Soal ini agak gelap bagi masyarakat sehingga banyak mereka yang
bertanya : "Apakah perbedaan-perbedaan yang prinsipil antara
Madzhab-madzhab yang 4 itu ?" Soal ini memang sulit untuk menguraikannya
dan sulit untuk memahamkannya, kalau uraian itu secara pendek dan ringkas.
Tetapi kalau pembaca sabar tidak terburu-buru dan yang dibaca ini benar-benar
dapat difahamkan dengan tenang, kami rasa akhirnya akan faham juga.
Kita harus memahami beberapa soal terlebih dahulu, yaitu :
1. Pada masa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam hidup, yang
dituliskan hanyalah Al-Quran. Hadits tidak dituliskan sama sekali karena
takut akan campur aduk dengan Quran. Pada masa Khalifah yang ke III, Saidina
Utsman bin Affan radhiyallahu
‘anhu (23 - 35 H.) ayat Quran
yang ditulis cerai berai itu dikumpulkan menjadi satu mashaf yang sekarang
dinamakan Mashaf Utsman bin Affan radhiyallahu
‘anhu. Inilah Al-Quran
yang 30 juz, sebagai yang kita lihat banyak tersebar di Indonesra dalam
berbagai-bagai bentuk cetakan. Semuanya ini adalah "Mashaf Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu.
2. Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam yakni
ucapan-ucapan beliau, perbuatan beliau, yang dinamakan sunnah Rasul semuanya
tersimpan dalam dada para sahabat, yang boleh dinamakan “Pemangku Hadits".
Para sahabat Nabi, pemangku Hadits ini, baik sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat maupun sesudahnya, telah
mengembara ke seluruh pelosok negeri, sesuai dengan perkembangan daerah-daerah
Islam dalam rangka dakwah Islamiyah. Ada diantara mereka yang tetap di Mekkah,
di Madinah dan ada pula yang sudah pindah ke Mesir, lraq, Yaman, Persia,
Hadharal-maut, Etiopia, Sudan dan bahkan khabarnya ada yang sampai ke Timur
jauh, ke Tiongkok dan lain-lain sebagainya. Nasib Hadits agak malang ketika
itu, karena belum terkumpul ke dalam satu atau dua buku, tetapi tersimpan dalam
ribuan dada dan hati sahabat-sahabat Nabi yang telah mengembara ke sana-sini.
3. Pada zaman para sahabat Nabi, kira-kira dari tahun 13 H. sampai
70 H. (yakni 57 tahun) fatwa-fatwa agama dan hukum-hukum dalam pengadilan
dipegang oleh para sahabat Nabi. Mereka tidak merasa banyak kesulitan dalam
menghadapi masalah hukum sesuatu peristiwa, karena mereka mempunyai kitab Suci
Al-Quran, dan pula banyak diantara mereka yang hafal Sunnah Rasul di luar
kepala. Sesuatu soal yang datang/timbul ditetapkan hukumnya sesuai dengan Quran
dan sesuai pula dengan hadits yang dihafalnya. Apabila ia tidak banyak
menghafal hadits, maka ditanyakan kepada kawannya sesama sahabat, kiranya diantara
mereka ada yang menghafal hadits yang dapat dipakai dalam menghadapi persoalan
yang baru timbul.
Kalau umpamanya mereka tidak mendapat hadits yang dibutuhkan, lalu
pindah pada ra'yi (pendapatnya masing-masing) dengan mengingat ayat-ayat Suci
dan Hadits-hadits Nabi yang ada. Berfatwa atau menghukumi dengan dasar
"ra'yi" (pendapat) dibolehkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kalau tidak diketemukan dasar Quran
atau Hadits, (tersebut dalam Hadits Mu'az yang masyhur). Tetapi dalam praktek,
para sahabat tidak banyak mengalami kesulitan karena Quran ada dan Hadits pun
banyak pula di dadanya. Sedang masalah-masalah yang dihadapinya dalam soal-soal
yang baru tidak banyak. Selain dari itu baik diketahui bahwa para Sahabat Nabi
seakan-akan sudah menjadi dua golongan :
a. Golongan yang pertama dan jumlahnya banyak, ialah Pemangku
Hadits saja dengan pekerjaannya hanya menyampaikan Hadits-hadits yang
dihafalnya itu kepada pengikut-pengikutnya, tanpa komentar tentang isinya.
Golongan ini dinamakan "Ahli riwayah", yakni golongan yang
menyampakan /merawikan Hadits-hadits.
b. Golongan kedua yang jumlahnya sedikit, selain pemangku Hadits,
juga berfatwa dan menghadapi hukum-hukum masalah yang ditanyakan kepada mereka.
Golongan ini dinamakan golongan "Mufti", "golongan Fuqaha",
atau golongan "pemberi fatwa". Tidak banyak sahabat yang masuk
golongan kedua ini, hanya kira-kira 130 orang saja.
4. Kemudian tibalah masa Tabi'in, yaitu masa orang-orang yang
berjumpa/berguru dengan/kepada sahabat Nabi. Orang-orang ini tidak berjumpa
dengan Nabi. Para Tabi'in aktif sekali, selain mempelajari bermacam-macam ilmu
juga menerima hadits-hadits Nabi dari sahabat-sahabat. Para Tabi'in ini sudah
lebih besar jumlahnya dari jumlah sahabat karena setiap sahabat mengajar 10 sampai
50 orang Tabi'in. Dengan bertambah luasnya daerah Islam, para sahabat banyak
yang bertambah jauh pengembaraannya yang menyebabkan para Tabi'in bertambah
luas lagi perkembangannya di daerah-daerah. Ke Barat sudah sampai di Mesir,
Libia, Tunisia, AlJazair, Marokko, bahkan sampai ke Spanyol, begitu pun ke
Timur tidak ketinggalan seperti lraq, Persia, India, Sentral Asia, Indonesia,
Kamboja, bahkan sampai ke Tiongkok.
Para tabi'in itu setelah belajar dari sahabat, lantas bertebaran ke
seluruh pelosok dunia untuk mengajar, bertabligh dan menjadi hakim dalam
pelbagai pengadilan. Masa Tabi'in ini dapat kita katakan dari tahun 70 H. s/d
130 H. (yaitu kira-kira 60 tahun). ParaTabi'in ini sama juga dengan para
sahabat, terbagi pada dua golongan tadi, yaitu :
A. Golongan pertama, yaitu menjadi pemangku Hadits saja (si Rawi).
b. Golongan kedua, selain pemangku Hadits, juga memberikan fatwa,
menjadi Qadli, menjadi Mufti, menjadi Muballigh.
Diantara para Tabi'in terdapat seorang Ulama Besar di Kufah (Iraq),
namanya Nu'man bin Tsabit. Asalnya dari Persia dan kemudian menetap di
Kufah dekat Bagdad. (lahir 80 H. wafat 150 H.). Beliau ini Ulama Besar sehingga
derajat ilmunya sampai bisa menjabat lmam Mujtahid. Beliau melaksanakan
istinbath (menggali hukum dari Quran dan Hadits) dan beliau menjadi Imam
Mujtahid dalam ilmu Fiqih yang kemudian dinamai Madzhab Abu Hanifah, Nu'man bin
Tsabit atau Madzhab Hanafi. Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang
sahabat Nabi, yaitu : Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi
Aufa, Wasnilan bin Al Asda, Maaqil bin Yasar. Abdullah bin Anis, dan Abu
Thafail.
Guru-gurunya yang lain hanya para Tabi'in. Abu Hanifah Nu'man bin
Tsabit menggali hukum dari al Quran dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan
kepada beliau atau yang belum ditanyakan.
5. Pada waktu yang hampir bersamaan, muncul pula di Madinah seorang
Ulama Besar dalam ilmu Fikih, yaitu Malik bin Anas, pembangun Madzhab Maliki.
(Beliau lahir tahun 93 H. - wafat 179 H.). Beliau hidup pada masa Tabi'in dan
Tabi' Tabi'in (orang yang berjumpa dengan Sahabat Nabi dan orang yang berjumpa
dengan orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi). Perbedaan umur antara
Imam Hanafi dan Imam Maliki hanya 13 tahun, karena Imam Maliki lahir tahun 93
H. dan Imam Hanafi tahun 80 H. Tahun wafat agak banyak berbeda, dimana Imam
Hanafi wafat tahun 150 H. sedangkan Imam Maliki wafat 179 H. (Berbeda 29
tahun). Walaupun pada zaman yang sama, tetapi keadaan tempat tinggal berbeda.
Imam Hanafi di Kufah (Ibu kerajaan Islam), tetapi Imam Maliki tinggal di
Madinah, negeri yang pada ketika itu boleh dikatakan tidak ramai, hanya didiami
oleh pemangku-pemangku Hadits, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir, sedang kota
Kufah didiami oleh ahli-ahli politik yang tidak kurang pula dengan Ulama-ulama
lainnya. Pemangku-pemangku Hadits yaitu Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in
banyak tinggal di Madinah. Hal ini sangat menolong Imam Maliki dengan mudahnya
dalam mengumpulkan Hadits-hadits Nabi atau Sunnah Rasul.
Imam Maliki sebelum menjadi Imam Mujtahid Muthlaq, telah menghafal
hadits-hadits yang sahih sejumlah 100.000 hadits yang dikumpulkan dari gurunya.
Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti matannya diteliti
pemangkunya, dicocokkan isinya dengan Quran dan kalau kedapatan agak lemah maka
hadits itu ditinggalkannya dan tidak dipakai untuk dasar hukum. Hal ini
dilakukannya karena takut kemasukan hadits-hadits yang pada hakikatnya bukan
dari Nabi tetapi dimasukkan oleh orang lain. Satu keistimewaan yang harus
dicatat bahwa di kota Madinah pada waktu itu boleh dikatakan hanya didiami
semula oleh Nabi dan Sahabat-sahabat beliau, kemudian oleh Tabi'in (orang yang
berjumpa dengan sahabat Nabi) dan sesudah itu oleh Tabi’ Tabi’in (orang yang
berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan Sahabat Nabi). Orang yang
tidak demikian halnya, seumpama orang yang datang dan dari luar daerah tetapi
bukan sahabat dan tidak pula berjumpa dengan Nabi, ataupun berjumpa tetapi
tidak iman dengan Nabi dan orang yang bukan pula Tabi'in (orang yang berada di
Madinah tetapi tidak berjumpa dengan sahabat (karena berada/tinggal di pinggir
kota sehingga tidak berjumpa dengan sahabat Nabi). Orang yang demikian tidak
ada di Madinah pada zaman Imam Maliki. Hal ini penting untuk dimaklumi karena
Imam Maliki memakai dasar "amalan orang Madinah" sebagai dasar hukum
sebagai yang akan diterangkan lebih lanjut.
6. Pada zaman Imam Maliki muncul pula di Mekkah seorang Tabi'
Tabi'in, yaitu Muhammad bin Idris yang kemudian ternyata pembangun Madzhab
Syafi’i. Imam Syafi'i sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering
pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain. Beliau tinggal di
Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi'in, kemudian pindah ke Madinah dan
bergaul juga denqan seluruh Tabi'in, pindah lagi ke Yaman dan bergauldengan seluruh
Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia,
kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya pergi ke
Mesir.
Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk
berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits,
untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i lebih banyak
mendapat hadits daripada Tabi'in yang lain, melebihi dari yang didapat oleh
Imam Hanafi dan Imam Maliki. Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam itu
karena beliau banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan
bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari persia, Turki dan lain-lain).
Hadits-hadits dicari beliau ke mana-mana, para Tabi’in yang telah
bercerai-berai dan berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui beliau.
Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat hadits.
7 . Pada tahun 164 H. lahir di Bagdad (Iraq) seorang yang bernama
Ahmad bin Hanbal. Beliau lebih muda dari Imam Syafi’i 14 tahun. Beliau wafat
tahun 214 H. yaitu 37 tahun terkemudian dari Imam Syafi'i. Barangsiapa yang
mempelajari riwayat Imam Hanbali ini, ia akan kagum dengan kealimannya,
ketaqwaannya, ketabahannya menghadapi cobaan, kezuhudannya dengan harta dunia
dan kepintaran nya yang luar biasa. Beliau, Imam Hanbali belajar Agama di
Bagdad dengan ulama-ulama Tabi' Tabi'in. Imam Hanbali belajar Tafsir, Hadits,
Tasauf dan lain-lain, yaitu kepada murid-murid Imam Abu Hanifah dan lain-lain,
juga kepada Imam Syafi’i ketika beliau berada di Bagdad.
Imam Hanbali kemudian sampai derajat ilmunya kepada Mujtahid yang
bisa berijtihad sendiri, lepas dari ijtihad guru-gurunya. Sebagai bukti atas
ke'aliman beliau, adalah sebagai yang diceritakan oleh anak beliau sendiri
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, "ayahku telah menghafal
diluar kepala 1.000.000 (sejuta).
Di dalam kitab al Masnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang
kemudian terkenal dengan nama Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya empat
puluh ribu (40.000) hadits, yaitu hadits-hadits yang disaringnya dan yang
1.000.000 itu.
8. Antara Imam Mujtahid yang empat ini terdapat persamaan dan
perbedaan dalam cara-cara menggali hukum (istinbath) dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Persamaan dalam memakai dan mempergunakan Al
Quran untuk menjadi dasar hukum. Setiap beliau yang berempat ini sama halnya,
yakni mula-mula sekali melihat dan mencari hukum dalam Al-Quran. Kalau dalam
satu masalah yang terjadi ada hukunnya dalam Al-Quran, syukur, tetapi kalau
tidak ada maka beliau-beliau itu pindah kepada yang kedua, yaitu Hadits/Sunnah
Rasul. T idak ada dari Imam yang berempat ini yang enggan memakai Hadits untuk
menjadi dasar hukum, karena di dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang
menyuruh mengikut Allah dan Rasul. Mereka sepakat bahwa barangsiapa yang tidak
mau mengikut Rasul, maka orang itu kafir, di luar dari lingkungan Islam. Hanya
karena situasi Hadits berbeda dengan situasi Quran, yakni Quran sudah termaktub
sedang Hadits belum termaktub, melainkan terletak di dada para Ulama dan pindah
dari satu kepada yang lain. Maka dalam cara memakai Hadits itu terdapat
perbedaan pendapat antara Imam yang 4 itu, yaitu :
a. Imam Hanafi berpendapat bahwa Hadits yang akan dipakai menjadi
dasar hukum, haruslah Hadits yang kuat saja, yang tinggi derajat sahihnya
bahkan lebih baik yang mutawatir (yang banyak orang merawikannya). Kalau tidak
terdapat Hadits yang macam itu lebih baik pindah saja pada "ra'yi",
kepada qiyas, karena mengambil dasar hukum dengan pendapat (qiyas) lebih
terjamin kebenarannya dari mengambil dasar hukum dengan Hadits-hadits yang
diragukan, hadits-hadits yang kurang kuat, apalagi hadits yang dhaif.
Menurut Imam Hanafi,"pendapat" didahulukan dari
hadits-hadits yang kurang kuat, karena "pendapat" itu telah diberi
izin oleh Nabi dalam Hadits Mu'az yang masyhur. Karena itu Madzhab Hanafi
digelari dengan Madzhab Ahli Ra'yi, Madzhab AhIi pendapat, Ahli qiyas. Pendapat
Imam Hanafi ini dapat difahami, karena di Kufah ketika itu tidak banyak
Pemangku Hadits. Imam Hanafi sedikit sekali mendapat hadits, sedang yang
sedikit itu diragukan pula tersebab keadaan orang-orang yang memangku
hadits-hadits itu. Imam Hanafi memakai pula suatu dalil yang bernama
"Istihsan", yaitu "kebaikan umum", atau yang "lebih
baik". Sebagai contoh dikemukakan, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang wanita yang habis bersetubuh
dengan suaminya membaca Quran. Dalam soal ini timbul suatu masalah, bagaimana
keadaannya wanita yang berhaidh, bolehkah ia membaca Quran atau tidak. Ada
orang memfatwakan tidak boleh karena diqiyaskan kepada wanita junub tadi,
tetapi Imam Hanafi mengatakan boleh, karena yang lebih baik baginya dibolehkan,
karena masa haidh itu lama. Kalau dilarang terlalu lama ia tidak membaca Quran
sedang wanita junub mudah dihabiskan dengan mandi, dan ia bisa segera dapat
membaca Quran. Jadi dalam soal qiyas mengqiyas harus juga dipertimbangkan mana
yang lebih baik. Itulah yang dinamakan Istihsan. Imam Syafi’i tidak
memakai dalil ini sama sekali karena pertimbangan-pertimbangan yang begitu
tidak dapat dipakai sebagai dalil syari'at, kata beliau.
b. Imam Maliki berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah
Hadits, sesuai dengan pendapat Imam Hanafi. Tetapi kalau umpamanya berlawanan
sebuah Hadits dengan "amalan orang Madinah", maka yang didahulukan
memakainya ialah "amalan orang Madinah". Jadi, dasar Madzhab beliau
diantaranya adalah Amalan orang Madinah, bahkan dasar ini didahulukan dari
Hadits. Jangan terkejut membaca ini! Imam Maliki menganggap amalan orang
Madinah sama juga dengan hadits dan bahkan lebih tinggi denjatnya dari Hadits,
karena Hadits-hadits diriwayatkan dengan "perkataan" dari orang ke
orang, yakni dari Nabi kepada si Fulan dan turun kepada si Fulan lagi, semuanya
dengan perkataan. Tetapi amalan orang Madinah diriwayatkan dengan "perbuatan",
yakni "perbuatan Nabi dilihat oleh sahabat lantas diikuti dan dikerjakan,
diturunkan lagi oleh Sahabat dengan "perbuatan" kepada murid-murid
beliau, diturunkan lagi oleh murid-murid para sahabat dengan
"perbuatan" ke bawah dan beginilah seterusnya dikerjakan oleh orang
Madinah ketika itu dari perbuatan ke perbuatan. Mana yang lebih kuat perkataan
dibanding perbuatan ? Tentu saja perbuatan Iebih kuat dari perkataan, kata Imam
Maliki.
Sebagai contoh kami kemukakan masalah meletakkan tangan pada dada
dalam berdiri shalat. Ada Hadits Uhad (hadits satu silsilah) yang menyatakan
bahwa Nabi meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri beliau pada dada dalam
berdiri shalat. Tetapi Imam Maliki melihat para Tabi'in di Madinah semuaya
shalat melepaskan tangan ke bawah, yang mana ibadat semacam itu diambilnya dari
ibadat sahabat-sahabat Nabi yang mengambil dari ibadat (perbuatan) Nabi ketika
mengerjakan shalat. Maka Imam Maliki berpendapat bahwa riwayat dengan perbuatan
lebih kuat dari riwayat dengan perkataan.
Imam Maliki memakai pula suatu dalil yang diberi nama
"Mashalih-Mursalah" yaitu "kemuslihatan-mutlak". Sebagai
contoh dikemukakan, bahwa andaikata orang kafir yang sedang berperang dengan
orang Islam meletakkan orang Islam di mukanya sebagai tameng. Kalau ditembak
maka yang tertembak pertama adalah orang Islam. Imam Maliki memfatwakan, bahwa
dalam keadaan yang seperti itu harus diperhatikan kemuslihatan-mutlak. Yang
muslihat adalah ditembak, walaupun tamengnya orang Islam, karena yang
dipertimbangkan dalam perang melawan musuh adalah mengalahkan mereka dan ini
adalah kemuslihatan mutlak. Kalau tamengnya itu tidak ditembak maka orang kafir
akan menang dan celakalah seluruh orang Islam, maka lebih baik mati seorang
daripada celaka yang banyak. Itulah yang dinamakan Mashalih-Mursalah. Imam
Syafi’i tidak memakai dalil ini.
c. Imam Syafi’i berpendapat bahwa Hadits-hadits diutamakan
pengambilannya, baik dibanding dengan "Ra'yi" maupun dibanding dengan
"amal perbuatan orang Madinah". Bagi beliau, hanya Hadits, sekali
lagi Hadits. Ra'yi atau pendapat, begitu juga amal ahli Madinah tidak laku
kalau bertentangan dengan Hadits. Bagi beliau Al-Quran dan Hadits adalah yang
utama dan pertama, di mana kalau tidak ada dalam Al-Quran dan Hadits, barulah
pindah kepada Qiyas dan Ijma'yang harus bersandar juga kepada Al-Quran dan
Hadits. Qiyas dan Ijma' yang tidak bersandar kepada Al-Quran dan Hadits tidak
dipakai oleh Imam Syafi’i. Karena itu beliau diberi gelar julukan 'Ahlul
Hadits" atau "NashiruI Hadits", yaitu AhIi Hadits atau Penolong
Hadits.
Hadits yang dipakai menjadi dasar hukum menurut Madzhab Imam
Syafi'i, ialah hadits yang sahih-sahih, bukan yang dha'if. Hadits yang dha'if
dipakai juga untuk "fadhailul a'mal", untuk dasar amalan-amalan
sunnat, seperti untuk menetapkan dzikir, banyak dzikir, bersedakah, banyak
sedekah dan lain-lain. Adapun amal sahabat Nabi yang utama, diterima menjadi
dasar hukum kalau Nabi menyuruh ummat Islam mengikuti mereka. Jadi mengikut
amal Sahabat Nabi yang utama, berarti pada hakikatnya mengikuti Sunnah Rasul juga.
Karenaitu dalam Madzhab Syafi’i adalah sunnat hukumnya shalat tarawih 20
raka'at tiap-tiap malam bulan Ramadhan dengan berjama'ah, karena hal ini
diperintahkan oleh Saidina Umar radhiyallahu
‘anhu, Khalifah Nabi yang kedua dan Sahabat Nabi yang utama.
Dan karena itu pula, sunnat hukumnya adzan yang pertama pada shalat
Jum'at, karena hal itu diperintahkan oleh Saidina utsman bin Affan, Sahabat
Nabi yang utama dan Khalifah Ar Rasyidin. Barangsiapa yang tidak mau menerima
hukum Saidina Umar dan Saidina Utsman, orang itu telah menantang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Nabi Muhammad telah menyuruh
mengikut Saidina Umar dan Khalifah Rasyidin lainnya, sebagai yang tersebut
dalam salah satu Hadits.
d. Imam Hanbali berpendapat, bahwa kalau tidak terdapat hukum
sesuatu dalam Quran, maka carilah dalam Hadits Nabi, sekali lagi Hadits Nabi.
Andaikata ada pendapat atau perbuatan dari Sahabat Nabi, dari Tabi'in atau dari
siapapun yang menentang Hadits, maka pendapat atau amal orang itu tidak dihiraukan,
yang dipegang ialah Hadits, demikian Imam Hanbali. Imam Hanbali mengecam
pendapat Imam Hanafi yang banyak mempergunakan "pendapat”, juga mengecam
pendapat Imam Maliki yang mempergunakan/memakai amalan orang Madinah untuk
dasar hukum. Tetapi Imam Hanbali tidak menantang Ijtihad Imam syafi’I. Hanya
lmam Hanbali agak keterlaluan, sehingga beliau berpendapat lebih baik memakai
Hadits yang dha'if (yang lemah) daripada memakai "pendapat" dalam
menetapkan hukum. Asal jangan hadits ‘maudhu' (hadits yang dibuat-buat). Karena
Hadits itu, kata beliau, sekalipun dha'if adalah hadits juga, tetapi hanya
pemangkunya yang diragukan.
Beliau tidak sependapat dengan Imam Syafi'i yang tidak memakai
hadits dha'if sebagai dasar hukum dan hanya memakainya dalam "Fadhailul
a'mal". Untuk membulatkan frkiran, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
mengambil hukum terdapat perbedaan-perbedaan sebagai daftar di bawah, yaitu :
a. Sumber Madzhab Hanafi :
1. Al-Quran al Karim.
2. Sunnah Rasul yang sahih-sahih dan masyhur saja.
3. Ijma'sahabat Nabi.
4. Qiyas (pendapat).
5. Istihsan (pendapat).
b. Sumber Madzhab Maliki:
1. Al-Quran al Karim.
2. Sunnah Rasul yang sahih menurut pandangan beliau.
3. .Amalan para Ulama ahli Madinah ketika itu.
4. Qiyas (pendapat).
5. Masalihul-mursalah (kepentingan umum).
c. Sumber Madzhab Syafi’i:
1. Al-Quran al Karim.
2. Hadits yang sahih menurut pandangan beliau (hadits shahih
mutawatir, hadits shahih-ahad, shahih masyhur)
3. ljma’ para Mujtahid.
4. Qiyas.
d. Sumber Madzhab Hanbali:
1. Al-Quran al Karim.
2. Ijma’ sahabat Nabi.
3. Hadits, termasuk Hadits Mursal dan Hadits Dhaiif.
4. Qiyas (pendapat).
Ternyata pada daftar ini bahwa ke-empat Madzhab itu memegang
Al-Quran dan Hadits sebagai sumber pertama tapi dalam menjalankan ijtihad
terjadi perbedaan-perbedaan pendapat. Kami jelaskan lagi dengan gambar di bawah
ini :
PERBANDINGAN DALIL-DALIL HUKUM MENURUT
MADZHAB YANG EMPAT
1.
Madzhab Hanafi.
1. Quran; 2. Hadits ; 3. Ijma’ Sahabat ; 4. Qiyas ; 5. Istihsan
. Madzhab Maliki
1. Quran ; 2. Hadits ; 3.Ijma Amalan orang Madinah ;
4. Qiyas ; 5. Mashalih Mursalah
3. Imam Syafi’i
1. Quran ; 2. Hadits ; 3. Ijma Imam-imam Mujtahidin; 4. Qiyas.
4. Madzhab Hanbali
1. Quran ; 2. Ijma Sahabat ; 3. Hadits ; 4. Qiyas.
Keterangan Gambar:
1,. Ke-empat Madzhab memakai Quran menjadi dalil utama.
2. Imam Hanafi mendahulukan pemakaian Qiyas (pendapat) dibanding
hadits-hadits Uhad dan Masyhur, karena itu lingkungan hadits lebih kecil dari
qiyas (pendapat).
3. Imam Maliki, Syafi’i dan Hanbali, hadits lebih utama dari Qiyas.
4. Imam Hanbali memakai juga Hadits Dha’if dan Hadits Mursal,
karena itu lingkungan hadits bagi madzhabnya lebih besar dibanding Madzhab tiga
lainnya.
5. Yang memakai Istihsan hanya Imam Hanafi.
6. Yang memakai Masalihul Mursalah hanya Imam Maliki.
7. Tentang Ijma' berbeda-beda pendapatnya:
a. Imam Hanafi, memakai Ijma' Sahabat-sahabat Nabi.
b. Imam Maliki memakai Ijma' Orang Madinah.
c. Imam Syafi’i memakai Ijma' Imam-Imam Mujtahid yang ahli.
d. Imam Hanbali memakai Ijma' Sahabat Nabi.
Nah, dengan pendapat yang berbeda-beda ini dapatlah kita ketahui
bahwa dalam 4 Madzhab itu muncul hukum-hukum yang berlainan karena asalnya
perbedaan prinsip dalam sumber hukum dan cara memakai hadits-hadits itu.
Barangsiapa yang membaca Kitab Bidayatut Mujtahid karangan Ibnu Rusydi dan
Kitab Fikih menurut Madzhab yang 4 karangan Abdur Rahman aI Jazairi niscaya
akan melihat dengan jelas dan terang perbedaan-perbedaan hukum antara Madzhab
yang 4 itu, yang ditimbulkan karena perbedaan-perbedaan prinsip. Kalau dibuat
daftar hukum-hukum yang berlainan dan antara 4 Madzhab iru barangkali akanpenuh
satu buku tebal dengan 1000 halaman lebih.
Kesimpulannya : Terdapat perbedaan besar diantara 4 madzhab. Dan
barangsiapa memperhatikan gambar di atas dengan seksama akan ternyatalah
baginya "Keagungan Madzhab Syafi’i", walaupun dibanding dengan
Madzhab-madzhab yang tiga sekalipun.
Dari gambar ini nampak.
1. Dasar danMadzhab Syafi'i hanya 4 saja,yaitu Quran, Hadits,
Ijma'dan Qiyas. Ijma'dan Qiyas pada hakikatnya berpokok kepada Quran dan
Hadits. Imam Syafi’i tidak memakai Istihsan, Mashalih Mursalah, yang pada
hakikatnya hanyalah "pendapat manusia" belaka.
2. Walaupun dalam gambar ini pemakaian Hadits dalam Madzhab Hanbali
lebih besar dibanding dalam Madzhab Syafi’i, tetapi Imam Hanbali memakai Hadits
yang dha’if dan Mursal sebagai pokok hukum, sedang Imam Syafi’i hanya memakai
Hadits Shahih saja, sedang hadits dha'if hanya dipakai dalam sandaran fadhailul
Amal (amal-amal sunnat). Hadits Mursal dalam Madzhab Syafi’i tidak dipakai,
kecuali Mursal Said Ibnul Musayyab saja. Dalam hal ini tenang Madzhab Syafi’i
lebih agung disbanding dengan Madzhab Hanbali.
3. Dalam pemakaian Ijma' Madzhab Syafi’I hanya memakai Ijma'
kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam satu masa). Imam-imam Mujtahid adalah
orang-orang ahli, expert, orang pandai-pandai dan pintar-pintar. Kalau Ijma'
orang Madinah seperti dalam Madzhab Maliki, atau ljma'sahabat, seperti dalam
Madzhab Hanbali, tidak ada jaminan yang kuat untuk meyakinkan kebenarannya,
karena diantara orang-orang Madinah atau Sahabat-sahabat pun terdapat bermacam
jenis orangnya.
4. Di dalam Madzhab Hanafi, terlalu sedikit memakai hadits. Yang
lebih banyak memakai "ra'yun” (ijtihad atau pendapat), kebalikan dari
Madzhab Syafi’i yang banyak memakai hadits dan sedikit sekali memakai Qiyas
(pendapat). Pendeknya Madzhab Syaf’ii lebih agung, walaupun dibanding dengan
Madzhab yang tiga, apalagi kalau dibanding dengan Madzhab -madzhab Syi'ah, Ibnu
Taimiyyah, Zhahiriyah, Leits dan lain-lain.
Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa Dunia Islam dari dulu sampai
sekarang telah menerima dan mengikuti madzhab-madzhab itu. Tidak seorang pun
dari mereka yang membantah. Jadi seolah-olah ijma' (sepakat), yang tidak bisa
diganggu gugat lagi. Dari Mekkah sampai Madinah, sampai Kufah dan Bagdad, terus
ke Mesir, Maroko, Spanyol, sampai ke pelosok pelosok Afrika, dan dari timur
sampai ke Persi, sampai ke India, ke Thailand, ke Indonesia, ke Philipina dan
bahkan sampai ke Amerika, kesemuanya adalah penganut Madzhab. Dus, melarang
orang mengikut madzhab adalahbertentangan dengan ijma' dan berlawanan dengan
dunia Islam. Di Mesjid Mekkah berabad-abad lamanya didirikan tempat-tempat
khusus bagi Imam-imam yang berempat, ada maqam Hanafi, ada maqam Syafi’i, ada
maqam Maliki dan ada maqam Hanbali. Setiap maqam itu mempunyai sepihak Ka’bah.
Rupanya sudah satu isyarat dari Allah subhanahu
wa ta’ala yang menjadikan
Ka'bah bersegi empat, sehingga setiap Imam yang berempat mempunyai satu segi.
Walaupun sekarang pada zaman pemerintahan Wahabi maqam-maqam itu sudah
ditiadakan dengan alasan untuk memperluas tempat thawaf, akan tetapi madzhab-m
adzhab itu berjalan terus dan Penguasa-penguasa wahabi menganut Madzhab Hanbali
dalam furu’ syariat.
Dalam permulaan fasal ini kami katakan bahwa ada segolongan kecil
dalam dunia Islam yang tidak bertanggung jawab, yang berusaha hendak meniadakan
Madzhab dan melarang orang bertaqlid kepada Imam-imam. Memang benar, mereka
tidak banyak, hanya sebagian kecil. Kalau kita melawat dari Marokko di Magribi,
sampai ke Aljazair, Tunisia, Libia, Mesir, Iraq, Turki, Yaman, Pakistan, India,
Siam, Pilipina, Tiongkok, kita akan mendapati dan melihat orang-orang Islam di
sana bertaqlid kepada Imam-imam dalam furu’ syari'at, ada yang bertaqlid kepada
Madzhab Maliki, ada yang kepada Hanafi, ada yang kepada Syafi’I dan Hanbali. Yang
tidak bermadzhab hampir tidak ada atau hanya sebagian kecil saja.
Sekolah Tinggi Al Azhar di Kairo Mesir memberikan syarat bagi
Mahasiswa baru yang akan masuk belajar disana, agar mereka menganut salah satu
Madzhab yang 4. Kalau tidak menganut salah satu diantaranya, ditolak menjadi
mahasiswanya. Dengan keterangan-keterangan tersebut jelas dan teranglah bahwa
anjuran melarang taqlid dengan segala macam dalil dari orang-orang ANTI MADZHAB
adalah tidak bertanggungjawab, karena dengan anjuran itu akan menimbulkan dua
factor kerusakan, yaitu :
1. Rakyat tidak dapat menjalankan agamanya dengan baik.
2. Semua orang menjadi "Imam Mujtahid" yang akan
merusakkan masyarakat dan menghancurkan sendi-sendi pergaulan dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar