Sabtu, 04 Juni 2011

9. Dalil-dalil Kaum Anti Madzhab

Ada orang yang mengemukakan dalil-dalil untuk mengharamkan taqlid, tapi dalil-dalil yang dikemukakannya itu kebanyakan dari ucapan-ucapan Imam Mujtahid itu sendiri, bukan perkataan Allah dan Rasul. Orang-orang inilah yang dinamakan kaum ANTI MADZHAB. Tidak dimengerti sikap yang macam ini dari orang-orang yang anti Madzhab. Ia tidak mengetahui bahwa dengan sendirinya dalam praktek ia telah langsung bertaqlid kepada Imam-imam Mujtahid, yaitu dengan mengemukakan ucapan Imam-imam ini untuk menjadi dalil-dalil menguatkan fatwanya.
Kesatu
Dikatakannya ucapan Imam Hanafi, begini :
قَالَ الْإِمَامُ أَبُوْحَنَفِيَّةَ : إِنْ كَانَ قَوْلِى يُخَلِفُ كِتَابَ اللهِ وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ فَتْرُكُوْاقَوْلِى
Artinya : " Berkata Imam Abu Hanifah : Kalau ada perkataan saya bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya itu".
Kedua
Dikemukakannya ucapan Imam Malik :
قَالَ الْإِمَامُ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللهِ: إِنَّمَااَنَابَشَرٌأُخْطِىءُوَأُصِيْبُ فَانْظُرُوْافِى رَأْيِى, :كُلَّ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْابِهِ وَمَالَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ
Artinya : "Berkata Imam Malik : Saya  adalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar. Perhatikanlah pendapat-pendapna saya. Sekalian yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, peganglah. Dan apa yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, tinggalkanlah".
Demikianlah dengan bangga dikemukakan oleh orang-orang yang ANTI MADZHAB.
Ucapan-ucapan Imam Hanafi dan Imam Maliki ini tidak tepat kalau dikemukakan untuk larangan bertaklid. Arti ucapan Imam-imam ini biasa saja. Beliau-beliau itu menyatakan bahwa kalau ada pendapatnya yang berlawanan dengan Quran dan Hadits Nabi maka pendapatnya itu harus ditinggalkan. Kitabullah dan Sunnah Rasul itu harus dipegang teguh. Juga seluruh Imam yang berempat mengatakan perkataan yang maksudnya hampir serupa ini, yaitu : "Kalau ada ijtihad saya yang berlawanan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah ijtihad saya dan ambillah Kitabullah dan Sunnah Rasul".
Dalam hal ini kita bertanya, apakah ada ijtihad Imam-imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul? Jawabannya adalah Tidak ada dan tidak mungkin ada, karena :
1. Imam-imam Mujtahid itu tidak akan berijtihad, tidak akan mengeluarkan pendapatnya kalau dalam satu masalah yang dihadapinya itu ada nash dari Quran dan Sunnah Rasul. Mereka baru berijtihad kalau tidak ada nash yang rerang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Ijtihad itu datang sesudah tidak ada nash dari Quran dan hadits. Mereka sepakat menentukan ukuran :
لاَاجْتِهَادَفِى النَّاصِّ
Artinya : "Tidak ada ijtihad kalau ada nash (yang sudah terang)."
Tiap-tiap ijtihad Imam Mujtahid bersumber kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Itulah sebabnya maka ijtihad itu dibenarkan dalam agama dan bahkan dianjurkan dan diberi pahala, walaupun ijtihad itu pada hakikatnya tidak tepat. Di dalam ukuran atau norma ijtihad pada Madzhab Syafi’i dijelaskan bahwa ijtihad itu mesti bersumber kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul, tidak boleh bersumber kepada akal, karena agama itu tidak dibina oleh akal, tetapi oleh Allah Yang Maha Menciptakan dan Maha Menetapkan Ketentuan bagi seluruh makhluknya.
Imam-imam Mujtahid yang berempat ini terkenal orang-orang yang tha'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh umurnya digunakan untuk mentha'ati Allah dan Rasul. Apakah masuk akal kalau mereka mendurhakai Allah dan Rasul? Tidak masuk akal dan tak mungkin! Kalau ada orang yang menuduh bahwa Imam-imam Mujtahid membuat hukum Agama dengan melawan Allah dan Rasul, maka tuduhan itu adalah tuduhan yang keji, fitnah yang dibuat-buat. Di samping itu ada kemungkinan lain. Imam-imam Mujtahid ini dengan ucapan-ucapan beliau tersebug menyuruh orang bertaqlid atau mengikut kepada mereka bukan melarang. Beliau-beliau yakin bahwa ijtihadnya tidak satupun yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Beliau-beliau menentang: “Cobalah periksa ijtihad saya ini, adakah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, kalau ada jangan dipakai, tapi kalau tidak ada pertentangan, pakailah dan pegang teguhlah”.
Ketiga
Ada dalil ketiga yang dimajukan kaum ANTI MADZHAB :
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ, لاَتُقَلِّدْنِى وَلاَتُقَلِّدْمَلِكًاوَلاَالثَّوْرِيَّ وَلاَالْأَوْزَاعِيَّ وَخُذُوْامِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا
Artinya : Berkata lmam Ahmad bin Hanbal, "Jangan taqlid kepada saya, juga jangan kepada Imam Maliki, juga jangan kepada kepada lmam As Tsauri, juga jangan kepada Auza'i. Ambillah dari tempat mereka mengambil".
Inilah dalil yang kuat, kata orang ANTI MADZHAB.
Kalau benar Imam Hanbali mengatakan ini maka tujuan perkataan ini pasti ditujukan kepada orang-orang yang sudah sampai tingkatnya ke tingkat Imam Mujtahid, bukan kepada orang banyak. Buktinya, Imam Hanbali menyuruh mengambil hukum dari Al Quran dan Hadits sebagaimana dikerjakan oleh Imam-imam Mujtahid. Hal ini tidak mungkin dapat dikerjakan oleh orang banyak karena mereka itu banyak sekali yang tidak tahu arti Quran dan Hadits. Kalau kepada orang yang sudah dalam dan luas ilmunya memang ucapan Imam Hanbali ini logis, masuk akal. Tetapi kepada orang umum tidak logis.
Imam Ahmad bin Hanbal sendiri telah mempraktekkan ucapan beliau ini karena pada mulanya beliau adalah murid Imam Syafi'i rahimahullah, tetapi kemudian setelah beliau mempelajari ilmu tafsir, ilmu hadits dan lain-lain, sudah menghafal ratusan ribu hadits, maka beliau berijtihad sendiri,lepas dari fatwa Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah, yangtelah dipelajarinya lebih dahulu.
Keempat
Dikemukakan oleh kaum ANTI MADZHAB untuk memperkokoh fahamnya yaitu ucapan Imam Syafi'i rahimahullah yang terkenal berbunyi begini :
قَالَ الْإِمَامُ الشَّفِعِيُّ, إِذَاصَحَّ الْحَدِيْثِ فَهُوَ مَذْهَبِى
Artinya : (Menurut mereka) Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Apabila hadits itu shahih maka itulah madzhabku.”
Selanjutnya mereka memberi keterangan dan komentar lagi, "Nah, lihatlah, Imam Syafi'i sendiri mengatakan bahwa hadits-hadits yang sahih itu adalah Madzhab beliau, bahwa itulah pada hakikatnya madzhab beliau. Bukanlah yang tersebut dalam kitab Minhaj karangan Imam Nawawi, bukan yang tersebut dalam Nihayah karangan Ramli". Obrolan ini dilanjutkan terus : "Orang-orang sekarang fanatik kepada kitab-kitab Syafi’i dan Syafi’iyah, mereka meninggalkan hadits, padahal "induk semangnya" Imam Syafi'i sendiri mengatakan bahwa sekalian hadits yang sahih adalah madzhabnya." Oleh karena itu, kata mereka seterusnya : "Janganlah pakai kitab-kitab fiqih yang tidak berdalil, pakailah kitab-kitab hadits seperti hadits Bukhari, hadits Muslim dan lain-lain kitab hadits, karena hadits-hadits yang sahih itulah pada hakikatnya yang madzhab Syafi’i".
Sampai-sampai ada di antara mereka, yang mengarang buku dengan judul "FIKIH SYAFI'IYAH", yang pada permulaan halaman dari buku itu ditonjolkan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah tersebut, yaitu : "Idza Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi". (Apabila hadits itu sahih maka itulah Madzhab saya). Kalau diteliti buku itu ternyata banyak di dalamnya berisi bukan fiqih Syafi’i, nama bukunya adalah FIQIH SYAFI'IYAH. Tidak sesuai nama dengan isi!
Kembali kita pada pokok pembicaraan, yaitu tentang perkataan Imam Syafi’i rahimahullah "Idza Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi". Marilah kita teliti persoalan ini :
1. Arti yang dikemukakan oleh kaum ANTI MADZHAB dari ucapan Imam Syafi'i ini adalah tidak benar, karena Imam Syafi’i rahimahullah tidak pernah berpendapat bahwa sekalian hadits yang sahih adalah madzhab beliau, karena hadits adalah perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Quran dan Hadits adalah sumber hukum. Bagaimana Imam Syafi'i rahimahullah akan berpendapat bahwa hadits-hadits sahih adalah madzhab beliau, karena yang dikatakan madzhab adalah fatwa fiqih yang digali dari hadits-hadits sahih bukan hadits-hadits iru sendiri.
2. Orang-orang ANTI MADZHAB memberikan arti perkataan Imam Syafi’i ini, bahwa sekalian fatwa yang digali dari hadits yang sahih adalah Madzhab Imam Syafi'i. Bukan hanya fatwa-fatwa yang termaktub dalam kitab-kitab Umm, kitab Minhaj, kitab Taufah, kitab Nihayah saja. Demikian keterangan mereka. Keterangan ini juga tidak benar karena sekalian orang tahu bahwa fatwa Imam-imam yang lain seperti Imam Maliki, Imam Abu Hanifah berdasarkan hadits-hadits yang sahih juga. Apakah semua fatwa-fatwa iman Maliki dan Imam Hanafi itu Madzhab Syafi’i ?
Kalau begitu artinya, maka madzhab-madzhab ini tidak berbatas lagi. Madzhab Maliki menjadi Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi meniadi Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanbali menjadi Madzhab Syafi’i, dan bahkan sekalian madzhab yang ada di atas dunia yang berdasarkan hadits yang sahih, adalah Madzhab Syafi’i. Kacau balau jadinya, bukan? Dapatkah difahami, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengucapkan suatu perkataan yangmengacaukan seluruh persoalan? Tidak mungkin, bukan?
3. Kaum ANTI MADZHAB menerangkan dengan bersemangat di atas mimbar, bahwa Imam Syafi'i rahimahullah sendiri melarang bertaqlid kepada beliau. Imam Syafi'i rahimahullah hanya menyuruh orang mengikuti Quran dan Hadits. Beliau mengatakan: "Idza Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi". Ini juga pidato yang keliru, pidato yang ditimbulkan oleh emosi yang meluap-luap yang tidak terkendalikan. Dalam perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini, tidak sedikitpun yang melarang orang bertaklid kepada beliau dan dalam ucapan ini tidak ada beliau mengatakan: Ikutlah Quran dan Hadits saja". Dari mana kaum ANTI MADZHAB mengambil pengertian yang demikian iru? Isapan jempol belaka ! Marilah kita ikuti penjelasan Imam Nawawi (wafat 676 H.) dalam persoalan ini.
Berkata Imam Nawawi, seorang ulama Syafi'i terbesar, dalam kitab Syarah Muhadzab pada juz I halaman 64, bunyinya begini :
وَهَذَاالَّذِى قَالَهُ الشَّفِعِيُّ : لَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّ كُلَّ أَحَدٍ رَأَى حَدِيْثًاصَحِيْحًا, قَالَ هَذَاوَعَمِلَ بِظَاهِرِهِ
Artinya : "Dan apa yang dikatakan oleh Imam Syafi'i ini bukanlah artinya bahwa kalau seseorang melihat Hadits yang sahih lantas ia berkata: "lnilah Madzhab Syafi’i". Sesudah itu langsung ia amalkan saja menurut penglihatannya secara yang dilihatnya saja". Demikian lmam Nawawi.
Harus diketahui, bahwa Imam Syafi'i pernah meninggalkan hadits yang sahih karena beliau berpendapat bahwa hadits itu, walaupun sahih tetapi sudah dinasekhkan, sudah tidak dipakai lagi. Hadits itu adalah :
أَفْطَرَالْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
Artinya: "Batal puasa yang membekam dan yang dibekam" (Hadits sahih riwayat Abu Daud, Nasai dan lbnu Majah).
Hadits ini hadits sahih, tetapi tidak dipakai oleh Imam Syafi'I rahimahullah karena hadits ini sudah dinasekhkan dengan hadits lain, yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِحْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ
Artinya : Berkata lbnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : " Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam pada ketika beliau sedang ihram dan sedang puasa".
Jadi tidaklah semua hadits sahih, menjadi dasar dari Madzhab Syafi'i. Arti yang sebenarnya dari ucapan Imam Syafi'i rahimahullah ini, ialah pada suatu ketika seorang sahabat/murid Imam Syafi’i rahimahullah bertanya kepada beliau, manakah yang dipakai antara kata Qadim dan kata Jadid kalau terjadi perbedaan antara dua kata itu ? Imam Syafi’i menjawab :"Kata Jadid, karena kata Jadid sudah menghapus kata Qadim". 'Ya, tetapi alasan kata Qadim itu adalah hadits yang sahih", kata sahabat beliau. "O, kalau begitu" kata Imam Syafi’i, apabila sahih hadits itu, maka inilah madzhab saya" .
Norma dan keterangan ini dipakai oleh sahabat-sahabat Syafi’i rahimahullah seperti Buwaithi, Imam Nawawi dan lain-lain, di mana kalau ada kedapatan dua fatwa dari Imam Syafi'i rahimahullah dalam satu masalah maka ditinjaulah haditsnya, ditinjaulah alasannya. Mana yang sahih atau lebih sahih haditsnya itulah yang ditetapkan menjadi madzhab Imam Syafi’i rahimahullah. Jadi, maksud ucapan ini adalah sebagai alat koreksi bagi murid-muridnya untuk mentarjihkan salah satu dari dua perkataan Imam Syafi’i yang berbeda.
Ada kira-kira 20 masalah yang dipakai kata Qadim,karena dalilnya hadits yang sahih dibanding dengan kata Jadid. Di antara masalah-masalah itu, adalah :
1,. Sunnah tatswib dalam adzan subuh.
2. Tidak syarat menjauhkan diri dari najis yang terapung dalam air yang banyak.
3. Harta perniagaan dizakatkan.
4. Membaca surat pada dua raka'at terakhir tidak sunnat.
5. Boleh membersihkan dengan batu walaupun yang di luar lingkaran pelepasan.
6. Menyentuh wanita yang tidak boleh dikawini tidak membatalkan wudhu'.
7. Air yang mengalir kalau berjumpa dengan najis, tidak menjadi najis, kecuali kalau berobah warnanya.
8. Menyegerakan shalat Isya lebih baik, walaupun waktunya panjang.
9. Waktu maghrib sampai kepada hilang syafak.
10. Seseorang yang sedang shalat boleh menggabungkan dirinya kepada Imam.
11,. Haram makan kulit bangkai walaupun sudah disamak.
12. Mengeraskan amin makmun dalam shalat menjahar.
13. Makruh memotong kuku mayat.
14. Boleh tahalul dari ihram haji kalau sakit.
15. Nisab zakat diperhitungkan.
16. Wali mayat membayar puasa mayat yang tertinggal.
17. Menggaris di muka tempat shalat kalau di muka tidak ada terletak sesuatu barang.
18. Dan lain-lain.
Inilah masalah-masalah yang dipakai "Qaul Qadim", karena hadits-hadits yang menjadi dasar dari fatwa ini lebih sahih dibanding dengan hadits-hadits yang menjadi dalil kata "jadid" Itulah maksud dari ucapan beliau itu.
Tidak ada seorang juga di antara Ulama-ulama Syafi'iyah semenjak dahulu sampai sekarang yang berpendapat bahwa sekalian hadits yang sahih adalah Madzhab Syafi’i. Yang ditetapkan menjadi Madzhab Syafi’i hanyalah yang difatwakan beliau atau difatwakan oleh murid beliau dengan memperhatikan norma-norma dan ukuran-ukuran yang diberikan oleh Imam Syafi'i . Lain dari itu tidak. Selain dari itu dalam Kitab al Majmu', diterangkan juga oleh Imam Nawawi, begini:

 عَنِ الْإِمَامِ الشَّفِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّهُ قَالَ : إِذَاوَجَدْتُمْ فِى كِتَابِى خِلاَفَ سُنَّةَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَوْلُوْاسُنَّةِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوْاقَوْلِى. وَرُوِيَ عَنْهُ إِذَاصَحَّ الْحِدِيْثُ خِلاَفَ قَوْلِى فَاعْمَلُوْابِالْحَدِيْثِ وَاتْرُكُوْاقَوْلِى أَوْ قَالَ فَهُوَ مَذْهَبِى
Artinya : "Dari Imam Syafi’i rahimahullah, beliau berkata : Apabila kamu berjumpa dalam kitabku yang berlawanan dengan Sunnah Rasul maka tinggalkanlah kitabku itu, dan berfatwalah apa yang sesuai dengan Sunnah Rasul. Dan pula diriwayatkan dari Imam Syafi’i juga, beliau berkata : Apabila ada hadits yang sahih yang maksudnya bertentangan dengan fatwaku maka beramallah engkau dengan dasar hadits itu dan tinggalkanlah perkataanku, atau satu kali beliau berkata: "itulah madzhabku" (Al Majmu' Syarah aI Muhadzab juz l, halaman 63).
Dari keterangan yang diberikan Imam Nawawi ini makin jelas apa yang dimaksudkan dengan perkataan "ldza Shahhal Hadits fahuwa madzhabi" tadi, yaitu bahwa Imam-imam Mujtahid meminta kepada umum, atau katakanlah menantang kepada orang banyak, supaya memperhatikan sedalam-dalamnya madzhab beliau, bahwa kalau kebenaran terdapat ada diantara fatwa mereka yang bertentangan dengan hadits yang sahih maka tinggalkanlah fatwa mereka dan berpendapatlah dengan apa yang sesuai dengan hadits-hadits yang sahih.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ucapan Imam Syafi’i rahimahullah : "Idza Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi,, bukanlah maksudnya untuk melarang ummat Islam mengikut atau bertaqlid kepada beliau, sebagai yang digembat-gemborkan oleh kaum Anti Madzhab dimana-mana.
Kelima
Dalil ke 5 yang dikemukakan oleh orang Anti Madzhab adalah ucapan Imam Syafi’i rahimahullah juga. Imam Syafi’i pernah berkata begini, kata mereka:
قَالَ الْإِمَامُ الشَّفِعِيُّ  مَثَلُ الَّذِى يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبٍ لَيْلٍ يَحْمِلُ حُزْمَةً وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَيَدْرُهُ
Artinya : "Berkata lmam Syafi’i : perumpamaan orang yang mencari ilmu pengetahuan tanpa mempunyai hujjah (maksudnya ilmu tanpa dalil), sama dengan orang mencari kayu di malam hari. Ia pikul kayunya itu, kadang-kadang ia tidak tahu bahwa di dalamnya ada ular yang akan mematuknya". Inilah dalilnya, kata mereka.
Ucapan Imam Syafi’i rahimahullah yang ini, juga tidak tepat kalau dipakai menjadi dalil untuk melarang bertaqlid atau mengikuti Imam Mujtahid, karena Imam Syafi'i rahimahullah hanya mengatakan dalam ucapan ini bahwa orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan dalil-dalil dari ilmu pengetahuan itu adalah berbahaya, sama dengan orang yang memikul kayu di malam hari, yang kadang-kadang bisa terpikul ular di dalamnya. Memang, memang begitu, banyak bahayanya".
Ini adalah perhitungan Imam Syafi'i rahimahullah dalam rangka menganjurkan orang menuntut ilmu Hadits dan Quran. Bukanlah beliau melarang orang mengikut kepadanya. Ya, mungkin seluruh Imam-imam berkata seperti ini tetapi ucapan-ucapan yang seperti ini adalah dalam rangka mencegah supaya orang jangan mencukupkan saja bertaqlid kepada beliau masing-masing, tapi harus mencari ilmu banyak-banyak, harus menjalani pula hendaknya bagaimana jalan yang mereka lalui. Bukanlah beliau-beliau itu melarang orang mengikuti madzhabnya.
Kalau Imam-imam ini melarang orang mengikuti madzhabnya, apakah gunanya beliau-beliau ini berijtihad, apa gunanya beliau-beliau itu mengarang buku, apa gunanya beliau-beliau itu mengaiar dan apakah gunanya beliau-beliau itu bersusah payah ? Kalau maksudnya ucapan-ucapan Imam tadi melarang bertaqlid kepadanya, kenapa murid-murid beliau bertekun mengembangkan ilmu dan fatwa guru-gurunya, seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan murid-murid Imam Abu Hanifah dan murid-murid Imam Syafi'i rahimahullah seperti Imam ar Rabi' bin Sulaiman al Muradi, Imam Abu Ya'kub al Buwaithi dan kenapakah ada murid-murid Imam Syafi'i rahimahullah ulama-ulama besar seperti Imam al Ghazali, Imam Suyuthi, Imam Nawawi, Imam lbnu Hajar, Imam Ramli, dan semuanya alim-alim besar, tetap bertaklid kepada Imam Syafi’i rahimahullah. Ah! Tidak benar keterangan orang yang anti madzhab ini!!
Anehnya, sebagai yang kami katakan di atas, kaum anti madzhab ini mengemukakan dalil dari ucapan-ucapan lmam Mujtahid, bukan dari perkataan Allah dan Rasul. Mereka melarang orang bertaqlid, tetapi dalam prakteknya mereka juga mengerjakan taqlid itu. Bahkan ada yang lebih berani dari itu yang memajukan dan mengemukakan dalil-dalil Al Quran untuk melarang orang bertaqlid kepada Imam.
Keenam
Allah berfirman, kata mereka :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya : " Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (QS Al Maidah : 104).
Dan pada surat yang lain ada pula ayat yang seperti ini maksudnya yaitu dalam Surat Al Baqarah ayat 170, bunyinya begini :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya : " Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS AI Baqarah : 170)
Dan dikemukakan pula dalil ayat suci, begini:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَـٰهًا وَاحِدًا ۖ لَّا إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya : " Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At Taubah : 31).
Dalam mengartikan ayat ini dikemukakan bahwa pendeta-pendeta itu bukan disembah seperti tuhan, tetapi dituruti saja perkataan yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Itu berarti sudah menjadikannya menjadi Tuhan. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa kaum ANTI MADZHAB yang mengemukakan dalil-dalil ayat Quran ini untuk melarang taqlid kepada Imam, menganggap bahwa 1. Mengikut Imam Mujtahid iru sama dengan orang kafir yang mengikut bapaknya yang bodoh-bodoh dalam menyembah berhala.
2. Imam Mujtahid itu orang bodoh-bodoh yang tidak dapat petunjuk sedikit pun dari Tuhan.
3. Imam Mujtahid itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
4. Pengikut Imam Mujtahid adalah orang-orang yang menjadikan gurunya menjadi Tuhan.
La hawla wala quwwata illa billah! Ini betul-betul terlalu !
Ayat dalam Surat Al Maidah 104 dan Surat Al Baqarah 107 itu adalah ayat-ayat yang diturunkan untuk menyatakan hal ihwal orang kafir yang ikut-ikutan saja kepada bapak mereka dalam menyembah berhala. Ini diterangkan oleh Allah dalam surat AtTaubah 31, di mana dinyatakan bahwa mereka mengambil pendeta-pendetanya dan padri-padrinya dan Isa bin Maryam menjadi Tuhan selain Allah. Ayat ini tidak tepat dipakai untuk orang Islam yang mengikut Imam Mujtahid, karena :
1. Imam Mujtahid bukan mendakwakan dirinya Tuhan.
2. Imam-imam Mujtahid bukanlah orang-orang yang tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula orang-orang yang tidak menurut jalan kebenaran.
3. Imam Mujtahid bukanlah orang-orang yang tidak berakal dengan tidak dapat menimbang buruk dan baik.
4. Pengikut Imam Mujtahid bukanlah orang-orang yang menyembah guru atau menyembah Imam, tetapi hanya menghormati Imam dan mengikutinya.
Jadi tegasnya ayat-ayat ini tidaklah boleh dan tidak tepat dipakai untuk dijadikan dalil melarang ummat Islam mengikut Madzhab-madzhab
Ketujuh
Ada lagi orang yang mengemukakan dalil untuk melarang taqlid/mengikut Imam, yaitu ayat Al-Quran Surat Isra, ayat 36, begini :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya : (Menurut pengertian orang-orangyang Anti Madzhab) : "Dan janganlah kamu menuruti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.". (QS AI Isra' : 36).
Inilah dalil mereka, di mana mereka mentafsirkan ayat ini semaunya saja. Kalau kita buka Tafsir yang mu’tabar (yang kenamaan), umpamanya Tafsir Ibnu Katsir, kita akan jumpai dalam halaman 38 juz 3 begini artinya ayat ini :
1. Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mentafsirkan : ”Jangan engkau katakan apa yang engkau tidak tahu”.
2. Berkata Al 'Ufi : "Jangan engkau tuduh seseorang dengan apa yang engkau tidak tahu".
3. Berkata Muhammad Ibnu Hanafiah: ”Jangan engkau menjadi saksi palsu karena pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan ditanya"
4. Berkata Qutadah : "Jangan engkau katakan saya melihat tetapi engkau tak melihat, saya dengar sedang engkau tidak mendengar, saya tahu sedang engkau tidak mengetahui, karena pendengaran, penglihatan dan hati akan ditanya di akhirat nanti".
Demikianlah tafsiran ahli-ahli tafsir dalam ayat ini, tidak seorangpun diantara mereka yang menafsirkan, " Janganlah kamu menuruti apa yang engkau tidak tahu", sebagaimana tafsiran orang-orang Anti Madzhab. Kesimpulannya dapat dikatakan bahwa ayat ini bukanlah untuk melarang mengikuti Imam, tetapi untuk melarang menjadi saksi palsu, menyaksikan sesuatu yang tidak diketahui.
Kedelapan
Banyak dalil yang dikemukakan oleh kaum ANTI MADZHAB adalah omongan belaka.
- Mereka mengomongkan bahwa orang yang taqlid atau kaum yang taqlid itu akan jadi mundur, mati semangat, jumud, beku, tak berkemajuan, dipermainkan orang saja, dijajah saja, sudah mati sebelum mati dan lain-lain omongan yang sifatnya penghinaan kepada orang-orang bermadzhab. Kita banyak membaca omongan ini dalam karangan buku-buku mereka, dan mendengar dalam pidato-pidato dan tabligh-tabligh mereka. Omongan ini benar-benar menyinggung dan menusuk perasaan serta menghina terhadap orang-orang yang bermadzhab. Biasanya omongan ini keluar dari orang-orang pemuja dan pemuji lbnu Taimiyah, pengikut lbnul Qayyim al Jauziah, pemuja Muhammad Abduh dan Rasyid Redha, orang yang fanatik kepada Majalah Al Manar dan AI Munir dan bahkan memuja Manfaluthi dan mengikut Madzhab Wahabi. Heran dan ta'jublah kita melihat pendirian orang-orang ini.
Mereka melarang mengikut Imam syafi'i rahimahullah tetapi mereka taqlid buta kepada lbnuTaimiyah. Mereka tidak suka kepada Ibnu Hajar  al-Haitami tetapi mereka taqlid kepada Muhammad as Syaukani. Mereka melarang orang lain mempelajari Taufah dan Hinayah, sedang mereka membaca siang malam AI Manar dan AI Munir. Mereka melarang orang taqlid kepada Imam-imam kaum Muslimin, tetapi mereka taqlid kepada Danton dan plato. Mereka melarang orangmenganut faham Syafi’i, tapi mereka menganjurkan orang untuk menganut faham Marx. La haula wala quwwata illa billah !
Kenyataannya dilihat dari dahulu sampai sekarang, omongan-omongan mereka yang tersebut di atas tidak terbukti sama sekali. Lihatlah Imam Bukhari yang taqlid kepada Imam Syafi’i rahimahullah, apakah beliau itu beku atau jumud? Tidak. Lihatlah Imam Ghazali yang taqlid kepada Imam Syafi’i, apakah beliau itu termasuk orang bodoh? Tidak. Lihadah Sulthan Salahuddin al Ayyubi, apakah ia dijajah dan dipermainkan saja ? Lihatlah pangeran Diponegoro yang taqlid kepada Imam Syafi’i rahimahullah apakah beliau seorang yang mundur? Apakah Syarif Hidayatullah pembangun Kerajaan Banten dan pembebas Sunda Kelapa termasuk otang-orang yang tidak berkemajuan karena beliau menganut madzhab Syafi'i? Tidak.
Adalah satu fakta bahwa di antara 15 orang Menteri Agama Republik Indonesia sedari Proklamasi sampai sekarang, hanyalah 2 orang yang diragukan Madzhab Syafi'inya. Yang lainnya terang-terangan adalah penganut Madzhab Syafi’i rahimahullah. Apakah beliau-beliau itu orang-orang jumud, orang-orang beku, orang-orang yang tidak berkemajuan sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang ANTI MADZHAB? Salah seorang Menteri Agama menyatakan terus terang dalam rapat pleno Kongres PERTI ke X bulan Pebruari 1965 bahwa beliau adalah penganut Madzhab Syafi'i rahimahullah. Ini adalah kenyataan, bukan omongan doing. Dalam hal ini kita dapat memberikan kesimpulan bahwa semua dalil yang dipergunakan oleh kaum ANTI MADZHAB ini meleset tidak tepat untuk dipakai "larangan" bertaqlid atau untuk dipukulkan kepada orang-orang yang bermadzhab.
Untuk menutup bahagian ini rasanya ada baiknya juga kalau kami kemukakan, bahwa ada juga segolongan kecil diantara orang-orang yang ANTI MADZHAB ini, membedakan antara taqlid (mengikut) dan ittiba' (mengikut). Mereka berkata, bahwa arti taqlid adalah mengikut orang lain tanpa diketahui dalil-dalilnya (ini terlarang) dan ittiba' mengikut orang lain dengan mengetahui dalil-dalilnya (ini boleh). Kalau begitu perlu kita bertanya :
1. Dari mana diambilnya arti taqlid dan ittiba'yang begitu ?
2. Apakah ada Allah dan Rasul mengatakan begitu ?
3. Apakah kedua-duanya tidak sama-sama berarti mengikut atau taqlid kepada Mujtahid ? Kalau sama, kenapa dibeda-bedakan hukumnya ?
Dilihat dalam kamus, “tabi’a” artinya adalah ..mengikut/berjalan di belakang. Lihat Munjid halaman 56 - Al Mu’tamad halaman 58 -Qamus al Munjib juz 3 halaman g, Adz Dzahabi halaman 46). Tidak ada sebuah Kamus pun yang mengatakan arti “ittiba”, itu “mengikut orang lain dengan mengetahui dalilnya”. Dan perkataan ittiba' di dalam Al-Quran dipakai untuk segala macam, ada yang dipakai untuk hal yang baik, ada untuk hal yang buruk.
Untuk hal yang baik :
a. Ikutlah Agama Ibrahim (QS an Nisa' : 125).
b. Ikutlah apa yang diwahyukan kepadamu ......... (QS al Ahzab : 2).
c. Ikutlah saya, Tuhan akan mengasihimu (QS Ali Imran : 31).
d. Ikutlah jalan orang yang kembali kepada-Ku... (QS Luqman : 15).
e. Dan banyak lagi yang lain.
Untuk hal yang buruk :
a. Maka mengikut akan dia Syeitan .. (QS al A’raf : 174).
b. Maka mengikut akan mereka Fir’aun (QS Thaha : 78).
c. Jangan diikuti jalan orang berbuat binasa ....... (QS al A’raf : 142).
d. Jangan diikuti hawa nafsu………….(QS Shad : 26)
c. Dan banyak lagi yang lain.
Kesimpulannya, kalau kita lihat dan perhatikan kitab Kamus atau kita lihat dalam Al-Quran, tidak  dijumpai arti ittiba’ adalah mengikut orang dengan mengetahui dalilnya, sebagaimana yang dibuat-buat oleh orang yang ANTI MADZHAB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar