Ada orang yang
mengemukakan dalil-dalil untuk mengharamkan taqlid, tapi dalil-dalil yang
dikemukakannya itu kebanyakan dari ucapan-ucapan Imam Mujtahid itu sendiri,
bukan perkataan Allah dan Rasul. Orang-orang inilah yang dinamakan kaum ANTI
MADZHAB. Tidak dimengerti sikap yang macam ini dari orang-orang yang anti
Madzhab. Ia tidak mengetahui bahwa dengan sendirinya dalam praktek ia telah
langsung bertaqlid kepada Imam-imam Mujtahid, yaitu dengan mengemukakan ucapan
Imam-imam ini untuk menjadi dalil-dalil menguatkan fatwanya.
Kesatu
Dikatakannya ucapan Imam
Hanafi, begini :
قَالَ
الْإِمَامُ أَبُوْحَنَفِيَّةَ : إِنْ كَانَ قَوْلِى يُخَلِفُ كِتَابَ اللهِ
وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ فَتْرُكُوْاقَوْلِى
Artinya : " Berkata Imam Abu Hanifah :
Kalau ada perkataan saya bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka
tinggalkanlah perkataan saya itu".
Kedua
Dikemukakannya ucapan
Imam Malik :
قَالَ
الْإِمَامُ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللهِ: إِنَّمَااَنَابَشَرٌأُخْطِىءُوَأُصِيْبُ
فَانْظُرُوْافِى رَأْيِى, :كُلَّ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ
فَخُذُوْابِهِ وَمَالَمْ
يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ
Artinya : "Berkata
Imam Malik : Saya adalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar.
Perhatikanlah pendapat-pendapna saya. Sekalian yang sesuai dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasul, peganglah. Dan apa yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasul, tinggalkanlah".
Demikianlah dengan
bangga dikemukakan oleh orang-orang yang ANTI MADZHAB.
Ucapan-ucapan Imam Hanafi
dan Imam Maliki ini tidak tepat kalau dikemukakan untuk larangan bertaklid.
Arti ucapan Imam-imam ini biasa saja. Beliau-beliau itu menyatakan bahwa kalau
ada pendapatnya yang berlawanan dengan Quran dan Hadits Nabi maka pendapatnya
itu harus ditinggalkan. Kitabullah dan Sunnah Rasul itu harus dipegang teguh.
Juga seluruh Imam yang berempat mengatakan perkataan yang maksudnya hampir
serupa ini, yaitu : "Kalau ada ijtihad saya yang berlawanan dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah ijtihad saya dan ambillah
Kitabullah dan Sunnah Rasul".
Dalam hal ini kita
bertanya, apakah ada ijtihad Imam-imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang
bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul? Jawabannya adalah Tidak ada
dan tidak mungkin ada, karena :
1. Imam-imam Mujtahid
itu tidak akan berijtihad, tidak akan mengeluarkan pendapatnya kalau dalam satu
masalah yang dihadapinya itu ada nash dari Quran dan Sunnah Rasul. Mereka baru
berijtihad kalau tidak ada nash yang rerang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Ijtihad itu datang sesudah tidak ada nash dari Quran dan hadits. Mereka sepakat
menentukan ukuran :
لاَاجْتِهَادَفِى
النَّاصِّ
Artinya : "Tidak ada ijtihad kalau ada
nash (yang sudah terang)."
Tiap-tiap ijtihad Imam
Mujtahid bersumber kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Itulah sebabnya maka
ijtihad itu dibenarkan dalam agama dan bahkan dianjurkan dan diberi pahala,
walaupun ijtihad itu pada hakikatnya tidak tepat. Di dalam ukuran atau norma
ijtihad pada Madzhab Syafi’i dijelaskan bahwa ijtihad itu mesti bersumber
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul, tidak boleh bersumber kepada akal, karena
agama itu tidak dibina oleh akal, tetapi oleh Allah Yang Maha Menciptakan dan
Maha Menetapkan Ketentuan bagi seluruh makhluknya.
Imam-imam Mujtahid yang
berempat ini terkenal orang-orang yang tha'at kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seluruh umurnya digunakan untuk mentha'ati Allah dan Rasul. Apakah masuk akal
kalau mereka mendurhakai Allah dan Rasul? Tidak masuk akal dan tak mungkin!
Kalau ada orang yang menuduh bahwa Imam-imam Mujtahid membuat hukum Agama
dengan melawan Allah dan Rasul, maka tuduhan itu adalah tuduhan yang keji,
fitnah yang dibuat-buat. Di samping itu ada kemungkinan lain. Imam-imam
Mujtahid ini dengan ucapan-ucapan beliau tersebug menyuruh orang bertaqlid atau
mengikut kepada mereka bukan melarang. Beliau-beliau yakin bahwa ijtihadnya
tidak satupun yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Beliau-beliau menentang: “Cobalah periksa ijtihad saya ini, adakah yang
bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, kalau ada jangan dipakai, tapi
kalau tidak ada pertentangan, pakailah dan pegang teguhlah”.
Ketiga
Ada dalil ketiga yang
dimajukan kaum ANTI MADZHAB :
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ, لاَتُقَلِّدْنِى وَلاَتُقَلِّدْمَلِكًاوَلاَالثَّوْرِيَّ وَلاَالْأَوْزَاعِيَّ
وَخُذُوْامِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا
Artinya : Berkata lmam
Ahmad bin Hanbal, "Jangan
taqlid kepada saya, juga jangan kepada Imam Maliki, juga jangan kepada kepada
lmam As Tsauri, juga jangan kepada Auza'i. Ambillah dari tempat mereka
mengambil".
Inilah dalil yang kuat,
kata orang ANTI MADZHAB.
Kalau benar Imam Hanbali
mengatakan ini maka tujuan perkataan ini pasti ditujukan kepada orang-orang
yang sudah sampai tingkatnya ke tingkat Imam Mujtahid, bukan kepada orang
banyak. Buktinya, Imam Hanbali menyuruh mengambil hukum dari Al Quran dan
Hadits sebagaimana dikerjakan oleh Imam-imam Mujtahid. Hal ini tidak mungkin
dapat dikerjakan oleh orang banyak karena mereka itu banyak sekali yang tidak
tahu arti Quran dan Hadits. Kalau kepada orang yang sudah dalam dan luas
ilmunya memang ucapan Imam Hanbali ini logis, masuk akal. Tetapi kepada orang
umum tidak logis.
Imam Ahmad bin Hanbal
sendiri telah mempraktekkan ucapan beliau ini karena pada mulanya beliau adalah
murid Imam Syafi'i rahimahullah,
tetapi kemudian setelah beliau mempelajari ilmu tafsir, ilmu hadits dan
lain-lain, sudah menghafal ratusan ribu hadits, maka beliau berijtihad
sendiri,lepas dari fatwa Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah, yangtelah
dipelajarinya lebih dahulu.
Keempat
Dikemukakan oleh kaum
ANTI MADZHAB untuk memperkokoh fahamnya yaitu ucapan Imam Syafi'i rahimahullah yang terkenal berbunyi begini :
قَالَ
الْإِمَامُ الشَّفِعِيُّ, إِذَاصَحَّ الْحَدِيْثِ فَهُوَ مَذْهَبِى
Artinya : (Menurut
mereka) Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Apabila hadits itu
shahih maka itulah madzhabku.”
Selanjutnya mereka
memberi keterangan dan komentar lagi, "Nah, lihatlah, Imam Syafi'i sendiri
mengatakan bahwa hadits-hadits yang sahih itu adalah Madzhab beliau, bahwa
itulah pada hakikatnya madzhab beliau. Bukanlah yang tersebut dalam kitab
Minhaj karangan Imam Nawawi, bukan yang tersebut dalam Nihayah karangan
Ramli". Obrolan ini dilanjutkan terus : "Orang-orang sekarang fanatik
kepada kitab-kitab Syafi’i dan Syafi’iyah, mereka meninggalkan hadits, padahal
"induk semangnya" Imam Syafi'i sendiri mengatakan bahwa sekalian
hadits yang sahih adalah madzhabnya." Oleh karena itu, kata mereka
seterusnya : "Janganlah pakai kitab-kitab fiqih yang tidak berdalil,
pakailah kitab-kitab hadits seperti hadits Bukhari, hadits Muslim dan lain-lain
kitab hadits, karena hadits-hadits yang sahih itulah pada hakikatnya yang
madzhab Syafi’i".
Sampai-sampai ada di
antara mereka, yang mengarang buku dengan judul "FIKIH SYAFI'IYAH",
yang pada permulaan halaman dari buku itu ditonjolkan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah tersebut, yaitu : "Idza
Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi". (Apabila hadits itu sahih maka itulah
Madzhab saya). Kalau diteliti buku itu ternyata banyak di dalamnya berisi bukan
fiqih Syafi’i, nama bukunya adalah FIQIH SYAFI'IYAH. Tidak sesuai nama dengan
isi!
Kembali kita pada pokok
pembicaraan, yaitu tentang perkataan Imam Syafi’i rahimahullah "Idza Shahhal Hadits fahuwa
Madzhabi". Marilah kita teliti persoalan ini :
1. Arti yang dikemukakan
oleh kaum ANTI MADZHAB dari ucapan Imam Syafi'i ini adalah tidak benar, karena
Imam Syafi’i rahimahullah tidak pernah berpendapat bahwa
sekalian hadits yang sahih adalah madzhab beliau, karena hadits adalah
perkataan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Quran dan
Hadits adalah sumber hukum. Bagaimana Imam Syafi'i rahimahullah akan berpendapat bahwa hadits-hadits
sahih adalah madzhab beliau, karena yang dikatakan madzhab adalah fatwa fiqih
yang digali dari hadits-hadits sahih bukan hadits-hadits iru sendiri.
2. Orang-orang ANTI
MADZHAB memberikan arti perkataan Imam Syafi’i ini, bahwa sekalian fatwa yang
digali dari hadits yang sahih adalah Madzhab Imam Syafi'i. Bukan hanya
fatwa-fatwa yang termaktub dalam kitab-kitab Umm, kitab Minhaj, kitab Taufah,
kitab Nihayah saja. Demikian keterangan mereka. Keterangan ini juga tidak benar
karena sekalian orang tahu bahwa fatwa Imam-imam yang lain seperti Imam Maliki,
Imam Abu Hanifah berdasarkan hadits-hadits yang sahih juga. Apakah semua
fatwa-fatwa iman Maliki dan Imam Hanafi itu Madzhab Syafi’i ?
Kalau begitu artinya,
maka madzhab-madzhab ini tidak berbatas lagi. Madzhab Maliki menjadi Madzhab
Syafi’i, Madzhab Hanafi meniadi Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanbali menjadi
Madzhab Syafi’i, dan bahkan sekalian madzhab yang ada di atas dunia yang
berdasarkan hadits yang sahih, adalah Madzhab Syafi’i. Kacau balau jadinya,
bukan? Dapatkah difahami, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengucapkan suatu perkataan
yangmengacaukan seluruh persoalan? Tidak mungkin, bukan?
3. Kaum ANTI MADZHAB
menerangkan dengan bersemangat di atas mimbar, bahwa Imam Syafi'i rahimahullah sendiri melarang bertaqlid kepada
beliau. Imam Syafi'i rahimahullah hanya menyuruh orang mengikuti Quran
dan Hadits. Beliau mengatakan: "Idza Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi".
Ini juga pidato yang keliru, pidato yang ditimbulkan oleh emosi yang
meluap-luap yang tidak terkendalikan. Dalam perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini, tidak sedikitpun yang melarang
orang bertaklid kepada beliau dan dalam ucapan ini tidak ada beliau mengatakan:
Ikutlah Quran dan Hadits saja". Dari mana kaum ANTI MADZHAB mengambil
pengertian yang demikian iru? Isapan jempol belaka ! Marilah kita ikuti
penjelasan Imam Nawawi (wafat 676 H.) dalam persoalan ini.
Berkata Imam Nawawi,
seorang ulama Syafi'i terbesar, dalam kitab Syarah Muhadzab pada juz I halaman
64, bunyinya begini :
وَهَذَاالَّذِى
قَالَهُ الشَّفِعِيُّ : لَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّ كُلَّ أَحَدٍ رَأَى
حَدِيْثًاصَحِيْحًا, قَالَ هَذَاوَعَمِلَ بِظَاهِرِهِ
Artinya : "Dan apa yang dikatakan oleh
Imam Syafi'i ini bukanlah artinya bahwa kalau seseorang melihat Hadits yang
sahih lantas ia berkata: "lnilah Madzhab Syafi’i". Sesudah itu
langsung ia amalkan saja menurut penglihatannya secara yang dilihatnya saja".
Demikian lmam Nawawi.
Harus diketahui, bahwa
Imam Syafi'i pernah meninggalkan hadits yang sahih karena beliau berpendapat
bahwa hadits itu, walaupun sahih tetapi sudah dinasekhkan, sudah tidak dipakai
lagi. Hadits itu adalah :
أَفْطَرَالْحَاجِمُ
وَالْمَحْجُوْمُ
Artinya: "Batal puasa yang membekam dan
yang dibekam" (Hadits
sahih riwayat Abu Daud, Nasai dan lbnu Majah).
Hadits ini hadits sahih,
tetapi tidak dipakai oleh Imam Syafi'I rahimahullah karena hadits ini sudah dinasekhkan
dengan hadits lain, yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِحْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ
Artinya : Berkata lbnu Abbas radhiyallahu
‘anhu : " Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam pada
ketika beliau sedang ihram dan sedang puasa".
Jadi tidaklah semua
hadits sahih, menjadi dasar dari Madzhab Syafi'i. Arti yang sebenarnya dari
ucapan Imam Syafi'i rahimahullah ini, ialah pada suatu ketika seorang
sahabat/murid Imam Syafi’i rahimahullah bertanya kepada beliau, manakah yang
dipakai antara kata Qadim dan kata Jadid kalau terjadi perbedaan antara dua
kata itu ? Imam Syafi’i menjawab :"Kata Jadid, karena kata Jadid sudah
menghapus kata Qadim". 'Ya, tetapi alasan kata Qadim itu adalah hadits
yang sahih", kata sahabat beliau. "O, kalau begitu" kata Imam
Syafi’i, apabila sahih hadits itu, maka inilah madzhab saya" .
Norma dan keterangan ini
dipakai oleh sahabat-sahabat Syafi’i rahimahullah seperti Buwaithi, Imam Nawawi dan
lain-lain, di mana kalau ada kedapatan dua fatwa dari Imam Syafi'i rahimahullah dalam satu masalah maka ditinjaulah
haditsnya, ditinjaulah alasannya. Mana yang sahih atau lebih sahih haditsnya
itulah yang ditetapkan menjadi madzhab Imam Syafi’i rahimahullah. Jadi, maksud ucapan ini adalah
sebagai alat koreksi bagi murid-muridnya untuk mentarjihkan salah satu dari dua
perkataan Imam Syafi’i yang berbeda.
Ada kira-kira 20 masalah
yang dipakai kata Qadim,karena dalilnya hadits yang sahih dibanding dengan kata
Jadid. Di antara masalah-masalah itu, adalah :
1,. Sunnah tatswib dalam
adzan subuh.
2. Tidak syarat
menjauhkan diri dari najis yang terapung dalam air yang banyak.
3. Harta perniagaan
dizakatkan.
4. Membaca surat pada
dua raka'at terakhir tidak sunnat.
5. Boleh membersihkan
dengan batu walaupun yang di luar lingkaran pelepasan.
6. Menyentuh wanita yang
tidak boleh dikawini tidak membatalkan wudhu'.
7. Air yang mengalir
kalau berjumpa dengan najis, tidak menjadi najis, kecuali kalau berobah
warnanya.
8. Menyegerakan shalat
Isya lebih baik, walaupun waktunya panjang.
9. Waktu maghrib sampai
kepada hilang syafak.
10. Seseorang yang
sedang shalat boleh menggabungkan dirinya kepada Imam.
11,. Haram makan kulit
bangkai walaupun sudah disamak.
12. Mengeraskan amin
makmun dalam shalat menjahar.
13. Makruh memotong kuku
mayat.
14. Boleh tahalul dari
ihram haji kalau sakit.
15. Nisab zakat
diperhitungkan.
16. Wali mayat membayar
puasa mayat yang tertinggal.
17. Menggaris di muka
tempat shalat kalau di muka tidak ada terletak sesuatu barang.
18. Dan lain-lain.
Inilah masalah-masalah
yang dipakai "Qaul Qadim", karena hadits-hadits yang menjadi dasar
dari fatwa ini lebih sahih dibanding dengan hadits-hadits yang menjadi dalil
kata "jadid" Itulah maksud dari ucapan beliau itu.
Tidak ada seorang juga
di antara Ulama-ulama Syafi'iyah semenjak dahulu sampai sekarang yang
berpendapat bahwa sekalian hadits yang sahih adalah Madzhab Syafi’i. Yang
ditetapkan menjadi Madzhab Syafi’i hanyalah yang difatwakan beliau atau
difatwakan oleh murid beliau dengan memperhatikan norma-norma dan ukuran-ukuran
yang diberikan oleh Imam Syafi'i . Lain dari itu tidak. Selain dari itu
dalam Kitab al Majmu', diterangkan juga oleh Imam Nawawi, begini:
Artinya : "Dari Imam Syafi’i
rahimahullah, beliau berkata : Apabila kamu berjumpa dalam kitabku yang
berlawanan dengan Sunnah Rasul maka tinggalkanlah kitabku itu, dan berfatwalah
apa yang sesuai dengan Sunnah Rasul. Dan pula diriwayatkan dari Imam Syafi’i
juga, beliau berkata : Apabila ada hadits yang sahih yang maksudnya
bertentangan dengan fatwaku maka beramallah engkau dengan dasar hadits itu dan
tinggalkanlah perkataanku, atau satu kali beliau berkata: "itulah
madzhabku" (Al Majmu'
Syarah aI Muhadzab juz l, halaman 63).
Dari keterangan yang
diberikan Imam Nawawi ini makin jelas apa yang dimaksudkan dengan perkataan
"ldza Shahhal Hadits fahuwa madzhabi" tadi, yaitu bahwa Imam-imam
Mujtahid meminta kepada umum, atau katakanlah menantang kepada orang banyak,
supaya memperhatikan sedalam-dalamnya madzhab beliau, bahwa kalau kebenaran
terdapat ada diantara fatwa mereka yang bertentangan dengan hadits yang sahih
maka tinggalkanlah fatwa mereka dan berpendapatlah dengan apa yang sesuai
dengan hadits-hadits yang sahih.
Dapat diambil kesimpulan
bahwa ucapan Imam Syafi’i rahimahullah : "Idza Shahhal Hadits fahuwa
Madzhabi,, bukanlah maksudnya untuk melarang ummat Islam mengikut atau
bertaqlid kepada beliau, sebagai yang digembat-gemborkan oleh kaum Anti Madzhab
dimana-mana.
Kelima
Dalil ke 5 yang
dikemukakan oleh orang Anti Madzhab adalah ucapan Imam Syafi’i rahimahullah juga. Imam Syafi’i pernah berkata
begini, kata mereka:
قَالَ
الْإِمَامُ الشَّفِعِيُّ مَثَلُ
الَّذِى يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبٍ لَيْلٍ يَحْمِلُ
حُزْمَةً وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَيَدْرُهُ
Artinya : "Berkata lmam Syafi’i :
perumpamaan orang yang mencari ilmu pengetahuan tanpa mempunyai hujjah
(maksudnya ilmu tanpa dalil), sama dengan orang mencari kayu di malam hari. Ia
pikul kayunya itu, kadang-kadang ia tidak tahu bahwa di dalamnya ada ular yang
akan mematuknya". Inilah
dalilnya, kata mereka.
Ucapan Imam Syafi’i rahimahullah yang ini, juga tidak tepat kalau
dipakai menjadi dalil untuk melarang bertaqlid atau mengikuti Imam Mujtahid,
karena Imam Syafi'i rahimahullah hanya mengatakan dalam ucapan ini bahwa
orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan dalil-dalil dari ilmu
pengetahuan itu adalah berbahaya, sama dengan orang yang memikul kayu di malam
hari, yang kadang-kadang bisa terpikul ular di dalamnya. Memang, memang begitu,
banyak bahayanya".
Ini adalah perhitungan
Imam Syafi'i rahimahullah dalam rangka menganjurkan orang
menuntut ilmu Hadits dan Quran. Bukanlah beliau melarang orang mengikut
kepadanya. Ya, mungkin seluruh Imam-imam berkata seperti ini tetapi
ucapan-ucapan yang seperti ini adalah dalam rangka mencegah supaya orang jangan
mencukupkan saja bertaqlid kepada beliau masing-masing, tapi harus mencari ilmu
banyak-banyak, harus menjalani pula hendaknya bagaimana jalan yang mereka
lalui. Bukanlah beliau-beliau itu melarang orang mengikuti madzhabnya.
Kalau Imam-imam ini
melarang orang mengikuti madzhabnya, apakah gunanya beliau-beliau ini
berijtihad, apa gunanya beliau-beliau itu mengarang buku, apa gunanya
beliau-beliau itu mengaiar dan apakah gunanya beliau-beliau itu bersusah payah
? Kalau maksudnya ucapan-ucapan Imam tadi melarang bertaqlid kepadanya, kenapa
murid-murid beliau bertekun mengembangkan ilmu dan fatwa guru-gurunya, seperti
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan murid-murid Imam Abu Hanifah dan
murid-murid Imam Syafi'i rahimahullah seperti Imam ar Rabi' bin Sulaiman al
Muradi, Imam Abu Ya'kub al Buwaithi dan kenapakah ada murid-murid Imam Syafi'i rahimahullah ulama-ulama besar seperti Imam al
Ghazali, Imam Suyuthi, Imam Nawawi, Imam lbnu Hajar, Imam Ramli, dan semuanya
alim-alim besar, tetap bertaklid kepada Imam Syafi’i rahimahullah. Ah! Tidak benar keterangan orang
yang anti madzhab ini!!
Anehnya, sebagai yang
kami katakan di atas, kaum anti madzhab ini mengemukakan dalil dari
ucapan-ucapan lmam Mujtahid, bukan dari perkataan Allah dan Rasul. Mereka
melarang orang bertaqlid, tetapi dalam prakteknya mereka juga mengerjakan
taqlid itu. Bahkan ada yang lebih berani dari itu yang memajukan dan
mengemukakan dalil-dalil Al Quran untuk melarang orang bertaqlid kepada Imam.
Keenam
Allah berfirman, kata
mereka :
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا
حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ
آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya : " Apabila dikatakan kepada mereka:
"Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul".
Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak
kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang
mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak
(pula) mendapat petunjuk?. (QS
Al Maidah : 104).
Dan pada surat yang lain
ada pula ayat yang seperti ini maksudnya yaitu dalam Surat Al Baqarah ayat 170,
bunyinya begini :
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا
عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya : " Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?" (QS
AI Baqarah : 170)
Dan dikemukakan pula
dalil ayat suci, begini:
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَـٰهًا وَاحِدًا ۖ لَّا
إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ
عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya : " Mereka menjadikan orang-orang alimnya,
dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka
mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At
Taubah : 31).
Dalam mengartikan ayat
ini dikemukakan bahwa pendeta-pendeta itu bukan disembah seperti tuhan, tetapi
dituruti saja perkataan yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang
haram. Itu berarti sudah menjadikannya menjadi Tuhan. Maka dapat diambil
kesimpulan bahwa kaum ANTI MADZHAB yang mengemukakan dalil-dalil ayat Quran ini
untuk melarang taqlid kepada Imam, menganggap bahwa 1. Mengikut Imam Mujtahid
iru sama dengan orang kafir yang mengikut bapaknya yang bodoh-bodoh dalam
menyembah berhala.
2. Imam Mujtahid itu
orang bodoh-bodoh yang tidak dapat petunjuk sedikit pun dari Tuhan.
3. Imam Mujtahid itu
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
4. Pengikut Imam
Mujtahid adalah orang-orang yang menjadikan gurunya menjadi Tuhan.
La hawla wala quwwata
illa billah! Ini betul-betul terlalu !
Ayat dalam Surat Al
Maidah 104 dan Surat Al Baqarah 107 itu adalah ayat-ayat yang diturunkan untuk
menyatakan hal ihwal orang kafir yang ikut-ikutan saja kepada bapak mereka
dalam menyembah berhala. Ini diterangkan oleh Allah dalam surat AtTaubah 31, di
mana dinyatakan bahwa mereka mengambil pendeta-pendetanya dan padri-padrinya
dan Isa bin Maryam menjadi Tuhan selain Allah. Ayat ini tidak tepat dipakai
untuk orang Islam yang mengikut Imam Mujtahid, karena :
1. Imam Mujtahid bukan
mendakwakan dirinya Tuhan.
2. Imam-imam Mujtahid
bukanlah orang-orang yang tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula orang-orang
yang tidak menurut jalan kebenaran.
3. Imam Mujtahid
bukanlah orang-orang yang tidak berakal dengan tidak dapat menimbang buruk dan
baik.
4. Pengikut Imam
Mujtahid bukanlah orang-orang yang menyembah guru atau menyembah Imam, tetapi
hanya menghormati Imam dan mengikutinya.
Jadi tegasnya ayat-ayat
ini tidaklah boleh dan tidak tepat dipakai untuk dijadikan dalil melarang ummat
Islam mengikut Madzhab-madzhab
Ketujuh
Ada lagi orang yang
mengemukakan dalil untuk melarang taqlid/mengikut Imam, yaitu ayat Al-Quran
Surat Isra, ayat 36, begini :
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya : (Menurut
pengertian orang-orangyang Anti Madzhab) : "Dan janganlah kamu menuruti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.". (QS AI Isra' : 36).
Inilah dalil mereka, di
mana mereka mentafsirkan ayat ini semaunya saja. Kalau kita buka Tafsir yang
mu’tabar (yang kenamaan), umpamanya Tafsir Ibnu Katsir, kita akan jumpai dalam
halaman 38 juz 3 begini artinya ayat ini :
1. Sahabat Nabi Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu mentafsirkan : ”Jangan engkau
katakan apa yang engkau tidak tahu”.
2. Berkata Al 'Ufi :
"Jangan engkau tuduh seseorang dengan apa yang engkau tidak tahu".
3. Berkata Muhammad Ibnu
Hanafiah: ”Jangan engkau menjadi saksi palsu karena pendengaran, penglihatan
dan hati semuanya akan ditanya"
4. Berkata Qutadah :
"Jangan engkau katakan saya melihat tetapi engkau tak melihat, saya dengar
sedang engkau tidak mendengar, saya tahu sedang engkau tidak mengetahui, karena
pendengaran, penglihatan dan hati akan ditanya di akhirat nanti".
Demikianlah tafsiran
ahli-ahli tafsir dalam ayat ini, tidak seorangpun diantara mereka yang
menafsirkan, " Janganlah kamu menuruti apa yang engkau tidak tahu",
sebagaimana tafsiran orang-orang Anti Madzhab. Kesimpulannya dapat dikatakan
bahwa ayat ini bukanlah untuk melarang mengikuti Imam, tetapi untuk melarang
menjadi saksi palsu, menyaksikan sesuatu yang tidak diketahui.
Kedelapan
Banyak dalil yang
dikemukakan oleh kaum ANTI MADZHAB adalah omongan belaka.
- Mereka mengomongkan
bahwa orang yang taqlid atau kaum yang taqlid itu akan jadi mundur, mati
semangat, jumud, beku, tak berkemajuan, dipermainkan orang saja, dijajah saja,
sudah mati sebelum mati dan lain-lain omongan yang sifatnya penghinaan kepada
orang-orang bermadzhab. Kita banyak membaca omongan ini dalam karangan
buku-buku mereka, dan mendengar dalam pidato-pidato dan tabligh-tabligh mereka.
Omongan ini benar-benar menyinggung dan menusuk perasaan serta menghina
terhadap orang-orang yang bermadzhab. Biasanya omongan ini keluar dari
orang-orang pemuja dan pemuji lbnu Taimiyah, pengikut lbnul Qayyim al Jauziah,
pemuja Muhammad Abduh dan Rasyid Redha, orang yang fanatik kepada Majalah Al
Manar dan AI Munir dan bahkan memuja Manfaluthi dan mengikut Madzhab Wahabi. Heran
dan ta'jublah kita melihat pendirian orang-orang ini.
Mereka melarang mengikut
Imam syafi'i rahimahullah tetapi mereka taqlid buta kepada
lbnuTaimiyah. Mereka tidak suka kepada Ibnu Hajar al-Haitami tetapi mereka taqlid kepada
Muhammad as Syaukani. Mereka melarang orang lain mempelajari Taufah dan
Hinayah, sedang mereka membaca siang malam AI Manar dan AI Munir. Mereka
melarang orang taqlid kepada Imam-imam kaum Muslimin, tetapi mereka taqlid
kepada Danton dan plato. Mereka melarang orangmenganut faham Syafi’i, tapi mereka menganjurkan orang untuk menganut faham Marx. La
haula wala quwwata illa billah !
Kenyataannya dilihat
dari dahulu sampai sekarang, omongan-omongan mereka yang tersebut di atas tidak
terbukti sama sekali. Lihatlah Imam Bukhari yang taqlid kepada Imam Syafi’i rahimahullah, apakah beliau itu
beku atau jumud? Tidak. Lihatlah Imam Ghazali yang taqlid kepada Imam Syafi’i,
apakah beliau itu termasuk orang bodoh? Tidak. Lihadah Sulthan Salahuddin al
Ayyubi, apakah ia dijajah dan dipermainkan saja ? Lihatlah pangeran Diponegoro
yang taqlid kepada Imam Syafi’i rahimahullah apakah beliau seorang yang mundur?
Apakah Syarif Hidayatullah pembangun Kerajaan Banten dan pembebas Sunda Kelapa
termasuk otang-orang yang tidak berkemajuan karena beliau menganut madzhab
Syafi'i? Tidak.
Adalah satu fakta bahwa
di antara 15 orang Menteri Agama Republik Indonesia sedari Proklamasi sampai
sekarang, hanyalah 2 orang yang diragukan Madzhab Syafi'inya. Yang lainnya
terang-terangan adalah penganut Madzhab Syafi’i rahimahullah. Apakah
beliau-beliau itu orang-orang jumud, orang-orang beku, orang-orang yang tidak
berkemajuan sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang ANTI MADZHAB? Salah
seorang Menteri Agama menyatakan terus terang dalam rapat pleno Kongres PERTI
ke X bulan Pebruari 1965 bahwa beliau adalah penganut Madzhab Syafi'i rahimahullah. Ini adalah
kenyataan, bukan omongan doing. Dalam hal ini kita dapat memberikan kesimpulan
bahwa semua dalil yang dipergunakan oleh kaum ANTI MADZHAB ini meleset tidak
tepat untuk dipakai "larangan" bertaqlid atau untuk dipukulkan kepada
orang-orang yang bermadzhab.
Untuk menutup bahagian
ini rasanya ada baiknya juga kalau kami kemukakan, bahwa ada juga segolongan
kecil diantara orang-orang yang ANTI MADZHAB ini, membedakan antara taqlid
(mengikut) dan ittiba' (mengikut). Mereka berkata, bahwa arti taqlid adalah
mengikut orang lain tanpa diketahui dalil-dalilnya (ini terlarang) dan ittiba'
mengikut orang lain dengan mengetahui dalil-dalilnya (ini boleh). Kalau begitu
perlu kita bertanya :
1. Dari mana diambilnya
arti taqlid dan ittiba'yang begitu ?
2. Apakah ada Allah dan
Rasul mengatakan begitu ?
3. Apakah kedua-duanya
tidak sama-sama berarti mengikut atau taqlid kepada Mujtahid ? Kalau sama,
kenapa dibeda-bedakan hukumnya ?
Dilihat dalam kamus,
“tabi’a” artinya adalah ..mengikut/berjalan di belakang. Lihat Munjid halaman
56 - Al Mu’tamad halaman 58 -Qamus al Munjib juz 3 halaman g, Adz Dzahabi
halaman 46). Tidak ada sebuah Kamus pun yang mengatakan arti “ittiba”, itu
“mengikut orang lain dengan mengetahui dalilnya”. Dan perkataan ittiba' di
dalam Al-Quran dipakai untuk segala macam, ada yang dipakai untuk hal yang
baik, ada untuk hal yang buruk.
Untuk hal yang baik :
a. Ikutlah Agama Ibrahim
(QS an Nisa' : 125).
b. Ikutlah apa yang
diwahyukan kepadamu ......... (QS al Ahzab : 2).
c. Ikutlah saya, Tuhan
akan mengasihimu (QS Ali Imran : 31).
d. Ikutlah jalan orang
yang kembali kepada-Ku... (QS Luqman : 15).
e. Dan banyak lagi yang
lain.
Untuk hal yang buruk :
a. Maka mengikut akan
dia Syeitan .. (QS al A’raf : 174).
b. Maka mengikut akan
mereka Fir’aun (QS Thaha : 78).
c. Jangan diikuti jalan
orang berbuat binasa ....... (QS al A’raf : 142).
d. Jangan diikuti hawa
nafsu………….(QS Shad : 26)
c. Dan banyak lagi yang
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar