Dewasa ini di Indonesia
timbul satu aliran kecil yang tidak bertanggung jawab di kalangan ummat Islam
yang berfatwa kesana-kemari, mengatakan bahwa bertaqlid kepada Imam-imam
Mujtahid dalam furu'syari'at tidak boleh, alias HARAM. Fatwa yang tidak bertanggung
jawab inilah yang memaksa kita menulis fasal ini dengan judul "Bolehkah
bertaqlid kepada Imam-imam". Masalah ini sebenarnya sederhana saja,
tidak perlu diributkan. Akan tetapi karena ada satu golongan tertentu
menjadikan hal ini suatu masalah besar, maka menjadilah ia satu masalah besar
yang dibesar-besarkan, yang seharusnya tidak perlu ada.
TAQLID dalam Syari'at
Islam artinya MENGIKUT. Kalau kita katakan : "Saya bertaqlid kepada
Madzhab Syafi’i", maka itu artinya "saya mengikut kepada Madzhab
Syafi’i. Kalau dikatakan si A penganut Madzhab Maliki, maka artinya si A itu
mengikut madzhab Imam Maliki dalam soal ibadat, dan begitulah seterusnya.
Apakah mengikut itu dengan mengetahui dalil-dalil yang didapat oleh Imam-imam
Mujtahid, yakni dairimana diambilnya, dari Quran mana, dari hadits mana atau
tanpa mengetahui tempat pengambilan mereka, tetapi yang kita ketahui hanya
fatwanya, maka kedua-duanya dinamakan bertaqlid kepadany a.
Nama bertaqlid itu tidak
jelek, terpakai dalam dunia Islam dari dulu sampai sekarang, tertulis dalam
kitab-kitab fiqih dengan terang dan bahkan dulu orang-orang bangga kalau ia
sudah dapat taqlid kepada salah satu Imam Mujtahid. Banyak kita dapati dari
dulu sampai sekatang fatwa ulama-ulama atau orang besar dalam dunia Islam yang
dibelakang namanya digandengkan nama-nama Imam tempat ia bertaqlid."
Misalnya pengarang
Tafsir Al Baghawi menuliskan namanya Imam al Jalil Muhyis Sunnah Abi Muhammad
al Husein bin Mas’ud al Farra'al Baghawi as Syafi’i (wafat: 516 H.).
PengarangTafsir Ibnu Katsir Imam ‘Imamuddin Abul Fida’, Ismail Ibnul
Khatib Abi Hafsah Umar bin Katsir as Syafi’i. (wafat: 774 H.). Pengarang Tafsir
Jamal lmam Sulaiman bin'Umar al Ujaili as Syafi’i. (Wafat : 1204 H) dan
lain-lain. Menggandengkan nama Imam yang diikutinya di belakang namanya sendiri
adalah menjadi kebanggaan bagi ulama Islam dari dulu sampai sekarang.
Kami katakan masalah ini
simpel, masalah sederhana yang tidak perlu dihebohkan, karena duduk
persoalannya adalah sebagai berikut. Manusia ini dalam kenyataannya terbagi
tiga, yaitu :
1. Yang 'alim besar,
yang ilmunya sudah tinggi, sudah sampai kepada derajat Imam Mujtahid mutlak
(Mujtahid penuh).
2. Yang berilmu, tetapi
ilmunya masih kurang, belum sampai ke derajat Imam Mujtahid. Ini dinamakan
dalam Islam, Ulama-ulama, Kyahi-kiyahi, Ustadz-ustadz, Guru-guru,
Mu’alim-mu'alim dan lain-lain gelaran.
3. Golongan ketiga, yang
sebenarnya yang terbanyak dalam masyarakat, yaitu rakyat banyak yang terdiri
dari kaum tani, dagang, saudagar, buruh, nelayan, tukang batu, tukang kayu,
pegawai dan lain-lain sebagainya.
Golongan ketiga ini
bersekolah juga, tetapi belum sampai pengetahuannya ke derajat Ulama, apalagi
ke derajat Imam Mujtahid. Pembagian golongan-golongan ini boleh diibaratkan
sama dengan manusia dalam ilmu kedokteran. Ada yang tamatan Universitas
Kedokteran derajat, spesialis, ahli bedah jantung, ahli bedah menukar jantung
dengan karet, ahli penyakit saraf, dinamakan profesor, ahli/expert. Ada juga
yang tamatan Akademi Kesehatan yang sedang saja ilmunya. Ia pandai memeriksa
sakit kepala, sakit perut, luka-luka ringan, pandai injeksi, tetapi tidak
sampai ilmunya ke derajat profesor ahli tadi. Ada pasien, yaitu orang banyak
yang sakit yang sama sekali tidak tahu ilmu kedokreran dan tidak tahu membuat
racikan obat, karena dari semula memang tidak masuk sekolah kedokteran. Menjadi
dukun pun ia tidak pandai.
Nah, dalam Islam pun
juga begitu. Ada Imam Mujtahid, ada Ulama-ulama, ada orang banyak. Orang banyak
ini tidak pernah masuk sekolah agama, tapi mereka adalah Islam dan
berasal dari famili-famili Islam. Pekerjaannya setiap hari bertani, bertukang,
berjualan, menjadi pegawai dan lain sebagainya. Inilah pembagian manusia dalam
kenyataan.
Nah, golongan..yang
pertama, yaitu Imam-imam Mujtahid yang sudah sampai ilmunya ke derajat Mujtahid
menurut ukuran yang umum dalam dunia Islam, maka ia boleh berijtihad dan bahkan
wajib berijtihad kalau dalam negeri itu hanya ia seorang yang serupa itu
ilmunya. Ia tidak boleh mengikut Imam Mujtahid yang lain. Tapi ijtihadnya itu
tidak boleh membatalkan ijtihad Imam Mujtahid yang terdahulu daripadanya.
Golongan yang kedua, ia
wajib juga bertaqlid kepada salah seorang Imam Mujtahid yang disukainya, tapi
ia diharuskan atau dianjurkan agar menyelidiki dalil-dalil dan alasan-alasan
dari fatwa Imamnya itu. Ini untuk sekedar mengetahui dan untuk sekedar lebih
meyakinkan kebenaran dari fatwa Imamnya. Ia boleh mengatakan bahwa ia penganut
Madzhab Syafi’i, Maliki atau Hanafi dan ia tahu bahwa-fatwa lmamnya itu
berdalil Quran dan Hadits, berdasarkan qiyas cara begitu dan begini dan
lain-lain sebagainya.
Adapun golongan yang
ketiga, golongan yang terbanyak dalam masyarakat, mau tidak mau mereka mesti
bertaqlid kepada salah seorang Imam dalam agamanya, kalau tidak mereka tidak
akan sanggup menjalankan hukum agamanya dengan baik atau tidak sanggup beragama
sama sekali. Sanggupkah seorang petani berijtihad atau menyelidiki dalil ini
dan dalil itu? Sanggupkah seorang pegawai kantor pos misalnya mengambil
hukum-hukum dari Quran dan Hadits langsung, sedangkan ia tidak tahu bahasa Arab
sepatahpun ? Tentu tidak mungkin dan tidak sanggup. Bagi mereka golongan ketiga
ini, tidak ada jalan lain selain bertaqlid mengikut Imam-imam atau mengikut
Ulama-ulama yang terdekat yang sudah menjadi murid dari Imam Mujtahid. Ini
logis saja, jalan lain tidak ada. Kalau ada orang mengatakan tidak boleh
bertaqlid atau haram hukumnya bertaqlid, maka ia telah menyusahkan berjuta-juta
rakyat, telah meletakkan dosa ke pundak mereka itu, yang seharusnya tidak mesti
begitu.
Adakah tepat menurut
pertimbangan akal yang waras kalau kita menganjurkan kepada seluruh rakyat
lndonesia yang 200 juta lebih jumlahnya agar semuanya menjadi profesor ahli
bedah? Adakah tepat menurut akal yang waras kalau kita menganjurkan agar semua
orang menjadi Imam Mujtahid? Jawabnya,tentu tidak. Anjuran ini tidak sesuai
dengan logika dan termasuk anjuran gila. Anjuran yang tepat bagi mereka yang
tidak pernah masuk sekolah agama, yang tidak pernah masuk sekolah tinggi gama,
ialah supaya mereka bertanya kepada guru-guru agama dalam hukum-hukum agama.
Kalau guru sudah menjawab 'Ya", lalu dipegang dan amalkanlah. Dengan jalan
demikian kita sudah menjalankan tuntutan agama, tidak berdosa lagi. Tetapi
jangan salah faham, hal ini bukan melarang kita untuk menyelidiki dalil-dalil
yang dikatakan guru kita, tidak! Kita boleh mendalami, kita boleh membahas,
kita boleh meniru Imam mujtahid kalau kesanggupan telah ada. Tetapi sekali lagi
ditekankan supaya jangan salah faham bahwa agama kita menuntut sekuat-kuatnya
agar kita mempelajari ilmu agar sampai sedalam-dalamnya.
Seorang Ulama Besar
bangsa Indonesia yang terkenal di Mekkah dan di Indonesia pada permulaan abad
ke 14 H. Syeikh Nawawi Banten, menerangkan dalam kitabnya "Nihayatuz Zain
Fi Irsyadil Mubtadiin" halaman 7, cetakan "Darul Qalam" Kairo,
begini: 'Mujtahid Muthlaq" (Mujtahid Penuh) ialah orang yang sanggup
menggali (istinbath) hukum dari dalil-dalil. Mujtalid Madzhab ialah orang-orang
yang kuasa menggali hukum berdasarkan qaedah-qaedah Imamnya seperti Muzanni dnn
Buwaithi. Mujtahid Fatwa ialah orangyang kuasa merajihkan (menguatkan salah
satu) di antara perkataan Imamnya, seperti Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Adapun
Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar Asqalani kedua-duanya adalah masih taqlid kepada
Imamnya (belum sampai ke derajat Mujtahid Madzhab dan Mujtahid Tarjih).
Wajib bagi sekalian
orang yang tidak ahli, bertaqlid dalam furu' syari'at kepada salah seorang di
antara Imam yang 4 yang masyhur, yaitu : Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Maliki
dan Imam Hambali. Dalil untuk ini ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala, yang
artinya : "Maka tanyalah kepada orang yang tahu, kalau kamu tidak
tahu". Allah mewajibkan orang yang tidak tahu supaya bertanya kepada orang
yang tahu, yang tentu sesudah ditanya lantas jawabannya dipegang teguh. Ini
adalah dinamai taqlid kepadanya. Tidak boleh bertaqlid selain kepada Imam yang
4 ini dalam furu' syari'at, seperti kepada Imam Sofyan Tsauri, kepada Imam
Sofyan bin 'Ujainah, kepada Imam Abdurrahman bin umar alAuza'i dan juga tidak
boleh taqlid kepada salah seorang sahabat-sahabat yang besar, karena madzhab
mereka tidak teratur dan tidak dikumpulkan dengan rapi. Adapun orang-orang yang
sanggup menjadi Mujtahid Muthlaq, maka haramlah baginya taqlid. (Nihayatuz
Zain, hal 7).
Jadi, ada tiga macam
Imam Mujtahid, yaitu:
a. Mujtahid-mutlak
(Mujtahid penuh) seperti Imam Syafi’i rahimahullah.
b. Mujtahid-madzhab
seperti Imam Buwaithi dan Muzany, sahabat dan murid Imam Syafi’i.
c. Mujtahid-fatwa
seperti Imam Nawawi dan Imam Rafi’i
Seorang Ulama Besar,
Syeikh Yusuf Dajwi, guru besar pada Universitas Al Azhar (Kairo) telah mengupas
soal taqlid ini seluas-luasnya dalam majallah Al Azhar "Nurul Islam”,
tahun ke V (1353 H). Pada halaman 669 sampai 679, diantaranya beliau mengatakan
begini : "Kesimpulannya bahwa pendapat-pendapat Imam Mujtahid yang
diambilnya dari Kitabullah dan Sunnah Nabi adalah sebagai tafsir dari Kitab dan
Sunnah itu, karena yang dikatakan ijtihad ialah menggali hukum yang tersembunyi
dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi itu.
Adapun pendapat yang
mewajibkan sekalian orang harus langsung mengambil hukum dari Quran dan Sunnah
adalah pendapat yang bathil dengan ijma’ sahabat-sahabat Nabi. Sahabat-sahabat
Nabi itu berfatwa kepada umum dan tidak ada mereka menyuruh supaya setiap orang
menjadi Imam Mujtahid. Dan pula telah ijma' (sepakat) bahwa orang banyak
diberati untuk menjalankan hukum-hukum agama. Menyuruh mereka supaya seluruhnya
menjadi Imam Mujtahid adalah suatu hal yang mustahil untuk dilaksanakan. Maka
tidak ada jalan bagi orang banyak selain mengilait (taqlid) kepada Imam yang
disukai dan yang diyakini kebenarannya. Semua orang sudah tahu bahwa taqlid
kepada Imam Mujtahid bukanlah berarti meninggalkan Quran dan Sunnah, tetapi
justru taqlid itulah yang pada hakikatnya menjalankan dan mengikuti Kitab dan
Sunnah dengan setepat-tepatnya. Demikian di antaranya uraian Syeikh Yusuf
Dajwi, Rektor Al Azhar Mesir.
Kami rasa keterangan
yang di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa orang-orang biasa (orang
banyak) mesti (wajib) taqlid kepada Ulama-ulama yang telah sampai ke derajat
Mujtahid. Tidak perlu ditambah lagi. Akan tetapi kalau diminta juga dalil syar’i,
yaitu Quran dan Hadits, baiklah dan bacalah terus uraian di bawah ini.
Kesatu
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
…فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ
Artinya :” …maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (QS An Nahl 43)
Ayat ini menyuruh kepada
sekalian orang yang tidak tahu agar bertanya kepada ahli ilmu pengetahuan,
khususnya ahli Quran dan Hadits. Jawaban dari pertanyaan ini tentu untuk
dipegang dan diamalkan, bukan untuk dibuang. Memegang dan mengamalkan fatwa
(jawaban pertanyaan) guru, itulah yang dinamakan taqlid kepada guru. Ayat ini
umum yang harus dipakai atas umumnya, yaitu sekalian orang yang tidak tahu
harus bertanya kepada orang yang tahu. Dan sesudah dijawab harus dipegang teguh
jawabannya itu.
Kedua
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ….
Artinya :” Hai
orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu... .” (QS An Nisa 59)
"Ulil Amri" dalam ayat ini
diartikan oleh sebagian ahli Tafsir dengan Ulama-ulama, di antaranya, oleh Ibnu
Abbas, Jabir bin Abdullah Mujtahid, Hasan, Atha' dan sekumpulan sahabat-sahabat
Nabi yang lain. Jadi kesimpulan artinya: "Ikutlah Allah, ikutlah Rasul dan
ikutlah Ulama-ulama". Ada sebagian ahli tafsir mentafsirkanl-Ulil
Amri dengan Raja-raja, Panglima perang atau Khalifah-khalifah yang mengurus
Negara. Tetapi bagi yang mentafsirkan dengan Ulama-ulama, maka timbullah hukum
bahwa ulama-ulama yang tahu Quran dan Hadits, WAJIB diikut oleh orang banyak.
Inilah yang dikatakan taqlid.
Ketiga
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن
كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya :” Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (QS At Taubah 122)
Jelas dalam ayat ini,
bahwa sebagian dari kita disuruh berangkat mencari ilmu kemana saja, sesudah
ilmu didapat harus pulang kembali kepada kaumnya untuk memberikan pelajaran.
Jadi sebagian disuruh belajar secara mendalam dan sebagian disuruh mengikuti
orang yang belajar itu, dan diwajibkan mereka menjaga diri atau berhati-hati.
Inilah yang dikatakan taqlid.
Keempat
Bersabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اِقْتَدُوْابِالَّلذَيْنِ
مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍوَعُمَرَ
Artinya : "Ikutlah
dua orang sesudah saya, yaitu Abu Bakar dan Umar" . (Hadits riwayat lmam Ahmad, Tirmidzi
dan lbnu Majah).
Dalam Hadits ini jelas
kita disuruh mengikut Ulama yaitu Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma. Ini adalah suruhan untuk mengikut,
untuk taqlid.
Kelima
Bersabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
أَصْحَابِى
كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمُ اهْتَدَيْتُمْ
Artinyn : "Sahabatku
seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat
hidayah". (Riwayat Imam Baihaqi).
Ini juga dalil yang
menyuruh kita (yang tidak mujtahid) untuk mengikut sahabat-sababat Nabi.
Mengikut itulah yang dinamakan TAQLID.
Keenam
Bersabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اَلنُّجُوْمُ
أَمَنَةٌ فِى السَّمَاءِوَأَصْحَابِى أَمَنَةٌ لِأُمَّتِى
Artinyn : "Bintang
memberi cahaya bagi langit dan memberi cahaya bagi ummatku". (Hadits
Riwayat Muslim).
Hadits ini menyuruh kita
supaya mengikuti sahabat-sahabat Nabi. Mengikut itulah yang dinamakan TAQLID.
Ketujuh
Bersabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اَلْعُلَمَاءُوَرَثَةُ
الْأَنْبِيَاءِ
Artinyn : "‘Ulama-ulama itu mewarisi (mempusakai)
Nabi-nabi". (Hadits Riwayat
Abu Dawud).
Ini suatu bukti bahwa
Ulama-ulama itu harus diikuti karena mereka mewarisi Nabi-nabi. Kalau ulama
tidak boleh diikuti apa gunanya fungsi Ulama ini dan seolah-olah perkataan Nabi
percuma saja.
Kedelapan
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Saidina Mu’adz ke Yaman.
Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud,
Tirmidzi dan lain-lain :
عَنْ
مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمَّابَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟قَالَ
: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ
: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ
رَسُوْلِ اللهِ وَلاَفِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدُرَأْيِ
وَلاَآلُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ
وَقَالَ :
اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلُ
اللهِ
Artinya : "Dari
Mu'adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pada ketika
mengutusnya ke Yaman bertanya kepadanya, " Bagaimana caranya engkau
memutuskan perkara yang dibawa ke depanmu ?""Saya akan memutuskannya
menurut yang tersebut dalam Kitabullah" jawab Mu'adz. Nabi bertanya lagi,
"Kalau tak tersebut dalam Kitabullah, bagaimana ?"Jawab Mu'adz,
" Saya akan memutuskannya menurut Sunnah Rasul". Nabi bertanya lagi,
" Kalau engkau tak menemui hal itu dalam Sunnah Rasul dan Kitabullah,
bagaimana?"Mu'adz menjawab, "Pada ketika itu saya akan berijtihad
tanpa bimbang sedikitpun". Mendengar jawab itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya ke dadanya dan
berkata, " Semua puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan
Rasulullah, sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya". (Hadits riwayat Imam
Tirmidzi dan Abu Daud. Lihat kitab SahihTirmidzi juzu' II, halaman 68 - 69 dan
Sunan Abu Daud, juz, lll, halaman 303).
Kalau Mu'adz tidak boleh
diikuti apa gunanya beliau diutus Nabi ke sana. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman untuk tugas
menjadi guru dan Hakim. Orang-orang Yaman ketika itu mengikut Mu’adz bin Jabal.
Orang-orang Yaman taqlid kepada Mu'adz bin Jabal dalam masalah-masalah fiqih
dan ijtihad. Hal ini terjadi pada masa hidupnya Rasulullah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada riwayat bahwa Saidina Mu'adz memerintahkan agar sekalian orang Yaman
laki-laki dan perempuan, menjadi Imam Mujtahid semuanya.
Kesembilan
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم
بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya :”
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar..” (QS At Taubah 100)
Bukan saja orang
Muhajirin dan Anshar, tetapi pengikut-pengikut mereka juga masuk syurga. Ini
baru bukti yang kuat bahwa kita boleh mengikut Ulama-ulama, Imam-imam Mujtahid
dan bahkan dianjurkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar