Selasa, 14 Juni 2011

15. Sumber Hukum dalam Madzhab Syafi’i.

Sumber hukum syari'at dalam Madzhab Syafi’i ada 4,yaitu :
1. Kitab Suci Al Quran.
2. Hadits-hadits atau Sunnah Nabi.
3. Ijma' (kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam satu masa).
4. Qiyas (perbandingan antara yang satu dengan yang lain).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitab Ar Risalah, begini :
لَيْسَ لِأَحَدٍأَبَدًاأَنْ يَقُوْلُ فِى شَيْءٍحَلَّ وَلاَحَرُمَ إِلاَّمِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ, وَجِهَةُ الْعِلْمِ الْخَبَرُ فِى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعُ أَوِالْقِيَاسُ
Artinya : "Tidak boleh seorang mengatakan dalam hukum sesuatu, ini halal dan ini haram, kecuali kalau ada pengetahuannya tentang itu. Pengetahuan itu ialah dari Kitab Suci, Sunnah Rasul, Ijma' dan Qiyas”. (Ar Risalah : 39).
Dan dalam menerangkan dasar-dasar madzhab beliau, Imam Syafi'i rahimahullah berkata:
اَلْأَصْلُ قُرْآنٌ وَسُنَّةٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقِيَاسٌ عَلَيْهِمَا, وَاِذَاتَّصَلَ الْحَدِيْثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَصَحَّ الْإِسْنَادُفَهُوَسُنَّةٌ. وَالْإِجْمَاعُ اَكَبَرُمِنَ الْخَبَرِالْمُنْفَرِدِ. وَالْحَدِيْثُ عَلَى ظَاهِرِهِ, وَاِذَااحْتَمَلَ مَعَانِى فَمَاأَشَبَهَ مِنْهَاظَاهِرُهُ أَوْلاَهَا, وَاِذَاتَكَافَأَتِالْأَحَادِيْثُ فَأَصَحُّهَاإِسْنَادًاأَوْلاَهَا, وَلَيْسَ الْمُنْقَطِعُ بِشَيْءٍمَاعَدَامُنْقَطِعَ ابْنِ الْمُسَيَّبِ. وَلاَيُقَاسُ أَصْلٌ عَلَى أَصْلٍ, وَلاَيُقَالُ لِلْأَصْلِ لِمَ وَكَيْفَ؟ وَإِنَّمَايُقَالُ لِلْفُرُوْعِ لِمَ؟ فَإِذَاصَحَّ قِيَاسُهُ عَلَى الْأَصْلِ صَحَّ وَقَامَتْ بِهِ حَجَّةٌ
Artinya : "Yang menjadi pokok adalah Quran dan Sunnah. Kalau tidak ada dalam Quran dan sunnah baruIah Qiyas kepada keduanya. Kalau sebuah hadits dari Rasulullah sudah shahih sanadnya maka itulah sunnah. Ijma' lebih besar dari kabar orang perorang. Hadits-hadits itu diartikan menurut zhahir  lafaznya, tetapi kalau artinya banyak maka yang dekat kepada yang zhahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan banyak hadits, maka yang paling shahih  sanadnya itulah yang didahulukan. Hadits munqathi’ (yang tidak sampai sanadnya kepada Rasulullah) tidak diteima, kecuali munqathi’ yang dikatakan (diriwayatkan) oleh sahabat Said Ibnul Musayyab. "AsaI” tidak diqiyaskan kepada "asal". AsaI tidak ditanya "kenapa dan bagaimana? Hal ini boleh ditanyakan kepada furu’ “kenapa” ? Kalau sudah ada qiyas furu’ kepada asal maka itu adalah suatu dalil (hujjah).
Dapat disimpulkan maksud perkataan beliau ini :
1. Sumber/dasar yang pertama, Quran dan Hadits.
2. Kalau tidak berjumpa dalam Quran dan Hadits, barulah dipakai Qiyas (perbandingan).
3. Sumber hukum juga ialah Ijma’ (kesepakatan), dan hal ini lebih tinggi mutunya dari Hadits Ahad (yang sejurusan sanadnya).
4. Hadits-hadits diartikan menuru t zhahirnya, tetapi kalau banyak arti lafaznya maka dipakai yang lebih dekat kepada zhahirnya.
5. Kalau banyak hadits yang serupa, maka lebih baik yang dipakai ialah yang paling sahih sanadnya (perawinya yang lebih masyhur).
6. Hadits-hadits munqathi' tidak dipakai, terkecuali hadits dari Said bin Musayyab.
7. AsaI sama asal tidak diqiyaskan.
8. Asal (Hadits dan Quran) tidak boleh ditanya lagi kenapa dan betapa.
9. Yang boleh ditanya kenapa begitu, ialah “furu’”
10. Qiyas kalau sudah benar, maka itu hujah (dalil) yang sah.
Keterangannya lebih lanjut :
a. Kitab Suci Al-Quran.
Kitab Suci Al Quran sebagai dimaklumi terbagi atas 30 Juz, 114 Surat, 6236 ayat dan 304.740 huruf.
Ayat yang mula-mula turun ialah "lqra’” (bacalah) pada Surat 'Al Qalam" dan yang paling penghabisan turunnya ialah ayat “Al Yauma" dalam Surat Al-Maidah 3.
Tanggal mula-mula turun pada 17 Ramadhan tahun 41 dari hari lahir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tanggal penghabisan turun pada hari Arafah dalam Haji Wada'.
Lamanya Al Quran turun dalam masa 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.
Ayat-ayat Al Quran dibagi dua, yang pertama turun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah yang dinamakan ayat MAKKI dan yang kedua turun di Madinah yang dinamakan ayat MADANI.
Lamanya Nabi di Mekkah 12 tahun 5 bulan dan 13 hari, sedang di Madinah 9 tahun 9 bulan dan 9 hari.
19 / 30% Quran diturunkan di Mekkah dan 11/ 30% diturunkan di Madinah.
Seperti dikatakan di atas bahwa Quran terbagi atas 114 Surat tetapi yang turun di Madinah hanya 28 Surat, sedang selebihnya turun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah.
Surat yang turun di Madinah adalah: al Baqarah, Ali Imran, an Nisa', al Maidah, al Anfal, at Taubah, ar Ra’d, al Haj, an Nur, al Ahzab, Muhammad, al Fath, al Hujurah, ar Rahman, al Hadid, al Mujadalah, al Hasyr, al Mumtahinah, as Shaf, al Jum’ah, al Munafiqun, at Taghabun, at Thalaq, at Tahrim, al Insan, al Bayyinah, az Zilzal, an Nashr.
Selain dari itu turunnya di Mekkah.
Isi dari Al Quran itu banyak, di antaranya anjuran bertauhid, hukum-hukum syariat Islam, cara-cara beribadah, cara-cara pergaulan sesama manusia, pendidikan dan akhlak, bermacam-macam ilmu pengetahuan, pelbagai sejarah, soal-soal politik, sosial, ekonomi dan lain-lain.
Al Quran menjadi sumber hukum dalam Madzhab Syafi’i rahimahullah karena Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh mengikut apa yang termaktub dalam al Quran itu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : "Dan ta'atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”. (Ali Imran : 132).
Dan lagi Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Artinya : "Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Ali Imran : 32).
Dapat diambil kesimpulan bahwa hukum-hukum dalam Madzhab Imam Syafi’i sebagian besar berdasarkan Al Quran di samping dasar-dasar yang lain yaitu Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
b. Hadits atau Sunnah Nabi.
Dasar yang kedua dalam Madzhab Syafi’i rahimahullah ialah hadits-hadits atau Sunnah Nabi yaitu :
1. Perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
2. Perbuatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang bukan khusus bagi beliau.
3. Ketetapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas sesuatu yang di hadapan beliau.
Ketiganya inilah yang dinamakan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Inilah yang dijadikan sumber hukum ke dua dalam Madzhab Syafi’i.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
 ...وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ...
Artinya : "…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”. (AI Hasyr : 7).
Banyak ayat-ayat dalam al Quran yang menyuruh ummat Islam mengikuti Rasul-Nya, di antaranya sebagai yang kami tuliskan di atas pada Surat Ali Imran ayat ke 32 dan 132. Kesimpulannya kita wajib mengikuti Sunnah Rasul dan karena itu ia dijadikan sumber hukum.
Dari Harmalah bin Yahya beliau berkata :
قَالَ الشَّفِعِيُّ : كُلُّ مَاقُلْتُ , فَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلاَفَ قَوْلِى مِمَّايَصِحُّ, فَحَدِيْثُ النَّبِيُّ أَوْلَىوَلاَتُقَلِّدُوْنِى
Artinya : "Berkata Imam Syafi’i rahimahullah : Sekalian perkataan saya dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  berlawanan dengan itu dalam Hadits yang sahih, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah taqlidkepada saya". (Adaabus Syafi’i: 67).
Maksud Imam Syafi’i rahimahullah dengan perkataan ini ialah bahwa kalau terdapat perkataan beliau yang berlawanan dengan hadits yang sahih maka tinggalkanlah perkataan beliau itu, peganglah hadits dan janganlah mengikut perkataannya. Kalau berlawanan dengan hadits yang sahih, janganlah ijtihadnya diterima, tetapi kalau tidak berlawanan, terimalah. Inilah maksudnya.
Sekalian ucapan Imam Syafi'i yang seolah-olah melarang orang taqlid kepadanya, adalah maksudnya kalau kedapatan dalam ijtihadnya sesuatu yang bertentangan dengan hadits. Bukanlah melarang taqlid kepada beliau dalam fawa-fatwa dan ijtihad-ijtihad yang tidak berlawanan dengan al Quran dan Hadits. Hadits-hadits Nabi itu memang banyak sekali, rarusan ribu, karena 23 tahun Iamanya Nabi Muhammad menjadi Rasul. Semua ucapan beliau, semua perbuatan yang tidak khusus bagi beliau dan semua ketetapan beliau dalam masa 23 tahun itu menjadi sumber hukum dalam syari'at Islam yang wajib diikuti dan dipatuhi. Dalam masa 23 tahun itu semua ucapan Nabi, semua perbuatan Nabi, semua ketetapan Nabi didengar, dilihat dan dipelihara baik-baik dalam hati seluruh sahabat-sahabat Nabi yang selalu berkumpul sekeliling Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadits-hadits Nabi itu pada mulanya tidak dituliskan, melainkan hanya dihafal dan disimpan dalam hati oleh para sahabat, karena yang dituliskan ketika itu hanyalah ayat-ayat Quran saja. Sahabat-sahabat sengaja tidak menuliskan hadits-hadits itu karena takut akan campur aduk dengan Al Quran yang semuanya dituliskan. Sahabat-sahabat yang mendengar hadits-hadits itu menyampaikan pula apa yang didengarnya dari Nabi kepada para Sahabat yang tidak ada ketika itu bersama Nabi, dan kemudian Sahabat-sahabat yang mendengar ini menyampaikan pula dengan baik kepada generasi yang kedua yaitu para Tabi’in (orang-orang yang tidak berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari Tabi'in hadits-hadits itu diturunkan pula kepad a Tabi’ Tabi'in, yaitu generasi yang ketiga, yaitu orang_orang yang berjumpa dengan orang-orang yang telah berjumfa dengan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Barulah dalam permulaan abad ketiga, Imam Muhammad bin Ismail al Bukhari menuliskan hadits-hadits yang sampai kepada beliau dalam Kitab Haditsnya yang kemudian bernama Hadits Bukhari (lahir 194 H. dan wafat 256 H.).
Jadi menuliskan dan membukukan hadits-hadits itu adalah bid'ah (pekerjaan yang dibuat kemudian , yang tidak ada contohnya pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi merupakan “bid’ah hasanah” (bid’ah yang baik), bukan bid'ah yang tercela.
Kemudian datang Imam-imam Hadits yang lain yang menuliskan pula dalam bukunya masing-masing sekalian Hadits yang sampai kepadanya, diantatanya Imam Muslim (wafat 261 H), Imam Abu Dawud  (wafat 275 H.), Imam Nasai (wafat 302 H.) Imam Ibnu Majah (wafat 273 H.), Tirmidzi (wafat275 H.) dan lain-lain. Imam-imam Hadits ini sangat berat pekerjaannya karena beliau harus meneliti si rawi hadits-hadits itu satu persatu, yakni dari Nabi kepada siapa, kepada siapa lagi dan seterusnya. Oleh karena itu timbullah di kalangan ummat Islam sebuah ilmu baru yang dinamakan ilmu Musthalah Hadits. Orang-orang ini satu persatu diteliti keadaannya, sifatnya, hapalannya, tabi’atnya dan lain-lain sebagainya.
Pada masa Imam Syafi’i berijtihaj, yaitu tahun tahun 195 s/d 204 H., hadits-hadits ini belum terkumpul, belum ditulis hitam di atas putih dan karena itu sangat susah bagi beliau berijtihad. Tetapi beliau terkenal sebagai seorang Imam Mujtahid yang sangat mementingkan hadits-hadits untuk mencari dasar ijtihadnya, sehingga beliau terkenal dengan dengan gelar julukan “Nashirul Hadits” artinya orang yang menolong hadits. Dari Al Quran dan Hadits inilah Imam Syafi’i mengambil hukum-hukum Syari’at yang disebutkan dalam hukum fiqih. Kalau sudah ada nash yang nyata dalam Quran dan Sunnah, ditetapkan hukumnya sebagai tersebut dalam Quran dan Sunnah itu, tetapi kalau belum ada nash barulah Imam Syafi’i berijtihad.
Ijtihad itu dijalankan dalam soal-soal yang tidak ada nashnya yang nyata. Ijtihad itu pada hakikatnya bukanlah mengadakan syari’at baru, tetapi menggali syari’at itu dari lubuk Al Quran dan melahirkan syari’at yang pada hakikatnya sudah ada tersirat dalam Al Quran dan Hadits. Dengan demikian ummat Islam dengan pertolongan Imam Mujtahid dapat mengamalkan Al Quran dan Hadits dengan arti yang sebenarnya, tetapi juga sekalian yang tersirat.

Contohnya firman Allah subhanahu wa ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ...
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,…”. (AI Maidah : 6).
Kalau kita lihat secara zhahir ayat ini, maka kita akan mendapat kesimpulan bahwa :
1. Wudhu’ itu dilakukan setelah shalat
2. Wudhu’ itu membasuh muka dan tangan, serta menyapu kepala dan kaki.
3. Rukun wudhu’ itu hanya empat
Tetapi Imam Syafi’i sesudah memperhatikan ayat yang lain dalam al Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertalin dengan wudhu’ ini, berpendapat :
1.       Berwudhu sebelum mengerjakan shalat, bukan sesudahnya
2.       Berwudhu’ adalah membasuh muka, tangan dan kaki. Yang disapu hanya kepala, bukan seluruh kepala tetapi cukup sebagian kepala
3.       Rukun wudhu’ menjadi 6, dengan menambahkan :
a.       Niat (berniat)
b.      Tertib, yakni mengerjakannya harus menurut yang diterangkan oleh Allah, yaitu muka dahulu, baru tangan dan menyapu kepala dan kemudian membasuh kaki. Jangan dibalik.
Semuanya diambil oleh Imam Syafi’i rahimahullah dari intisari ayat ini dan juga hadits-hadits yang bertalian dengan wudhu’ ini. Dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk rukun wudhu’ dari 4 menjadi 6 adalah :
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَاالْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya : “Bahwasanya amal ibadat itu harus dengan niat, dan manusia mendapat upah sesuai dengan niatnya masing-masing.”
Oleh karena wudhu’ itu suatu amal ibadat, maka Imam Syafi’i berpendapat bahwa niat itu adalah rukun wudhu’, sebagai tambahan dari apa yang ada dalam al Quran surat al Maidah ayat 6 di atas. Kemudian ditambah lagi rukun yang lain menurut ayat 6 dari surat al Maidah, dengan mendahulukan membasuh muka dan niat, kemudian membasuh tangan, kemudian menyapu kepala, dan kemudian menyapu kaki dan tidak boleh dibalik dengan mendahulukan yang kemudian. Tertib ini tidak secara terang dijelaskan oleh al Quran, akan tetapi Imam Syafi’i menambahkan menjadi rukun, karena seluruh hadits yang bertalian dengan wudhu’ didapatinya menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berwudhu’ dengan tertib seperti petunjuk ayat al Quran di atas.Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
هَذَاوُضُوْءٌ لاَيَقْبَلُ اللهُ الصَّلاَةَ إَلاَّبِهِ
Artinya : “Inilah wudhu’ yang Allah tidak akan menerima shalat, kalau tidak berwudhu’ macam ini.” (HR Bukhari).
Di samping itu Imam Syafi’i sesudah memperhatikan ayat ini dalam-dalam lantas berpendapat bahwa tertib itu perlu, karena Allah telah mengatur dalam ayat kesatu membasuh muka, kedua membasuh tangan, ketiga menyapu kepala, dan keempat membasuh kaki. Nomor tiga yaitu menyapu kepala diletakkan antara membasuh tangan dan membasuh kaki. Andaikata tertib itu tidak penting tentu ayat ini akan berbunyi “Maka basuhlah mukamu, tangan dan kakimu dan sapulah kepalamu.” Tetapi berbunyi “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.”
a.       Ijma’ (Kesepakatan Imam-imam Mujtahid)
Sumber hukum yang ketiga dalam Madzhab Syafi’i adalah Ijma’, yaitu kesepakatan Imam-imam Mujtahid yang ada dalam suatu masa tentang hukum sesuatu. Umpamanya :
1.       Pada masa zaman Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, sahabat-sahabat Nabi bersepakat fatwanya dalam hitungan rakaat shalat tarawih 20 rakaat. Telah sepakat pula bahwa shalat tarawih itu dilakukan setiap malam bulan Ramadhan. Kedua hal ini sesuai dengan anjuran Umar bin Khattab  radhiyallahu ‘anhu, Khalifah Nabi yang kedua. Pada ketika itu tidak ada seorangpun diantara sahabat-sahabat Nabi dan Imam-imam Mujtahid yang membantah atau menolak, melainkan semuanya menyetujui. Kesepakatan mereka semuanya itu adalah sebagai hujjah yaitu dijadikan sebagai dalil syari’at.
2.       Telah sepakat (ijma’) sahabat-sahabat Nabi di zaman Khalifah Usman bin ‘Affan radhiyallahu a’nhu, bahwa al Quran yang disepakati adalah Quran yang dikumpulkan oleh Usman bin ‘Affan, Sahabat Nabi Khalifah yang ketiga.  Andaikata ada Quran lain yang susunannya tidak sama dengan yang disusun oleh Usman bin ‘Affan radhiyallahu a’nhu, maka Quran semacam ini tidak akan diterima lagi. Quran yang bertebaran di Indonesia, alhamdulaillah seperti yang disusun oleh Usman bin ‘Affan radhiyallahu a’nhu.
Imam Syafi’i rahimahullah menulis dalam Ar Risalah :
أَخْبَرَنَاسُفْيَانُ عَنْ عَبْدِالْمُلْكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ بْنِ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : نَضَّرَ اللهُ امْرَأَسَمِعَ مَقَالَتِىْ فَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا وَأَدَّهَا فَرُبَّ حَامَلِ فِقْهٍ غَيْرُ فَقِيْهٍ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلىَ مَنْ هُوَأَفْقَهُ مِنْهُ, ثَلاَثٌ لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَالنَّصِيْحَةُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَلُزُوْمُ جَمَاعَتِهِمْ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Artinya : “Mengabarkan pada kami Sufyan (bin Uyainah) diterimanya dari Abdulmalik bin Umar, diambilnya dari Abdurrahman bin Abdillah bin Mas’ud, diambilnya dari bapaknya yaitu Abdillah bin Mas’ud (seorang sahabat Nabi) bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Mencemerlangkan Allah akan manusia yang mendengar ucapan-ucapanku, maka dipeliharanya, disimpannya dan disampaikannya kepada orang lain. Banyak orang pembawa fiqih tapi ia tidak ahli fiqih, diberinya kepada orang yang lebih fiqih daripadanya. Ada tiga soal yang tidak bisa dikhianatinya oleh hati orang Islam, yaitu :
a.      Keikhlasan amal untuk Allah
b.      Memberi nasehat sesama Muslim dan
c.       Menepati kesepakatan mereka. Maka ajaran-ajaran mereka mengikat orang-orang yang datang di belakang mereka. (Ar Risalah : 402)
Jelas dalam hadits ini bahwa Nabi menyuruh kita untuk menetapi apa yang disepakati oleh Ummat Islam, dalam hal ini tentu Imam-imam Mujtahidnya.
Dan ada lagi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi :
لاَتَجْتَمِعُ أُمَتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ
Artinya : ”Ummatku tidak akan bersepakat atas kesalahan.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits ini m,erupakan jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kesepakatan ummatnya itu tidak akan bisa tersalah, karena itu wajib diikuti.
Dalam Al Quran termaktub pula :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya :  Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An Nisa’ : 115)
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa barangsiapa yang tidak mau melaui jalan yang telah ditetapkan atau digariskan oleh ummat Islam maka ia akan dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka. Dengan kata lain boleh dikatakan, “Siapa saja diancam akan disiksa oleh Allah subhanahu wa ta’ala nanti, kalau ia melanggar ketetapan yang telah disepakati oleh ummat Islam, yang dalam hal ini Imam-imam Mujtahid.” Oleh karena itu kita wajib menerima Ijma’ (kesepakatan)
d. Qiyas (Perbandingan antara satu dengan yang lain).
Imam Syafi’i rahimahullah  mendasarkan Madzhabnya atas qiyas, yaitu perbandingan menyerupakan hukum masalah yang baru dengan hukum masalah yang serupa dengan yang telah terjadi lebih dahulu. Contohnya : Di dalam hadits-hadits diterangkan bahwa gandum kalau sampai satu nisab, wajib dizakatkan. Tapi padi tidak tersebut dalam hadits. Imam Syafi’i rahimahullah membandingkan menyerupakan padi dengan gandum, sama-sama wajib dizakarkan kalau sampai satu nisab, karena keduanya sama-sama tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan pokok. Itulah contohnya qiyas.
Imam Syafi’i berkata dalam kitab ar Risalah :
لَيْسَ لِأَحَدٍ أَبَدًاأَنْ يَقُوْلَفِى شَىْءٍ حَلَّ وَلاَحَرَمَ إِلاَّمِنْ جَهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةُ الْعِلْمِ الْخَبَرُ فِى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعُ أَوِالْقِيَاسِ 
Artinya : "Tidak boleh bagi seseorang mengatakan ini halal atau itu haram, kecuali kalau berdasar ilmu. AsaI ilmu ini ialah Kitab Suci, Sunnah Nabi, ljma' dan Qiyas". (Ar Risalah : halaman 39).
Jadi qiyas adalah satu sumber hukum dalam Madzhab Syafi’i. Kalau kita perhatikan Quran dan Hadits-hadits Nabi nyatalah bahwa Qiyas itu adalah suatu hal yang penting, yang banyak disinggung dalam al Quran dan Hadits, maka karena itu ia pantas menjadi sumber hukum. Qiyas itu terasa pentingnya untuk perkembangan Islam, karena dengan qiyas itu ummat Islam dapat melanjutkan agamanya dari abad ke abad dan dari zamanke zaman. Quran dan hadits Nabi terbatas, dan sudah terhenti turunnya, sedangkan kejadian-kejadian di tengah masyarakat berjalan terus, berkembang terus dan bertambah terus. Kalau kita tidak memakai qiyas, bagaimana menetapkan hukum agama dalam persoalan yang baru terjadi ? Dengan adanya qiyas, Imam-imam Mujtahid dapat mengadakan hukum, yaitu dengan membandingkan hal-hal yang terjadi sekarang dengan yang terjadi dahulu. Karena itu Imam-imam yang empat sepakat menetapkan bahwa qiyas adalah suatu dalil syar’i. Yang tidak menerima qiyas adalah orang-orang Mu’tazilah atau orang sesat. Marilah kita perhatikan ayat Quran yang bertalian dengan qiyas. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
...فَسَيَقُولُونَ مَن يُعِيدُنَا ۖ قُلِ الَّذِي فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ ۚ... 
Artinya : “…Maka mereka akan bertanya: "Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?" Katakanlah: "Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama"… (QS Al Isra’ : 51)
Orang-orang kafir dan tidak mengakui akan hidup kembali dan dengan mencemooh mereka bertanya, “Kalau kami sudah menjadi tulang yang berserakan, siapakah yang sanggup menghidupkan kami kembali?” Lalu Allah menjawab, “Dulu kamu tidak ada sama sekali lalu Kami menjadikan kamu dengan mudah, maka sekarang sama juga dengan itu, walaupun sudah menjadi tulang yang berserakan, Kami kuasa untuk menghidupkan kembali, bahkan lebih mudah dari dahulu.” Ini adalah qiyas perbandingan.
Dalam ayat lain Allah berfirman  :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ ۚإِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۚ إِنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya : " Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushilat : 39).
Ini juga qiyas, yakni dibandingkan hidupnya orang mati, seperti tanah yang mulanya tandus tetapi kemudian menjadi tumbuh.
Dan lagi firman  Allah subhanahu wa ta’ala :
لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : " Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ghafir : 57)
Ayat ini qiyas/ perbandingan juga. Allah mengatakan, kenapakah kamu heran kalau manusia yang sudah mati dihidupkan kembali, sedangkan menjadikan langit dan bumi yang lebih besar daripada itu Allah Mahakuasa?
Dalam ayat yang lain Allah sudah menerangkan siksa-siksa yang ditimpakan kepada orang kafir yang dulu-dulu, dengan firman-Nya;
أَكُفَّارُكُمْ خَيْرٌ مِّنْ أُولَـٰئِكُمْ أَمْ لَكُم بَرَاءَةٌ فِي الزُّبُرِ
Artinya : " Apakah orang-orang kafir diantaramu (hai kaum musyrikin) lebih baik dari mereka (orang-orang kafir yang dulu) itu, atau apakah kamu telah mempunyai jaminan kebebasan (dari azab) dalam Kitab-kitab yang dahulu?” . (QS Al Qamar : l3).
Pada ayat ini Allah mengadakan perbandingan / qiyas ; Orang kafir yang dulu-dulu dihukum karena mereka mendustakan Rasul, dan kamu orang- kafir sekarang tentu akan dihukum juga karena kamu mendustakan Rasul pula.
Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan :
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۖ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا
Artinya : "Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS. Muhammaat : 10).
Nah, di dalam Al Quran banyak sekali kedapatan perbandingan itu di mana biasanya dipakai dalam berdebat menundukkan orang-orang kafir.
Di dalam hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun didapati perbandingan-perbandingan demikian itu. Tersebut dalam hadits Bukhari, begini :
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا؟ قَالَ نَعَمْ, حُجِّى عَنْهَاأَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمُّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ؟ اُقْضُواللهَ فَاللهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Artinya :"Bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata : " Bahwasanya ibuku bernazar untuk naik haji, tetapi ia meninggal sebelum membayarkan nazarnya itu . Apakah dapat saya bayar naik hajinya itu ? " Rasulullah menjawab. "Ya, naik hajilah menggantikannya, manakala ibumu umpamanya berhutang tentu engkau bayar. Demikian pula hutang kepada Allah lebih pantas untuk dibayar" (Hadits ini sahih, Riwayat lmam Bukhari).
Dalam Hadits ini Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil perbandingan juga. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata sebagai tersebut dalam Hadits Bukhari dan Muslim, begini:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَايَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
Artinya: "Apa yang diharamkan karena seketurunan diharamkan pula bagi orang yang satu persusuan".
Maksudnya, kalau dua orang bersaudara tidak boleh kawin-mengawini begitu juga orang-orang yang menyusu kepada satu ibu tidak boleh pula kawin-mengawini. Ini juga qiyas, yaitu disamakan orang yang bersaudara karena pertalian dan dengan orang yang bersaudara karena pertalian air susu, yang hukumnya sama-sama tidak boleh kawin-mengawini.
Teranglah bahwa perbandingan-perbandingan itu dipakai oleh Allah subhanahu wa ta'ala di dalam al Quran dan dipakai pula oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam penjelasannya. Selain daripada itu Allah berfirman dalam Al Quran :
…فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya : "Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. AI-Hasyr : 2). 

Ayat ini menganjurkan agar kita mengambil i'tibar, mengambil perbandingan dan menyerupakan yang satu dengan yang lain kalau ada pertaliannya. Sebagai contoh dalam persoalan qiyas ini, baiklah kami terangkan beberapa hal yang diambil dari Al Quran yang dipakai dalam Madzhab Syafi'i.
Dalam Al Quran, surat Isra' ayat 23 tersebut begini ;
 …فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya : "… maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.". (QS. Isra' : 23).
Dalam ayat ini yang dilarang ialah menghardik dan mengatakan "cis", atau “ah” tapi tidak ada larangan menampar atau menyepak. Bagaimana kalau ibu ditampar atau disepak ? O, hukumnya haram juga, karena disamakan/diqiyaskan dengan kata-kata menghardik dan mengatakan “cis” atau “ah” yakni sama-sama menyakiti.
Di dalam Al-Quran diterangkan begini:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ
Artinya : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,…". (AI Maidah : 3).
Di dalam ayat ini diantaranya diterangkan haram memakan daging babi. Adapun tulangnya, limpanya dan kulitnya tidak diterangkan dalam ayat ini. Imam Syafi’i berpendapat bahwa tulang, limpa dan kulit babi haram juga dimakan karena diqiyaskan kepada dagingnya. Begitulah keadaan qiyas yang dijadikan dasar dalam Madzhab Syafi’i rahimahullah Inilah 4 dasar Madzhab Imam Syafi'i rahimahullah.  Ke-empat, dasar ini telah diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dalam fitman-Nya pada Surat An Nisa' : 59, begini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ….
Artinya : " Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),"... (An Nisa' : 59).
"Tafsir Jamal" mengatakan bahwa ayat ini memberi isyarat kepada dalil fiqih yang empat, yaitu :
1,. Ikutlah Allah, maksudnya Kitabullah.
2. Ikutlah Rasul, maksudnya Sunnah Rasul
3. Ikutlah Ulil Amri, maksudnya Ijma'.

4. Kalau berselisih kembalilah kepada Kitab Allah dan Rasul, maksudnya "qiyas", dengan arti kalau berselisih tentang hukum sesuatu karena tak ada keterangannya yang nyata maka qiyaskanlah yang ada dalam Quran dan Hadits. (Shawi Jilid I halaman 390).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar