Selasa, 07 Juni 2011

11. Perbedaan-perbedaan Prinsipil antara Imam-imam Mujtahid yang 4.

Soal ini agak gelap bagi masyarakat sehingga banyak mereka yang bertanya : "Apakah perbedaan-perbedaan yang prinsipil antara Madzhab-madzhab yang 4 itu ?" Soal ini memang sulit untuk menguraikannya dan sulit untuk memahamkannya, kalau uraian itu secara pendek dan ringkas. Tetapi kalau pembaca sabar tidak terburu-buru dan yang dibaca ini benar-benar dapat difahamkan dengan tenang, kami rasa akhirnya akan faham juga.
Kita harus memahami beberapa soal terlebih dahulu, yaitu :
1. Pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hidup, yang dituliskan hanyalah Al-Quran.  Hadits tidak dituliskan sama sekali karena takut akan campur aduk dengan Quran. Pada masa Khalifah yang ke III, Saidina Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu (23 - 35 H.) ayat Quran yang ditulis cerai berai itu dikumpulkan menjadi satu mashaf yang sekarang dinamakan Mashaf Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.  Inilah Al-Quran yang 30 juz, sebagai yang kita lihat banyak tersebar di Indonesra dalam berbagai-bagai bentuk cetakan. Semuanya ini adalah "Mashaf Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
2. Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yakni ucapan-ucapan beliau, perbuatan beliau, yang dinamakan sunnah Rasul semuanya tersimpan dalam dada para sahabat, yang boleh dinamakan “Pemangku Hadits". Para sahabat Nabi, pemangku Hadits ini, baik sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat maupun sesudahnya, telah mengembara ke seluruh pelosok negeri, sesuai dengan perkembangan daerah-daerah Islam dalam rangka dakwah Islamiyah. Ada diantara mereka yang tetap di Mekkah, di Madinah dan ada pula yang sudah pindah ke Mesir, lraq, Yaman, Persia, Hadharal-maut, Etiopia, Sudan dan bahkan khabarnya ada yang sampai ke Timur jauh, ke Tiongkok dan lain-lain sebagainya. Nasib Hadits agak malang ketika itu, karena belum terkumpul ke dalam satu atau dua buku, tetapi tersimpan dalam ribuan dada dan hati sahabat-sahabat Nabi yang telah mengembara ke sana-sini.
3. Pada zaman para sahabat Nabi, kira-kira dari tahun 13 H. sampai 70 H. (yakni 57 tahun) fatwa-fatwa agama dan hukum-hukum dalam pengadilan dipegang oleh para sahabat Nabi. Mereka tidak merasa banyak kesulitan dalam menghadapi masalah hukum sesuatu peristiwa, karena mereka mempunyai kitab Suci Al-Quran, dan pula banyak diantara mereka yang hafal Sunnah Rasul di luar kepala. Sesuatu soal yang datang/timbul ditetapkan hukumnya sesuai dengan Quran dan sesuai pula dengan hadits yang dihafalnya. Apabila ia tidak banyak menghafal hadits, maka ditanyakan kepada kawannya sesama sahabat, kiranya diantara mereka ada yang menghafal hadits yang dapat dipakai dalam menghadapi persoalan yang baru timbul.
Kalau umpamanya mereka tidak mendapat hadits yang dibutuhkan, lalu pindah pada ra'yi (pendapatnya masing-masing) dengan mengingat ayat-ayat Suci dan Hadits-hadits Nabi yang ada. Berfatwa atau menghukumi dengan dasar "ra'yi" (pendapat) dibolehkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kalau tidak diketemukan dasar Quran atau Hadits, (tersebut dalam Hadits Mu'az yang masyhur). Tetapi dalam praktek, para sahabat tidak banyak mengalami kesulitan karena Quran ada dan Hadits pun banyak pula di dadanya. Sedang masalah-masalah yang dihadapinya dalam soal-soal yang baru tidak banyak. Selain dari itu baik diketahui bahwa para Sahabat Nabi seakan-akan sudah menjadi dua golongan :
a. Golongan yang pertama dan jumlahnya banyak, ialah Pemangku Hadits saja dengan pekerjaannya hanya menyampaikan Hadits-hadits yang dihafalnya itu kepada pengikut-pengikutnya, tanpa komentar tentang isinya. Golongan ini dinamakan "Ahli riwayah", yakni golongan yang menyampakan /merawikan Hadits-hadits.
b. Golongan kedua yang jumlahnya sedikit, selain pemangku Hadits, juga berfatwa dan menghadapi hukum-hukum masalah yang ditanyakan kepada mereka. Golongan ini dinamakan golongan "Mufti", "golongan Fuqaha", atau golongan "pemberi fatwa". Tidak banyak sahabat yang masuk golongan kedua ini, hanya kira-kira 130 orang saja.
4. Kemudian tibalah masa Tabi'in, yaitu masa orang-orang yang berjumpa/berguru dengan/kepada sahabat Nabi. Orang-orang ini tidak berjumpa dengan Nabi. Para Tabi'in aktif sekali, selain mempelajari bermacam-macam ilmu juga menerima hadits-hadits Nabi dari sahabat-sahabat. Para Tabi'in ini sudah lebih besar jumlahnya dari jumlah sahabat karena setiap sahabat mengajar 10 sampai 50 orang Tabi'in. Dengan bertambah luasnya daerah Islam, para sahabat banyak yang bertambah jauh pengembaraannya yang menyebabkan para Tabi'in bertambah luas lagi perkembangannya di daerah-daerah. Ke Barat sudah sampai di Mesir, Libia, Tunisia, AlJazair, Marokko, bahkan sampai ke Spanyol, begitu pun ke Timur tidak ketinggalan seperti lraq, Persia, India, Sentral Asia, Indonesia, Kamboja, bahkan sampai ke Tiongkok.
Para tabi'in itu setelah belajar dari sahabat, lantas bertebaran ke seluruh pelosok dunia untuk mengajar, bertabligh dan menjadi hakim dalam pelbagai pengadilan. Masa Tabi'in ini dapat kita katakan dari tahun 70 H. s/d 130 H. (yaitu kira-kira 60 tahun). ParaTabi'in ini sama juga dengan para sahabat, terbagi pada dua golongan tadi, yaitu :
A. Golongan pertama, yaitu menjadi pemangku Hadits saja (si Rawi).
b. Golongan kedua, selain pemangku Hadits, juga memberikan fatwa, menjadi Qadli, menjadi Mufti, menjadi Muballigh.
Diantara para Tabi'in terdapat seorang Ulama Besar di Kufah (Iraq), namanya Nu'man bin Tsabit. Asalnya  dari Persia dan kemudian menetap di Kufah dekat Bagdad. (lahir 80 H. wafat 150 H.). Beliau ini Ulama Besar sehingga derajat ilmunya sampai bisa menjabat lmam Mujtahid. Beliau melaksanakan istinbath (menggali hukum dari Quran dan Hadits) dan beliau menjadi Imam Mujtahid dalam ilmu Fiqih yang kemudian dinamai Madzhab Abu Hanifah, Nu'man bin Tsabit atau Madzhab Hanafi. Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang sahabat Nabi, yaitu : Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Wasnilan bin Al Asda, Maaqil bin Yasar. Abdullah bin Anis, dan Abu Thafail.
Guru-gurunya yang lain hanya para Tabi'in. Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit menggali hukum dari al Quran dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan kepada beliau atau yang belum ditanyakan.
5. Pada waktu yang hampir bersamaan, muncul pula di Madinah seorang Ulama Besar dalam ilmu Fikih, yaitu Malik bin Anas, pembangun Madzhab Maliki. (Beliau lahir tahun 93 H. - wafat 179 H.). Beliau hidup pada masa Tabi'in dan Tabi' Tabi'in (orang yang berjumpa dengan Sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi). Perbedaan umur antara Imam Hanafi dan Imam Maliki hanya 13 tahun, karena Imam Maliki lahir tahun 93 H. dan Imam Hanafi tahun 80 H. Tahun wafat agak banyak berbeda, dimana Imam Hanafi wafat tahun 150 H. sedangkan Imam Maliki wafat 179 H. (Berbeda 29 tahun). Walaupun pada zaman yang sama, tetapi keadaan tempat tinggal berbeda. Imam Hanafi di Kufah (Ibu kerajaan Islam), tetapi Imam Maliki tinggal di Madinah, negeri yang pada ketika itu boleh dikatakan tidak ramai, hanya didiami oleh pemangku-pemangku Hadits, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir, sedang kota Kufah didiami oleh ahli-ahli politik yang tidak kurang pula dengan Ulama-ulama lainnya. Pemangku-pemangku Hadits yaitu Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in banyak tinggal di Madinah. Hal ini sangat menolong Imam Maliki dengan mudahnya dalam mengumpulkan Hadits-hadits Nabi atau Sunnah Rasul.
Imam Maliki sebelum menjadi Imam Mujtahid Muthlaq, telah menghafal hadits-hadits yang sahih sejumlah 100.000 hadits yang dikumpulkan dari gurunya. Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti matannya diteliti pemangkunya, dicocokkan isinya dengan Quran dan kalau kedapatan agak lemah maka hadits itu ditinggalkannya dan tidak dipakai untuk dasar hukum. Hal ini dilakukannya karena takut kemasukan hadits-hadits yang pada hakikatnya bukan dari Nabi tetapi dimasukkan oleh orang lain. Satu keistimewaan yang harus dicatat bahwa di kota Madinah pada waktu itu boleh dikatakan hanya didiami semula oleh Nabi dan Sahabat-sahabat beliau, kemudian oleh Tabi'in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi) dan sesudah itu oleh Tabi’ Tabi’in (orang yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan Sahabat Nabi). Orang yang tidak demikian halnya, seumpama orang yang datang dan dari luar daerah tetapi bukan sahabat dan tidak pula berjumpa dengan Nabi, ataupun berjumpa tetapi tidak iman dengan Nabi dan orang yang bukan pula Tabi'in (orang yang berada di Madinah tetapi tidak berjumpa dengan sahabat (karena berada/tinggal di pinggir kota sehingga tidak berjumpa dengan sahabat Nabi). Orang yang demikian tidak ada di Madinah pada zaman Imam Maliki. Hal ini penting untuk dimaklumi karena Imam Maliki memakai dasar "amalan orang Madinah" sebagai dasar hukum sebagai yang akan diterangkan lebih lanjut.
6. Pada zaman Imam Maliki muncul pula di Mekkah seorang Tabi' Tabi'in, yaitu Muhammad bin Idris yang kemudian ternyata pembangun Madzhab Syafi’i. Imam Syafi'i sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain. Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi'in, kemudian pindah ke Madinah dan bergaul juga denqan seluruh Tabi'in, pindah lagi ke Yaman dan bergauldengan seluruh Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya pergi ke Mesir.
Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i  lebih banyak mendapat hadits daripada Tabi'in yang lain, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki. Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam itu karena beliau banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari persia, Turki dan lain-lain).  Hadits-hadits dicari beliau ke mana-mana, para Tabi’in yang telah bercerai-berai dan berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui beliau. Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat hadits.
7 . Pada tahun 164 H. lahir di Bagdad (Iraq) seorang yang bernama Ahmad bin Hanbal. Beliau lebih muda dari Imam Syafi’i 14 tahun. Beliau wafat tahun 214 H. yaitu 37 tahun terkemudian dari Imam Syafi'i. Barangsiapa yang mempelajari riwayat Imam Hanbali ini, ia akan kagum dengan kealimannya, ketaqwaannya, ketabahannya menghadapi cobaan, kezuhudannya dengan harta dunia dan kepintaran nya yang luar biasa. Beliau, Imam Hanbali belajar Agama di Bagdad dengan ulama-ulama Tabi' Tabi'in. Imam Hanbali belajar Tafsir, Hadits, Tasauf dan lain-lain, yaitu kepada murid-murid Imam Abu Hanifah dan lain-lain, juga kepada Imam Syafi’i ketika beliau berada di Bagdad.
Imam Hanbali kemudian sampai derajat ilmunya kepada Mujtahid yang bisa berijtihad sendiri, lepas dari ijtihad guru-gurunya. Sebagai bukti atas ke'aliman beliau, adalah sebagai yang diceritakan oleh anak beliau sendiri Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, "ayahku telah menghafal diluar kepala 1.000.000 (sejuta).
Di dalam kitab al Masnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian terkenal dengan nama Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya empat puluh ribu (40.000) hadits, yaitu hadits-hadits yang disaringnya dan yang 1.000.000 itu.
8. Antara Imam Mujtahid yang empat ini terdapat persamaan dan perbedaan dalam cara-cara menggali hukum (istinbath) dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Persamaan dalam memakai dan mempergunakan Al Quran untuk menjadi dasar hukum. Setiap beliau yang berempat ini sama halnya, yakni mula-mula sekali melihat dan mencari hukum dalam Al-Quran. Kalau dalam satu masalah yang terjadi ada hukunnya dalam Al-Quran, syukur, tetapi kalau tidak ada maka beliau-beliau itu pindah kepada yang kedua, yaitu Hadits/Sunnah Rasul. T idak ada dari Imam yang berempat ini yang enggan memakai Hadits untuk menjadi dasar hukum, karena di dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh mengikut Allah dan Rasul. Mereka sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mau mengikut Rasul, maka orang itu kafir, di luar dari lingkungan Islam. Hanya karena situasi Hadits berbeda dengan situasi Quran, yakni Quran sudah termaktub sedang Hadits belum termaktub, melainkan terletak di dada para Ulama dan pindah dari satu kepada yang lain. Maka dalam cara memakai Hadits itu terdapat perbedaan pendapat antara Imam yang 4 itu, yaitu :
a. Imam Hanafi berpendapat bahwa Hadits yang akan dipakai menjadi dasar hukum, haruslah Hadits yang kuat saja, yang tinggi derajat sahihnya bahkan lebih baik yang mutawatir (yang banyak orang merawikannya). Kalau tidak terdapat Hadits yang macam itu lebih baik pindah saja pada "ra'yi", kepada qiyas, karena mengambil dasar hukum dengan pendapat (qiyas) lebih terjamin kebenarannya dari mengambil dasar hukum dengan Hadits-hadits yang diragukan, hadits-hadits yang kurang kuat, apalagi hadits yang dhaif.
Menurut Imam Hanafi,"pendapat" didahulukan dari hadits-hadits yang kurang kuat, karena "pendapat" itu telah diberi izin oleh Nabi dalam Hadits Mu'az yang masyhur. Karena itu Madzhab Hanafi digelari dengan Madzhab Ahli Ra'yi, Madzhab AhIi pendapat, Ahli qiyas. Pendapat Imam Hanafi ini dapat difahami, karena di Kufah ketika itu tidak banyak Pemangku Hadits. Imam Hanafi sedikit sekali mendapat hadits, sedang yang sedikit itu diragukan pula tersebab keadaan orang-orang yang memangku hadits-hadits itu. Imam Hanafi memakai pula suatu dalil yang bernama "Istihsan", yaitu "kebaikan umum", atau yang "lebih baik". Sebagai contoh dikemukakan, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang wanita yang habis bersetubuh dengan suaminya membaca Quran. Dalam soal ini timbul suatu masalah, bagaimana keadaannya wanita yang berhaidh, bolehkah ia membaca Quran atau tidak. Ada orang memfatwakan tidak boleh karena diqiyaskan kepada wanita junub tadi, tetapi Imam Hanafi mengatakan boleh, karena yang lebih baik baginya dibolehkan, karena masa haidh itu lama. Kalau dilarang terlalu lama ia tidak membaca Quran sedang wanita junub mudah dihabiskan dengan mandi, dan ia bisa segera dapat membaca Quran. Jadi dalam soal qiyas mengqiyas harus juga dipertimbangkan mana yang lebih baik. Itulah yang dinamakan Istihsan. Imam Syafi’i tidak memakai dalil ini sama sekali karena pertimbangan-pertimbangan yang begitu tidak dapat dipakai sebagai dalil syari'at, kata beliau.
b. Imam Maliki berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah Hadits, sesuai dengan pendapat Imam Hanafi. Tetapi kalau umpamanya berlawanan sebuah Hadits dengan "amalan orang Madinah", maka yang didahulukan memakainya ialah "amalan orang Madinah". Jadi, dasar Madzhab beliau diantaranya adalah Amalan orang Madinah, bahkan dasar ini didahulukan dari Hadits. Jangan terkejut membaca ini! Imam Maliki menganggap amalan orang Madinah sama juga dengan hadits dan bahkan lebih tinggi denjatnya dari Hadits, karena Hadits-hadits diriwayatkan dengan "perkataan" dari orang ke orang, yakni dari Nabi kepada si Fulan dan turun kepada si Fulan lagi, semuanya dengan perkataan. Tetapi amalan orang Madinah diriwayatkan dengan "perbuatan", yakni "perbuatan Nabi dilihat oleh sahabat lantas diikuti dan dikerjakan, diturunkan lagi oleh Sahabat dengan "perbuatan" kepada murid-murid beliau, diturunkan lagi oleh murid-murid para sahabat dengan "perbuatan" ke bawah dan beginilah seterusnya dikerjakan oleh orang Madinah ketika itu dari perbuatan ke perbuatan. Mana yang lebih kuat perkataan dibanding perbuatan ? Tentu saja perbuatan Iebih kuat dari perkataan, kata Imam Maliki.
Sebagai contoh kami kemukakan masalah meletakkan tangan pada dada dalam berdiri shalat. Ada Hadits Uhad (hadits satu silsilah) yang menyatakan bahwa Nabi meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri beliau pada dada dalam berdiri shalat. Tetapi Imam Maliki melihat para Tabi'in di Madinah semuaya shalat melepaskan tangan ke bawah, yang mana ibadat semacam itu diambilnya dari ibadat sahabat-sahabat Nabi yang mengambil dari ibadat (perbuatan) Nabi ketika mengerjakan shalat. Maka Imam Maliki berpendapat bahwa riwayat dengan perbuatan lebih kuat dari riwayat dengan perkataan.
Imam Maliki memakai pula suatu dalil yang diberi nama "Mashalih-Mursalah" yaitu "kemuslihatan-mutlak". Sebagai contoh dikemukakan, bahwa andaikata orang kafir yang sedang berperang dengan orang Islam meletakkan orang Islam di mukanya sebagai tameng. Kalau ditembak maka yang tertembak pertama adalah orang Islam. Imam Maliki memfatwakan, bahwa dalam keadaan yang seperti itu harus diperhatikan kemuslihatan-mutlak. Yang muslihat adalah ditembak, walaupun tamengnya orang Islam, karena yang dipertimbangkan dalam perang melawan musuh adalah mengalahkan mereka dan ini adalah kemuslihatan mutlak. Kalau tamengnya itu tidak ditembak maka orang kafir akan menang dan celakalah seluruh orang Islam, maka lebih baik mati seorang daripada celaka yang banyak. Itulah yang dinamakan Mashalih-Mursalah. Imam Syafi’i tidak memakai dalil ini.
c. Imam Syafi’i berpendapat bahwa Hadits-hadits diutamakan pengambilannya, baik dibanding dengan "Ra'yi" maupun dibanding dengan "amal perbuatan orang Madinah". Bagi beliau, hanya Hadits, sekali lagi Hadits. Ra'yi atau pendapat, begitu juga amal ahli Madinah tidak laku kalau bertentangan dengan Hadits. Bagi beliau Al-Quran dan Hadits adalah yang utama dan pertama, di mana kalau tidak ada dalam Al-Quran dan Hadits, barulah pindah kepada Qiyas dan Ijma'yang harus bersandar juga kepada Al-Quran dan Hadits. Qiyas dan Ijma' yang tidak bersandar kepada Al-Quran dan Hadits tidak dipakai oleh Imam Syafi’i. Karena itu beliau diberi gelar julukan 'Ahlul Hadits" atau "NashiruI Hadits", yaitu AhIi Hadits atau Penolong Hadits.
Hadits yang dipakai menjadi dasar hukum menurut Madzhab Imam Syafi'i, ialah hadits yang sahih-sahih, bukan yang dha'if. Hadits yang dha'if dipakai juga untuk "fadhailul a'mal", untuk dasar amalan-amalan sunnat, seperti untuk menetapkan dzikir, banyak dzikir, bersedakah, banyak sedekah dan lain-lain. Adapun amal sahabat Nabi yang utama, diterima menjadi dasar hukum kalau Nabi menyuruh ummat Islam mengikuti mereka. Jadi mengikut amal Sahabat Nabi yang utama, berarti pada hakikatnya mengikuti Sunnah Rasul juga. Karenaitu dalam Madzhab Syafi’i adalah sunnat hukumnya shalat tarawih 20 raka'at tiap-tiap malam bulan Ramadhan dengan berjama'ah, karena hal ini diperintahkan oleh Saidina Umar radhiyallahu ‘anhu, Khalifah Nabi yang kedua dan Sahabat Nabi yang utama.
Dan karena itu pula, sunnat hukumnya adzan yang pertama pada shalat Jum'at, karena hal itu diperintahkan oleh Saidina utsman bin Affan, Sahabat Nabi yang utama dan Khalifah Ar Rasyidin. Barangsiapa yang tidak mau menerima hukum Saidina Umar dan Saidina Utsman, orang itu telah menantang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Nabi Muhammad telah menyuruh mengikut Saidina Umar dan Khalifah Rasyidin lainnya, sebagai yang tersebut dalam salah satu Hadits.
d. Imam Hanbali berpendapat, bahwa kalau tidak terdapat hukum sesuatu dalam Quran, maka carilah dalam Hadits Nabi, sekali lagi Hadits Nabi. Andaikata ada pendapat atau perbuatan dari Sahabat Nabi, dari Tabi'in atau dari siapapun yang menentang Hadits, maka pendapat atau amal orang itu tidak dihiraukan, yang dipegang ialah Hadits, demikian Imam Hanbali. Imam Hanbali mengecam pendapat Imam Hanafi yang banyak mempergunakan "pendapat”, juga mengecam pendapat Imam Maliki yang mempergunakan/memakai amalan orang Madinah untuk dasar hukum. Tetapi Imam Hanbali tidak menantang Ijtihad Imam syafi’I. Hanya lmam Hanbali agak keterlaluan, sehingga beliau berpendapat lebih baik memakai Hadits yang dha'if (yang lemah) daripada memakai "pendapat" dalam menetapkan hukum. Asal jangan hadits ‘maudhu' (hadits yang dibuat-buat). Karena Hadits itu, kata beliau, sekalipun dha'if adalah hadits juga, tetapi hanya pemangkunya yang diragukan.
Beliau tidak sependapat dengan Imam Syafi'i yang tidak memakai hadits dha'if sebagai dasar hukum dan hanya memakainya dalam "Fadhailul a'mal". Untuk membulatkan frkiran, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam mengambil hukum terdapat perbedaan-perbedaan sebagai daftar di bawah, yaitu :
a. Sumber Madzhab Hanafi :
1. Al-Quran al Karim.
2. Sunnah Rasul yang sahih-sahih dan masyhur saja.
3. Ijma'sahabat Nabi.
4. Qiyas (pendapat).
5. Istihsan (pendapat).
b. Sumber Madzhab Maliki:
1. Al-Quran al Karim.
2. Sunnah Rasul yang sahih menurut pandangan beliau.
3. .Amalan para Ulama ahli Madinah ketika itu.
4. Qiyas (pendapat).
5. Masalihul-mursalah (kepentingan umum).
c. Sumber Madzhab Syafi’i:
1. Al-Quran al Karim.
2. Hadits yang sahih menurut pandangan beliau (hadits shahih mutawatir, hadits shahih-ahad, shahih masyhur)
3. ljma’ para Mujtahid.
4. Qiyas.
d. Sumber Madzhab Hanbali:
1. Al-Quran al Karim.
2. Ijma’ sahabat Nabi.
3. Hadits, termasuk Hadits Mursal dan Hadits Dhaiif.
4. Qiyas (pendapat).

Ternyata pada daftar ini bahwa ke-empat Madzhab itu memegang Al-Quran dan Hadits sebagai sumber pertama tapi dalam menjalankan ijtihad terjadi perbedaan-perbedaan pendapat. Kami jelaskan lagi dengan gambar di bawah ini :

PERBANDINGAN DALIL-DALIL HUKUM MENURUT MADZHAB YANG EMPAT

1. Madzhab Hanafi.
1. Quran; 2. Hadits ; 3. Ijma’ Sahabat ; 4. Qiyas ; 5. Istihsan
. Madzhab Maliki
1.   Quran ; 2. Hadits ; 3.Ijma Amalan orang Madinah ; 4. Qiyas ;      5. Mashalih Mursalah

3. Imam Syafi’i
1. Quran ; 2. Hadits ; 3. Ijma Imam-imam Mujtahidin; 4. Qiyas.
4. Madzhab Hanbali
1. Quran ; 2. Ijma Sahabat ; 3. Hadits ; 4. Qiyas.
Keterangan Gambar:
1,. Ke-empat Madzhab memakai Quran menjadi dalil utama.
2. Imam Hanafi mendahulukan pemakaian Qiyas (pendapat) dibanding hadits-hadits Uhad dan Masyhur, karena itu lingkungan hadits lebih kecil dari qiyas (pendapat).
3. Imam Maliki, Syafi’i dan Hanbali, hadits lebih utama dari Qiyas.
4. Imam Hanbali memakai juga Hadits Dha’if dan Hadits Mursal, karena itu lingkungan hadits bagi madzhabnya lebih besar dibanding Madzhab tiga lainnya.
5. Yang memakai Istihsan hanya Imam Hanafi.
6. Yang memakai Masalihul Mursalah hanya Imam Maliki.
7. Tentang Ijma' berbeda-beda pendapatnya:
a. Imam Hanafi, memakai Ijma' Sahabat-sahabat Nabi.
b. Imam Maliki memakai Ijma' Orang Madinah.
c. Imam Syafi’i memakai Ijma' Imam-Imam Mujtahid yang ahli.
d. Imam Hanbali memakai Ijma' Sahabat Nabi.
Nah, dengan pendapat yang berbeda-beda ini dapatlah kita ketahui bahwa dalam 4 Madzhab itu muncul hukum-hukum yang berlainan karena asalnya perbedaan prinsip dalam sumber hukum dan cara memakai hadits-hadits itu. Barangsiapa yang membaca Kitab Bidayatut Mujtahid karangan Ibnu Rusydi dan Kitab Fikih menurut Madzhab yang 4 karangan Abdur Rahman aI Jazairi niscaya akan melihat dengan jelas dan terang perbedaan-perbedaan hukum antara Madzhab yang 4 itu, yang ditimbulkan karena perbedaan-perbedaan prinsip. Kalau dibuat daftar hukum-hukum yang berlainan dan antara 4 Madzhab iru barangkali akanpenuh satu buku tebal dengan 1000 halaman lebih.
Kesimpulannya : Terdapat perbedaan besar diantara 4 madzhab. Dan barangsiapa memperhatikan gambar di atas dengan seksama akan ternyatalah baginya "Keagungan Madzhab Syafi’i", walaupun dibanding dengan Madzhab-madzhab yang tiga sekalipun.
Dari gambar ini nampak.
1. Dasar danMadzhab Syafi'i hanya 4 saja,yaitu Quran, Hadits, Ijma'dan Qiyas. Ijma'dan Qiyas pada hakikatnya berpokok kepada Quran dan Hadits. Imam Syafi’i tidak memakai Istihsan, Mashalih Mursalah, yang pada hakikatnya hanyalah "pendapat manusia" belaka.
2. Walaupun dalam gambar ini pemakaian Hadits dalam Madzhab Hanbali lebih besar dibanding dalam Madzhab Syafi’i, tetapi Imam Hanbali memakai Hadits yang dha’if dan Mursal sebagai pokok hukum, sedang Imam Syafi’i hanya memakai Hadits Shahih saja, sedang hadits dha'if hanya dipakai dalam sandaran fadhailul Amal (amal-amal sunnat). Hadits Mursal dalam Madzhab Syafi’i tidak dipakai, kecuali Mursal Said Ibnul Musayyab saja. Dalam hal ini tenang Madzhab Syafi’i lebih agung disbanding dengan Madzhab Hanbali.
3. Dalam pemakaian Ijma' Madzhab Syafi’I hanya memakai Ijma' kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam satu masa). Imam-imam Mujtahid adalah orang-orang ahli, expert, orang pandai-pandai dan pintar-pintar. Kalau Ijma' orang Madinah seperti dalam Madzhab Maliki, atau ljma'sahabat, seperti dalam Madzhab Hanbali, tidak ada jaminan yang kuat untuk meyakinkan kebenarannya, karena diantara orang-orang Madinah atau Sahabat-sahabat pun terdapat bermacam jenis orangnya.
4. Di dalam Madzhab Hanafi, terlalu sedikit memakai hadits. Yang lebih banyak memakai "ra'yun” (ijtihad atau pendapat), kebalikan dari Madzhab Syafi’i yang banyak memakai hadits dan sedikit sekali memakai Qiyas (pendapat). Pendeknya Madzhab Syaf’ii lebih agung, walaupun dibanding dengan Madzhab yang tiga, apalagi kalau dibanding dengan Madzhab -madzhab Syi'ah, Ibnu Taimiyyah, Zhahiriyah, Leits dan lain-lain.
Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa Dunia Islam dari dulu sampai sekarang telah menerima dan mengikuti madzhab-madzhab itu. Tidak seorang pun dari mereka yang membantah. Jadi seolah-olah ijma' (sepakat), yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Dari Mekkah sampai Madinah, sampai Kufah dan Bagdad, terus ke Mesir, Maroko, Spanyol, sampai ke pelosok pelosok Afrika, dan dari timur sampai ke Persi, sampai ke India, ke Thailand, ke Indonesia, ke Philipina dan bahkan sampai ke Amerika, kesemuanya adalah penganut Madzhab. Dus, melarang orang mengikut madzhab adalahbertentangan dengan ijma' dan berlawanan dengan dunia Islam. Di Mesjid Mekkah berabad-abad lamanya didirikan tempat-tempat khusus bagi Imam-imam yang berempat, ada maqam Hanafi, ada maqam Syafi’i, ada maqam Maliki dan ada maqam Hanbali. Setiap maqam itu mempunyai sepihak Ka’bah. Rupanya sudah satu isyarat dari Allah subhanahu wa ta’ala yang menjadikan Ka'bah bersegi empat, sehingga setiap Imam yang berempat mempunyai satu segi. Walaupun sekarang pada zaman pemerintahan Wahabi maqam-maqam itu sudah ditiadakan dengan alasan untuk memperluas tempat thawaf, akan tetapi madzhab-m adzhab itu berjalan terus dan Penguasa-penguasa wahabi menganut Madzhab Hanbali dalam furu’ syariat.
Dalam permulaan fasal ini kami katakan bahwa ada segolongan kecil dalam dunia Islam yang tidak bertanggung jawab, yang berusaha hendak meniadakan Madzhab dan melarang orang bertaqlid kepada Imam-imam. Memang benar, mereka tidak banyak, hanya sebagian kecil. Kalau kita melawat dari Marokko di Magribi, sampai ke Aljazair, Tunisia, Libia, Mesir, Iraq, Turki, Yaman, Pakistan, India, Siam, Pilipina, Tiongkok, kita akan mendapati dan melihat orang-orang Islam di sana bertaqlid kepada Imam-imam dalam furu’ syari'at, ada yang bertaqlid kepada Madzhab Maliki, ada yang kepada Hanafi, ada yang kepada Syafi’I dan Hanbali. Yang tidak bermadzhab hampir tidak ada atau hanya sebagian kecil saja.
Sekolah Tinggi Al Azhar di Kairo Mesir memberikan syarat bagi Mahasiswa baru yang akan masuk belajar disana, agar mereka menganut salah satu Madzhab yang 4. Kalau tidak menganut salah satu diantaranya, ditolak menjadi mahasiswanya. Dengan keterangan-keterangan tersebut jelas dan teranglah bahwa anjuran melarang taqlid dengan segala macam dalil dari orang-orang ANTI MADZHAB adalah tidak bertanggungjawab, karena dengan anjuran itu akan menimbulkan dua factor kerusakan, yaitu :
1. Rakyat tidak dapat menjalankan agamanya dengan baik.

2. Semua orang menjadi "Imam Mujtahid" yang akan merusakkan masyarakat dan menghancurkan sendi-sendi pergaulan dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar