judi.
Hampir setiap Khatib Jum'at di Jakarta berfatwa bahwa judi Hwa-Hwe adalah haram
hukumnya. Tetapi anehnya, pernah ada dalam sebuah surat kabar harian di
Jakarta, seofang “kiyahi" yang tidak disebut namanya dalam koran itu telah
memfatwakan bahwa judi Hwa-Hwe itu boleh diadakan karena tujuan mengadakannya
adalah mencari dana untuk mendirikan sekolah-sekolah rakyat dan amal-amal
sosial lainnya. Nabi bersabda, katanya :
إِنَّمَاالْأَعْمَالُ
بِالنِّيَاتِ وَأِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya : "Bahwasanya
segala amalan dengan niat, dan bahwasanya manusia mendapat apa yang
diniatkannya". (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Nah, lihatlah
Mujtahid gadungan ini
mempermainkan tujuan hadits Nabi. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang
dinamakan niat dalam syari'at Islam. Ia mengartikan "niat” itu dengan
"tujuan". Kalau Mujtahid Gadungan ini kita ikuti, maka mencuri akan
boleh dengan niat untuk mencari nafkah anak-isteri, berzina akan boleh dengan
niat dan tujuan berkasih sayang sesama hamba Allah, minum khamar (arak) akan dibenarkan
dengan tujuan memanaskan badan. Segala pekerjaan yang haram akan boleh, kalau
tujuan kita mengerjakan pekerjaan itu baik. Demikianlah jadinya kalau
dibenarkan dan dituruti amatan mujtahid gadungan ini.
20. Ada seorang
"ulama" yang boleh digolongkan juga ke dalam lingkungan Mujtahid
gadungan. Dalam sebuah buku karangannya dikatakan bahwa Ulama-ulama mutaakhirin
(maksudnya Ulama-ulama Syafi'iyah yang mengarang kitab-kitab fiqih Syafi’iyah
pada abad-abad terkemudian) telah ketularan penyakit Yahudi. Ulama mutaakhirin
itu, katany a, panjang lebar membicarakan hukum istinja', rukun bersuci dan
panjang lebar memperkatakan niat shalat, sehingga kadang-kadang timbul yang
lucu-lucu. Katanya, Nabi bersabda :
إِذَاقُمْتَ
إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
Artinya : "Kalau hendak memulai shalat
maka takbirlah.”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sederhana, kalau hendak
shalat takbirlah, tetapi ulama-ulama mutaakhirin (maksudnya ulama-ulama
Syafi’iyah) menambah ini dan itu, yaitu dengan mengadakan fawa-fatwa bahwa
hendaklah membaca takbir itu serentak dengan niat, hendaklah niat itu
mengandung qasad, mengandung ta’jin dan sebagainya. Ulama-ulama ini ketularan
penyakit Yahudi, karena orang-orang Yahudi dulu disuruh Allah menyembelih
lembu, tetapi orang Yahudi itu banyak bertanya, yakni lembu apa, apa warnanya,
berapa umurnya, sudah pandai membajak atau tidak dan lain sebagainya, seperti
yang tersebut dalam surat Al Baqarah, katanya.
Nabi mengatakan, katanya
lagi :
وَيَكْرَهُ
لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةُ الْمَالِ وَكَثْرَةُ السُّؤَالِ
Artinya : "Dan
dibenci pada kamu "katanya konon" dan kata si anu, dan membuang-buang
harta, dan banyak bertanya”.
Lihatlah Nabi melarang
orang mengatakan “Qila wa Qala” tetapi ulama mutaakhirin banyak sekali dalam
fiqihnya membicarakan masalah fiqih dengan "katanya konon" dan lain
sebagainya.
Nabi melarang “Banyak
Tanya”, tetapi ulama-ulama Syafi'iyah mutaakhirin banyak sekali dalam kitabnya
terdapat ucapan "kalau ditanya begini bagaimana jawabnya, kalau ditanya
begitu bagaimana jawabnya, dan lain-lain sebagainya.
Pendeknya "Imam
Mujtahid gadungan”, ini menganggap, beralasan dengan dua hadits di atas, bahwa
ulama-uama Syafi’iyah Muta-akhirin ketularan penyakit Yahudi, karena mereka :
1. Berfatwa bahwa shalat
itu berniat, padahal Nabi hanya menyuruh takbir saja manakala memulai shalat.
2. Befatwa bahwa niat
itu harus serempak dengan takbir.
3. Berfatwa bahwa dalam
niat itu harus ada qasad dan ta’jin.
4. Dalam kitab-kitab
fiqih mereka banyak “qila awa qala”.
5. Dalam kitab-kitab
fiqih mereka banyak “soal jawab” ini dan itu.
Demikianlah kesimpulan
pendapat “Imam Mujtahid
gadungan" ini.
Nah,lihatlah, bagaimana
ia menghina Ulama-ulama Syafi’iyah muta-akhirin sehingga dikatakannya ketularan
penyakit Yahudi. Dan lihatlah bagaimana kedangkalan ilmunya, sehingga ia tak mengerti hadits dan tak mengerti
arti dari hadits :
إِنَّمَاالْأَعْمَالُ
بِالنِّيَاتِ وَأِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya : "Bahwasanya
segala amalan dengan niat, dan bahwasanya manusia mendapat apa yang diniatkannya".
(Riwayat Bukhari dan Muslim).
Lihatlah pula bagaimana
kedangkalan ilmunya, sehingga ia tidak mengerti maksud hadits "Qila wa
Qala", sehingga ia samakan Ulama-ulama/Sarjana-sarjana Islam yang menyorot
dan menimbang persoalan hukum agama dan pelbagai segi dengan orang-orang bodoh
yang banyak omong atau dengan orang yahudi yang banyak tanya.
Kalau pendapat
"Mujtahid gadungan" ini kita ikuti, niscaya akan terhentilah seluruh
pembahasan ilmiyah, akan terhentilah seluruh mudzakarah agama, akan lenyaplah
majlis-majlis ilmu pengetahuan, karena seluruh orang disuruh berfikir cara
pendek saja. Alangkah merugikan faham ini !! Haruslah diketahui, bahwa yang
dilarang "banyak tanya" itu ialah pertanyaan-pertanyaan yang
merupakan penyangkalan kepada perintah Tuhan, penyangkalan terhadap Al-Quran
dan terhadap hadits Nabi, tetapi pertanyaan inilah yang berupa penggalian dalam
ilmu tidaklah dilarang tetapi bahkan dianjurkan.
Begitu juga "banyak
tanya" yang dilarang itu ialah banyak debat yang merupakan pengingkaran,
merupakan keengganan menerima perintah Allah dan Rasul, bukan banyak tanya
dalam soal-soal ilmu pengetahuan. Dalam soal-soal ilmu pengetahuan harus
dilakukan banyak soal, banyak bertanya, didiskusikan, dimusyawarahkan, dibahas
dari berbagai jurusan. Ini bukan "Qila wa Qaala" yang terlarang. Ini
bukan "soal-soal" yang terlarang. Tahukah Mujtahid gadungan yang
menghina ulama muta-akhirin itu akan hal ini?
Bertalian dengan ini
dimajukanpertanyaan: 'Apakah Imam Zamakhsyari, pengarang Tafsir Al Kas-syaf
yang terkenal (wafat 538 H. di Khuwarzim) sudah dihinggapi penyakit Yahudi
pula, karena dalam tafsir yang dikarang beliau itu hampir setiap halaman kita
temui perkataan "Fain qila-qultu" (Kalau anda bertanya begitu saya
jawab begitu)?" Kalau penjawab ini menjawab dengan "ya"
sesungguhnya ia sudah keterlaluan!
21. Ada seorang Mujtahid
gadungan. Dalam suatu ceramah, berdasarkan dalil-dalil ayat-ayat Quran yang
ditafsirkan semaunya saja,menyatakan bahwa uang hasil judi hwa-hwe boleh
dipergunakan untuk mendirikan mesjid. Pada zaman ini janganlah ummat Islam
mengorek-ngorek soal-soal hukum Islam yang haram sampai sekecil-kecilnya,
karena hal itu akan membuat kita tidak bisa bergerak dalam kehidupan abad
sekarang ini. Nampaknya beliau ini, walaupun ia seorang kiyahi, sudah menyerah
kalah kepada "kemajuan zaman”, sehingga ia melarang orang-orang Islam
mengorek-ngorek hukum Islam, apalagi yang haram-haram, karena ia khawatir kalau
dikaji benar hukum itu tidak sesuai dengan zaman lagi
Alangkah naifnya
pendapat ini! Agama Islam ditundukkannya kepada zaman, sehingga Islam harus
menurut zaman, bukan zaman harus menurut Islam. Kalau pendapat ini ditarik
lebih jauh niscaya akan timbul kesimpulan, bahwa agama Islam itu tidak sesuai
lagi dengan zaman modern sekarang. Apakah ini maksudnya "mujtahid
gadungan” ini? Kalau benar begitu maksudnya, sesungguhnyalah sudah keterlaluan.
Mudah-mudahan hanya seorang itulah sajalah orang Islam yang berfaham begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar