Kamis, 02 Juni 2011

8. Bolehkah Bertaqlid pada Imam Mujtahid?

Dewasa ini di Indonesia timbul satu aliran kecil yang tidak bertanggung jawab di kalangan ummat Islam yang berfatwa kesana-kemari, mengatakan bahwa bertaqlid kepada Imam-imam Mujtahid dalam furu'syari'at tidak boleh, alias HARAM. Fatwa yang tidak bertanggung jawab inilah yang memaksa kita menulis fasal ini dengan judul "Bolehkah bertaqlid kepada Imam-imam". Masalah ini sebenarnya sederhana saja, tidak perlu diributkan. Akan tetapi karena ada satu golongan tertentu menjadikan hal ini suatu masalah besar, maka menjadilah ia satu masalah besar yang dibesar-besarkan, yang seharusnya tidak perlu ada.
TAQLID dalam Syari'at Islam artinya MENGIKUT. Kalau kita katakan : "Saya bertaqlid kepada Madzhab Syafi’i", maka itu artinya "saya mengikut kepada Madzhab Syafi’i. Kalau dikatakan si A penganut Madzhab Maliki, maka artinya si A itu mengikut madzhab Imam Maliki dalam soal ibadat, dan begitulah seterusnya. Apakah mengikut itu dengan mengetahui dalil-dalil yang didapat oleh Imam-imam Mujtahid, yakni dairimana diambilnya, dari Quran mana, dari hadits mana atau tanpa mengetahui tempat pengambilan mereka, tetapi yang kita ketahui hanya fatwanya, maka kedua-duanya dinamakan bertaqlid kepadany a.
Nama bertaqlid itu tidak jelek, terpakai dalam dunia Islam dari dulu sampai sekarang, tertulis dalam kitab-kitab fiqih dengan terang dan bahkan dulu orang-orang bangga kalau ia sudah dapat taqlid kepada salah satu Imam Mujtahid. Banyak kita dapati dari dulu sampai sekatang fatwa ulama-ulama atau orang besar dalam dunia Islam yang dibelakang namanya digandengkan nama-nama Imam tempat ia bertaqlid."
Misalnya pengarang Tafsir Al Baghawi menuliskan namanya Imam al Jalil Muhyis Sunnah Abi Muhammad al Husein bin Mas’ud al Farra'al Baghawi as Syafi’i (wafat: 516 H.). PengarangTafsir Ibnu Katsir Imam  ‘Imamuddin Abul Fida’, Ismail Ibnul Khatib Abi Hafsah Umar bin Katsir as Syafi’i. (wafat: 774 H.). Pengarang Tafsir Jamal lmam Sulaiman bin'Umar al Ujaili as Syafi’i. (Wafat : 1204 H) dan lain-lain. Menggandengkan nama Imam yang diikutinya di belakang namanya sendiri adalah menjadi kebanggaan bagi ulama Islam dari dulu sampai sekarang.
Kami katakan masalah ini simpel, masalah sederhana yang tidak perlu dihebohkan, karena duduk persoalannya adalah sebagai berikut. Manusia ini dalam kenyataannya terbagi tiga, yaitu :
1. Yang 'alim besar, yang ilmunya sudah tinggi, sudah sampai kepada derajat Imam Mujtahid mutlak (Mujtahid penuh).
2. Yang berilmu, tetapi ilmunya masih kurang, belum sampai ke derajat Imam Mujtahid. Ini dinamakan dalam Islam, Ulama-ulama, Kyahi-kiyahi, Ustadz-ustadz, Guru-guru, Mu’alim-mu'alim dan lain-lain gelaran.
3. Golongan ketiga, yang sebenarnya yang terbanyak dalam masyarakat, yaitu rakyat banyak yang terdiri dari kaum tani, dagang, saudagar, buruh, nelayan, tukang batu, tukang kayu, pegawai dan lain-lain sebagainya.
Golongan ketiga ini bersekolah juga, tetapi belum sampai pengetahuannya ke derajat Ulama, apalagi ke derajat Imam Mujtahid. Pembagian golongan-golongan ini boleh diibaratkan sama dengan manusia dalam ilmu kedokteran. Ada yang tamatan Universitas Kedokteran derajat, spesialis, ahli bedah jantung, ahli bedah menukar jantung dengan karet, ahli penyakit saraf, dinamakan profesor, ahli/expert. Ada juga yang tamatan Akademi Kesehatan yang sedang saja ilmunya. Ia pandai memeriksa sakit kepala, sakit perut, luka-luka ringan, pandai injeksi, tetapi tidak sampai ilmunya ke derajat profesor ahli tadi. Ada pasien, yaitu orang banyak yang sakit yang sama sekali tidak tahu ilmu kedokreran dan tidak tahu membuat racikan obat, karena dari semula memang tidak masuk sekolah kedokteran. Menjadi dukun pun ia tidak pandai.
Nah, dalam Islam pun juga begitu. Ada Imam Mujtahid, ada Ulama-ulama, ada orang banyak. Orang banyak ini tidak pernah masuk sekolah agama, tapi  mereka adalah Islam dan berasal dari famili-famili Islam. Pekerjaannya setiap hari bertani, bertukang, berjualan, menjadi pegawai dan lain sebagainya. Inilah pembagian manusia dalam kenyataan.
Nah, golongan..yang pertama, yaitu Imam-imam Mujtahid yang sudah sampai ilmunya ke derajat Mujtahid menurut ukuran yang umum dalam dunia Islam, maka ia boleh berijtihad dan bahkan wajib berijtihad kalau dalam negeri itu hanya ia seorang yang serupa itu ilmunya. Ia tidak boleh mengikut Imam Mujtahid yang lain. Tapi ijtihadnya itu tidak boleh membatalkan ijtihad Imam Mujtahid yang terdahulu daripadanya.
Golongan yang kedua, ia wajib juga bertaqlid kepada salah seorang Imam Mujtahid yang disukainya, tapi ia diharuskan atau dianjurkan agar menyelidiki dalil-dalil dan alasan-alasan dari fatwa Imamnya itu. Ini untuk sekedar mengetahui dan untuk sekedar lebih meyakinkan kebenaran dari fatwa Imamnya. Ia boleh mengatakan bahwa ia penganut Madzhab Syafi’i, Maliki atau Hanafi dan ia tahu bahwa-fatwa lmamnya itu berdalil Quran dan Hadits, berdasarkan qiyas cara begitu dan begini dan lain-lain sebagainya.
Adapun golongan yang ketiga, golongan yang terbanyak dalam masyarakat, mau tidak mau mereka mesti bertaqlid kepada salah seorang Imam dalam agamanya, kalau tidak mereka tidak akan sanggup menjalankan hukum agamanya dengan baik atau tidak sanggup beragama sama sekali. Sanggupkah seorang petani berijtihad atau menyelidiki dalil ini dan dalil itu? Sanggupkah seorang pegawai kantor pos misalnya mengambil hukum-hukum dari Quran dan Hadits langsung, sedangkan ia tidak tahu bahasa Arab sepatahpun ? Tentu tidak mungkin dan tidak sanggup. Bagi mereka golongan ketiga ini, tidak ada jalan lain selain bertaqlid mengikut Imam-imam atau mengikut Ulama-ulama yang terdekat yang sudah menjadi murid dari Imam Mujtahid. Ini logis saja, jalan lain tidak ada. Kalau ada orang mengatakan tidak boleh bertaqlid atau haram hukumnya bertaqlid, maka ia telah menyusahkan berjuta-juta rakyat, telah meletakkan dosa ke pundak mereka itu, yang seharusnya tidak mesti begitu.
Adakah tepat menurut pertimbangan akal yang waras kalau kita menganjurkan kepada seluruh rakyat lndonesia yang 200 juta lebih jumlahnya agar semuanya menjadi profesor ahli bedah? Adakah tepat menurut akal yang waras kalau kita menganjurkan agar semua orang menjadi Imam Mujtahid? Jawabnya,tentu tidak. Anjuran ini tidak sesuai dengan logika dan termasuk anjuran gila. Anjuran yang tepat bagi mereka yang tidak pernah masuk sekolah agama, yang tidak pernah masuk sekolah tinggi gama, ialah supaya mereka bertanya kepada guru-guru agama dalam hukum-hukum agama. Kalau guru sudah menjawab 'Ya", lalu dipegang dan amalkanlah. Dengan jalan demikian kita sudah menjalankan tuntutan agama, tidak berdosa lagi. Tetapi jangan salah faham, hal ini bukan melarang kita untuk menyelidiki dalil-dalil yang dikatakan guru kita, tidak! Kita boleh mendalami, kita boleh membahas, kita boleh meniru Imam mujtahid kalau kesanggupan telah ada. Tetapi sekali lagi ditekankan supaya jangan salah faham bahwa agama kita menuntut sekuat-kuatnya agar kita mempelajari ilmu agar sampai sedalam-dalamnya.
Seorang Ulama Besar bangsa Indonesia yang terkenal di Mekkah dan di Indonesia pada permulaan abad ke 14 H. Syeikh Nawawi Banten, menerangkan dalam kitabnya "Nihayatuz Zain Fi Irsyadil Mubtadiin" halaman 7, cetakan "Darul Qalam" Kairo, begini: 'Mujtahid Muthlaq" (Mujtahid Penuh) ialah orang yang sanggup menggali (istinbath) hukum dari dalil-dalil. Mujtalid Madzhab ialah orang-orang yang kuasa menggali hukum berdasarkan qaedah-qaedah Imamnya seperti Muzanni dnn Buwaithi. Mujtahid Fatwa ialah orangyang kuasa merajihkan (menguatkan salah satu) di antara perkataan Imamnya, seperti Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Adapun Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar Asqalani kedua-duanya adalah masih taqlid kepada Imamnya (belum sampai ke derajat Mujtahid Madzhab dan Mujtahid Tarjih).
Wajib bagi sekalian orang yang tidak ahli, bertaqlid dalam furu' syari'at kepada salah seorang di antara Imam yang 4 yang masyhur, yaitu : Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali. Dalil untuk ini ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala, yang artinya : "Maka tanyalah kepada orang yang tahu, kalau kamu tidak tahu". Allah mewajibkan orang yang tidak tahu supaya bertanya kepada orang yang tahu, yang tentu sesudah ditanya lantas jawabannya dipegang teguh. Ini adalah dinamai taqlid kepadanya. Tidak boleh bertaqlid selain kepada Imam yang 4 ini dalam furu' syari'at, seperti kepada Imam Sofyan Tsauri, kepada Imam Sofyan bin 'Ujainah, kepada Imam Abdurrahman bin umar alAuza'i dan juga tidak boleh taqlid kepada salah seorang sahabat-sahabat yang besar, karena madzhab mereka tidak teratur dan tidak dikumpulkan dengan rapi. Adapun orang-orang yang sanggup menjadi Mujtahid Muthlaq, maka haramlah baginya taqlid. (Nihayatuz Zain, hal 7).
Jadi, ada tiga macam Imam Mujtahid, yaitu:
a. Mujtahid-mutlak (Mujtahid penuh) seperti Imam Syafi’i rahimahullah.
b. Mujtahid-madzhab seperti Imam Buwaithi dan Muzany, sahabat dan murid Imam Syafi’i.
c. Mujtahid-fatwa seperti Imam Nawawi dan Imam Rafi’i
Seorang Ulama Besar, Syeikh Yusuf Dajwi, guru besar pada Universitas Al Azhar (Kairo) telah mengupas soal taqlid ini seluas-luasnya dalam majallah Al Azhar "Nurul Islam”, tahun ke V (1353 H). Pada halaman 669 sampai 679, diantaranya beliau mengatakan begini : "Kesimpulannya bahwa pendapat-pendapat Imam Mujtahid yang diambilnya dari Kitabullah dan Sunnah Nabi adalah sebagai tafsir dari Kitab dan Sunnah itu, karena yang dikatakan ijtihad ialah menggali hukum yang tersembunyi dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi itu.
Adapun pendapat yang mewajibkan sekalian orang harus langsung mengambil hukum dari Quran dan Sunnah adalah pendapat yang bathil dengan ijma’ sahabat-sahabat Nabi. Sahabat-sahabat Nabi itu berfatwa kepada umum dan tidak ada mereka menyuruh supaya setiap orang menjadi Imam Mujtahid. Dan pula telah ijma' (sepakat) bahwa orang banyak diberati untuk menjalankan hukum-hukum agama. Menyuruh mereka supaya seluruhnya menjadi Imam Mujtahid adalah suatu hal yang mustahil untuk dilaksanakan. Maka tidak ada jalan bagi orang banyak selain mengilait (taqlid) kepada Imam yang disukai dan yang diyakini kebenarannya. Semua orang sudah tahu bahwa taqlid kepada Imam Mujtahid bukanlah berarti meninggalkan Quran dan Sunnah, tetapi justru taqlid itulah yang pada hakikatnya menjalankan dan mengikuti Kitab dan Sunnah dengan setepat-tepatnya. Demikian di antaranya uraian Syeikh Yusuf Dajwi, Rektor Al Azhar Mesir.
Kami rasa keterangan yang di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa orang-orang biasa (orang banyak) mesti (wajib) taqlid kepada Ulama-ulama yang telah sampai ke derajat Mujtahid. Tidak perlu ditambah lagi. Akan tetapi kalau diminta juga dalil syar’i, yaitu Quran dan Hadits, baiklah dan bacalah terus uraian di bawah ini.

Kesatu
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
…فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya  :” …maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An Nahl 43)
Ayat ini menyuruh kepada sekalian orang yang tidak tahu agar bertanya kepada ahli ilmu pengetahuan, khususnya ahli Quran dan Hadits. Jawaban dari pertanyaan ini tentu untuk dipegang dan diamalkan, bukan untuk dibuang. Memegang dan mengamalkan fatwa (jawaban pertanyaan) guru, itulah yang dinamakan taqlid kepada guru. Ayat ini umum yang harus dipakai atas umumnya, yaitu sekalian orang yang tidak tahu harus bertanya kepada orang yang tahu. Dan sesudah dijawab harus dipegang teguh jawabannya itu.
Kedua
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ…. 
Artinya  :” Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu... .” (QS An Nisa 59)
"Ulil Amri" dalam ayat ini diartikan oleh sebagian ahli Tafsir dengan Ulama-ulama, di antaranya, oleh Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah Mujtahid, Hasan, Atha' dan sekumpulan sahabat-sahabat Nabi yang lain. Jadi kesimpulan artinya: "Ikutlah Allah, ikutlah Rasul dan ikutlah Ulama-ulama".  Ada sebagian ahli tafsir mentafsirkanl-Ulil Amri dengan Raja-raja, Panglima perang atau Khalifah-khalifah yang mengurus Negara. Tetapi bagi yang mentafsirkan dengan Ulama-ulama, maka timbullah hukum bahwa ulama-ulama yang tahu Quran dan Hadits, WAJIB diikut oleh orang banyak. Inilah yang dikatakan taqlid.
Ketiga
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya  :” Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS At Taubah 122)
Jelas dalam ayat ini, bahwa sebagian dari kita disuruh berangkat mencari ilmu kemana saja, sesudah ilmu didapat harus pulang kembali kepada kaumnya untuk memberikan pelajaran. Jadi sebagian disuruh belajar secara mendalam dan sebagian disuruh mengikuti orang yang belajar itu, dan diwajibkan mereka menjaga diri atau berhati-hati. Inilah yang dikatakan taqlid.
Keempat
Bersabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اِقْتَدُوْابِالَّلذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍوَعُمَرَ
Artinya : "Ikutlah dua orang sesudah saya, yaitu Abu Bakar dan Umar" . (Hadits riwayat lmam Ahmad, Tirmidzi dan lbnu Majah).
Dalam Hadits ini jelas kita disuruh mengikut Ulama yaitu Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma. Ini adalah suruhan untuk mengikut, untuk taqlid.
Kelima
Bersabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
أَصْحَابِى كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمُ اهْتَدَيْتُمْ
Artinyn : "Sahabatku seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat hidayah". (Riwayat Imam Baihaqi).
Ini juga dalil yang menyuruh kita (yang tidak mujtahid) untuk mengikut sahabat-sababat Nabi. Mengikut itulah yang  dinamakan TAQLID.
Keenam
Bersabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اَلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ فِى السَّمَاءِوَأَصْحَابِى أَمَنَةٌ لِأُمَّتِى
Artinyn : "Bintang memberi cahaya bagi langit dan memberi cahaya bagi ummatku". (Hadits Riwayat Muslim).
Hadits ini menyuruh kita supaya mengikuti sahabat-sahabat Nabi. Mengikut itulah yang dinamakan TAQLID.
Ketujuh
Bersabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اَلْعُلَمَاءُوَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
Artinyn : "Ulama-ulama itu mewarisi (mempusakai) Nabi-nabi". (Hadits Riwayat Abu Dawud).
Ini suatu bukti bahwa Ulama-ulama itu harus diikuti karena mereka mewarisi Nabi-nabi. Kalau ulama tidak boleh diikuti apa gunanya fungsi Ulama ini dan seolah-olah perkataan Nabi percuma saja.
Kedelapan
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Saidina Mu’adz ke Yaman. Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Tirmidzi dan lain-lain :
عَنْ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّابَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَفِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدُرَأْيِ وَلاَآلُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ : اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ
Artinya : "Dari Mu'adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepadanya, " Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa ke depanmu ?""Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah" jawab Mu'adz. Nabi bertanya lagi, "Kalau tak tersebut dalam Kitabullah, bagaimana ?"Jawab Mu'adz, " Saya akan memutuskannya menurut Sunnah Rasul". Nabi bertanya lagi, " Kalau engkau tak menemui hal itu dalam Sunnah Rasul dan Kitabullah, bagaimana?"Mu'adz menjawab, "Pada ketika itu saya akan berijtihad tanpa bimbang sedikitpun". Mendengar jawab itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata, " Semua puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya". (Hadits riwayat Imam Tirmidzi dan Abu Daud. Lihat kitab SahihTirmidzi juzu' II, halaman 68 - 69 dan Sunan Abu Daud, juz, lll, halaman 303).
Kalau Mu'adz tidak boleh diikuti apa gunanya beliau diutus Nabi ke sana. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman untuk tugas menjadi guru dan Hakim. Orang-orang Yaman ketika itu mengikut Mu’adz bin Jabal. Orang-orang Yaman taqlid kepada Mu'adz bin Jabal dalam masalah-masalah fiqih dan ijtihad. Hal ini terjadi pada masa hidupnya Rasulullah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada riwayat bahwa Saidina Mu'adz memerintahkan agar sekalian orang Yaman laki-laki dan perempuan, menjadi Imam Mujtahid semuanya.
Kesembilan
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَ‌ٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya  :” Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar..” (QS At Taubah 100)

Bukan saja orang Muhajirin dan Anshar, tetapi pengikut-pengikut mereka juga masuk syurga. Ini baru bukti yang kuat bahwa kita boleh mengikut Ulama-ulama, Imam-imam Mujtahid dan bahkan dianjurkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar