Sumber hukum syari'at
dalam Madzhab Syafi’i ada 4,yaitu :
1. Kitab Suci Al Quran.
2. Hadits-hadits atau
Sunnah Nabi.
3. Ijma' (kesepakatan
Imam-imam Mujtahid dalam satu masa).
4. Qiyas (perbandingan
antara yang satu dengan yang lain).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitab Ar Risalah, begini
:
لَيْسَ
لِأَحَدٍأَبَدًاأَنْ يَقُوْلُ فِى شَيْءٍحَلَّ وَلاَحَرُمَ إِلاَّمِنْ جِهَةِ
الْعِلْمِ, وَجِهَةُ الْعِلْمِ الْخَبَرُ فِى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
وَالْإِجْمَاعُ أَوِالْقِيَاسُ
Artinya : "Tidak boleh seorang
mengatakan dalam hukum sesuatu, ini halal dan ini haram, kecuali kalau ada
pengetahuannya tentang itu. Pengetahuan itu ialah dari Kitab Suci, Sunnah
Rasul, Ijma' dan Qiyas”. (Ar
Risalah : 39).
Dan dalam menerangkan
dasar-dasar madzhab beliau, Imam Syafi'i rahimahullah berkata:
اَلْأَصْلُ
قُرْآنٌ وَسُنَّةٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقِيَاسٌ عَلَيْهِمَا, وَاِذَاتَّصَلَ
الْحَدِيْثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَصَحَّ الْإِسْنَادُفَهُوَسُنَّةٌ. وَالْإِجْمَاعُ
اَكَبَرُمِنَ الْخَبَرِالْمُنْفَرِدِ. وَالْحَدِيْثُ عَلَى ظَاهِرِهِ,
وَاِذَااحْتَمَلَ مَعَانِى فَمَاأَشَبَهَ مِنْهَاظَاهِرُهُ أَوْلاَهَا, وَاِذَاتَكَافَأَتِالْأَحَادِيْثُ
فَأَصَحُّهَاإِسْنَادًاأَوْلاَهَا, وَلَيْسَ الْمُنْقَطِعُ
بِشَيْءٍمَاعَدَامُنْقَطِعَ ابْنِ الْمُسَيَّبِ. وَلاَيُقَاسُ أَصْلٌ عَلَى أَصْلٍ,
وَلاَيُقَالُ لِلْأَصْلِ لِمَ وَكَيْفَ؟ وَإِنَّمَايُقَالُ لِلْفُرُوْعِ لِمَ؟
فَإِذَاصَحَّ قِيَاسُهُ عَلَى الْأَصْلِ صَحَّ وَقَامَتْ بِهِ حَجَّةٌ
Artinya : "Yang
menjadi pokok adalah Quran dan Sunnah. Kalau tidak ada dalam Quran dan sunnah
baruIah Qiyas kepada keduanya. Kalau sebuah hadits dari Rasulullah sudah shahih
sanadnya maka itulah sunnah. Ijma' lebih besar dari kabar orang perorang.
Hadits-hadits itu diartikan menurut zhahir lafaznya, tetapi kalau artinya
banyak maka yang dekat kepada yang zhahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan
banyak hadits, maka yang paling shahih sanadnya itulah yang didahulukan.
Hadits munqathi’ (yang tidak sampai sanadnya kepada Rasulullah) tidak diteima,
kecuali munqathi’ yang dikatakan (diriwayatkan) oleh sahabat Said Ibnul Musayyab.
"AsaI” tidak diqiyaskan kepada "asal". AsaI tidak ditanya
"kenapa dan bagaimana? Hal ini boleh ditanyakan kepada furu’ “kenapa” ?
Kalau sudah ada qiyas furu’ kepada asal maka itu adalah suatu dalil (hujjah).
Dapat disimpulkan maksud
perkataan beliau ini :
1. Sumber/dasar yang
pertama, Quran dan Hadits.
2. Kalau tidak berjumpa
dalam Quran dan Hadits, barulah dipakai Qiyas (perbandingan).
3. Sumber hukum juga
ialah Ijma’ (kesepakatan), dan hal ini lebih tinggi mutunya dari Hadits Ahad
(yang sejurusan sanadnya).
4. Hadits-hadits
diartikan menuru t zhahirnya, tetapi kalau banyak arti lafaznya maka dipakai
yang lebih dekat kepada zhahirnya.
5. Kalau banyak hadits
yang serupa, maka lebih baik yang dipakai ialah yang paling sahih sanadnya
(perawinya yang lebih masyhur).
6. Hadits-hadits
munqathi' tidak dipakai, terkecuali hadits dari Said bin Musayyab.
7. AsaI sama asal tidak
diqiyaskan.
8. Asal (Hadits dan
Quran) tidak boleh ditanya lagi kenapa dan betapa.
9. Yang boleh ditanya
kenapa begitu, ialah “furu’”
10. Qiyas kalau sudah
benar, maka itu hujah (dalil) yang sah.
Keterangannya lebih
lanjut :
a. Kitab Suci Al-Quran.
Kitab Suci Al Quran
sebagai dimaklumi terbagi atas 30 Juz, 114 Surat, 6236 ayat dan 304.740 huruf.
Ayat yang mula-mula
turun ialah "lqra’” (bacalah) pada Surat 'Al Qalam" dan yang paling
penghabisan turunnya ialah ayat “Al Yauma" dalam Surat Al-Maidah 3.
Tanggal mula-mula turun
pada 17 Ramadhan tahun 41 dari hari lahir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tanggal penghabisan turun pada
hari Arafah dalam Haji Wada'.
Lamanya Al Quran turun
dalam masa 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.
Ayat-ayat Al Quran
dibagi dua, yang pertama turun ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam di Mekkah
yang dinamakan ayat MAKKI dan yang kedua turun di Madinah yang dinamakan ayat
MADANI.
Lamanya Nabi di Mekkah
12 tahun 5 bulan dan 13 hari, sedang di Madinah 9 tahun 9 bulan dan 9 hari.
19 / 30% Quran
diturunkan di Mekkah dan 11/ 30% diturunkan di Madinah.
Seperti dikatakan di
atas bahwa Quran terbagi atas 114 Surat tetapi yang turun di Madinah hanya 28
Surat, sedang selebihnya turun ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam di Mekkah.
Surat yang turun di
Madinah adalah: al Baqarah, Ali Imran, an Nisa', al Maidah, al Anfal, at
Taubah, ar Ra’d, al Haj, an Nur, al Ahzab, Muhammad, al Fath, al Hujurah, ar
Rahman, al Hadid, al Mujadalah, al Hasyr, al Mumtahinah, as Shaf, al Jum’ah, al
Munafiqun, at Taghabun, at Thalaq, at Tahrim, al Insan, al Bayyinah, az Zilzal,
an Nashr.
Selain dari itu turunnya
di Mekkah.
Isi dari Al Quran itu
banyak, di antaranya anjuran bertauhid, hukum-hukum syariat Islam, cara-cara
beribadah, cara-cara pergaulan sesama manusia, pendidikan dan akhlak,
bermacam-macam ilmu pengetahuan, pelbagai sejarah, soal-soal politik, sosial,
ekonomi dan lain-lain.
Al Quran menjadi sumber
hukum dalam Madzhab Syafi’i rahimahullah karena Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh mengikut apa yang termaktub
dalam al Quran itu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : "Dan ta'atilah Allah dan
Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”. (Ali Imran : 132).
Dan lagi Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
قُلْ
أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Artinya : "Katakanlah: "Ta'atilah
Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir". (Ali Imran : 32).
Dapat diambil kesimpulan
bahwa hukum-hukum dalam Madzhab Imam Syafi’i sebagian besar berdasarkan Al
Quran di samping dasar-dasar yang lain yaitu Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
b. Hadits atau Sunnah
Nabi.
Dasar yang kedua dalam
Madzhab Syafi’i rahimahullah ialah hadits-hadits atau Sunnah Nabi
yaitu :
1. Perkataan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam
2. Perbuatan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam yang bukan khusus
bagi beliau.
3. Ketetapan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam atas sesuatu yang di
hadapan beliau.
Ketiganya inilah yang
dinamakan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Inilah yang dijadikan sumber hukum ke
dua dalam Madzhab Syafi’i.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
...وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ...
Artinya : "…Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah…”. (AI Hasyr :
7).
Banyak ayat-ayat dalam
al Quran yang menyuruh ummat Islam mengikuti Rasul-Nya, di antaranya sebagai
yang kami tuliskan di atas pada Surat Ali Imran ayat ke 32 dan 132.
Kesimpulannya kita wajib mengikuti Sunnah Rasul dan karena itu ia dijadikan
sumber hukum.
Dari Harmalah bin Yahya
beliau berkata :
قَالَ
الشَّفِعِيُّ : كُلُّ مَاقُلْتُ , فَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خِلاَفَ قَوْلِى مِمَّايَصِحُّ, فَحَدِيْثُ النَّبِيُّ أَوْلَىوَلاَتُقَلِّدُوْنِى
Artinya : "Berkata
Imam Syafi’i rahimahullah : Sekalian perkataan saya dan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam berlawanan dengan itu dalam Hadits yang
sahih, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah taqlidkepada
saya". (Adaabus Syafi’i: 67).
Maksud Imam Syafi’i rahimahullah dengan perkataan ini ialah bahwa kalau
terdapat perkataan beliau yang berlawanan dengan hadits yang sahih maka
tinggalkanlah perkataan beliau itu, peganglah hadits dan janganlah mengikut
perkataannya. Kalau berlawanan dengan hadits yang sahih, janganlah ijtihadnya
diterima, tetapi kalau tidak berlawanan, terimalah. Inilah maksudnya.
Sekalian ucapan Imam
Syafi'i yang seolah-olah melarang orang taqlid kepadanya, adalah maksudnya
kalau kedapatan dalam ijtihadnya sesuatu yang bertentangan dengan hadits.
Bukanlah melarang taqlid kepada beliau dalam fawa-fatwa dan ijtihad-ijtihad
yang tidak berlawanan dengan al Quran dan Hadits. Hadits-hadits Nabi itu memang
banyak sekali, rarusan ribu, karena 23 tahun Iamanya Nabi Muhammad menjadi
Rasul. Semua ucapan beliau, semua perbuatan yang tidak khusus bagi beliau dan
semua ketetapan beliau dalam masa 23 tahun itu menjadi sumber hukum dalam
syari'at Islam yang wajib diikuti dan dipatuhi. Dalam masa 23 tahun itu semua
ucapan Nabi, semua perbuatan Nabi, semua ketetapan Nabi didengar, dilihat dan
dipelihara baik-baik dalam hati seluruh sahabat-sahabat Nabi yang selalu
berkumpul sekeliling Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
Hadits-hadits Nabi itu
pada mulanya tidak dituliskan, melainkan hanya dihafal dan disimpan dalam hati
oleh para sahabat, karena yang dituliskan ketika itu hanyalah ayat-ayat Quran
saja. Sahabat-sahabat sengaja tidak menuliskan hadits-hadits itu karena takut
akan campur aduk dengan Al Quran yang semuanya dituliskan. Sahabat-sahabat yang
mendengar hadits-hadits itu menyampaikan pula apa yang didengarnya dari Nabi
kepada para Sahabat yang tidak ada ketika itu bersama Nabi, dan kemudian
Sahabat-sahabat yang mendengar ini menyampaikan pula dengan baik kepada
generasi yang kedua yaitu para Tabi’in (orang-orang yang tidak berjumpa dengan
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Dari Tabi'in
hadits-hadits itu diturunkan pula kepad a Tabi’ Tabi'in, yaitu generasi yang
ketiga, yaitu orang_orang yang berjumpa dengan orang-orang yang telah berjumfa
dengan sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Barulah dalam permulaan abad ketiga, Imam Muhammad bin
Ismail al Bukhari menuliskan hadits-hadits yang sampai kepada beliau dalam
Kitab Haditsnya yang kemudian bernama Hadits Bukhari (lahir 194 H. dan wafat
256 H.).
Jadi menuliskan dan
membukukan hadits-hadits itu adalah bid'ah (pekerjaan yang dibuat kemudian ,
yang tidak ada contohnya pada masa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, tetapi merupakan “bid’ah hasanah” (bid’ah yang baik),
bukan bid'ah yang tercela.
Kemudian datang
Imam-imam Hadits yang lain yang menuliskan pula dalam bukunya masing-masing
sekalian Hadits yang sampai kepadanya, diantatanya Imam Muslim (wafat 261 H),
Imam Abu Dawud (wafat 275 H.), Imam Nasai (wafat 302 H.) Imam Ibnu Majah
(wafat 273 H.), Tirmidzi (wafat275 H.) dan lain-lain. Imam-imam Hadits ini sangat
berat pekerjaannya karena beliau harus meneliti si rawi hadits-hadits itu satu
persatu, yakni dari Nabi kepada siapa, kepada siapa lagi dan seterusnya. Oleh
karena itu timbullah di kalangan ummat Islam sebuah ilmu baru yang dinamakan
ilmu Musthalah Hadits. Orang-orang ini satu persatu diteliti keadaannya,
sifatnya, hapalannya, tabi’atnya dan lain-lain sebagainya.
Pada masa Imam Syafi’i
berijtihaj, yaitu tahun tahun 195 s/d 204 H., hadits-hadits ini belum
terkumpul, belum ditulis hitam di atas putih dan karena itu sangat susah bagi
beliau berijtihad. Tetapi beliau terkenal sebagai seorang Imam Mujtahid yang
sangat mementingkan hadits-hadits untuk mencari dasar ijtihadnya, sehingga
beliau terkenal dengan dengan gelar julukan “Nashirul Hadits” artinya orang
yang menolong hadits. Dari Al Quran dan Hadits inilah Imam Syafi’i mengambil
hukum-hukum Syari’at yang disebutkan dalam hukum fiqih. Kalau sudah ada nash
yang nyata dalam Quran dan Sunnah, ditetapkan hukumnya sebagai tersebut dalam
Quran dan Sunnah itu, tetapi kalau belum ada nash barulah Imam Syafi’i
berijtihad.
Ijtihad itu dijalankan
dalam soal-soal yang tidak ada nashnya yang nyata. Ijtihad itu pada hakikatnya
bukanlah mengadakan syari’at baru, tetapi menggali syari’at itu dari lubuk Al
Quran dan melahirkan syari’at yang pada hakikatnya sudah ada tersirat dalam Al
Quran dan Hadits. Dengan demikian ummat Islam dengan pertolongan Imam Mujtahid
dapat mengamalkan Al Quran dan Hadits dengan arti yang sebenarnya, tetapi juga
sekalian yang tersirat.
Contohnya firman Allah subhanahu wa ta’ala :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ...
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki,…”. (AI Maidah :
6).
Kalau kita lihat secara
zhahir ayat ini, maka kita akan mendapat kesimpulan bahwa :
1. Wudhu’ itu dilakukan
setelah shalat
2. Wudhu’ itu membasuh
muka dan tangan, serta menyapu kepala dan kaki.
3. Rukun wudhu’ itu
hanya empat
Tetapi Imam Syafi’i
sesudah memperhatikan ayat yang lain dalam al Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertalin dengan wudhu’ ini,
berpendapat :
1. Berwudhu sebelum mengerjakan shalat,
bukan sesudahnya
2. Berwudhu’ adalah membasuh muka, tangan
dan kaki. Yang disapu hanya kepala, bukan seluruh kepala tetapi cukup sebagian
kepala
3. Rukun wudhu’ menjadi 6, dengan
menambahkan :
a. Niat (berniat)
b. Tertib, yakni mengerjakannya harus
menurut yang diterangkan oleh Allah, yaitu muka dahulu, baru tangan dan menyapu
kepala dan kemudian membasuh kaki. Jangan dibalik.
Semuanya diambil oleh
Imam Syafi’i rahimahullah dari intisari ayat ini dan juga
hadits-hadits yang bertalian dengan wudhu’ ini. Dalil-dalil yang dijadikan
dasar untuk rukun wudhu’ dari 4 menjadi 6 adalah :
Dalam hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَاالْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya : “Bahwasanya
amal ibadat itu harus dengan niat, dan manusia mendapat upah sesuai dengan
niatnya masing-masing.”
Oleh karena wudhu’ itu
suatu amal ibadat, maka Imam Syafi’i berpendapat bahwa niat itu adalah rukun
wudhu’, sebagai tambahan dari apa yang ada dalam al Quran surat al Maidah ayat
6 di atas. Kemudian ditambah lagi rukun yang lain menurut ayat 6 dari surat al
Maidah, dengan mendahulukan membasuh muka dan niat, kemudian membasuh tangan,
kemudian menyapu kepala, dan kemudian menyapu kaki dan tidak boleh dibalik
dengan mendahulukan yang kemudian. Tertib ini tidak secara terang dijelaskan
oleh al Quran, akan tetapi Imam Syafi’i menambahkan menjadi rukun, karena
seluruh hadits yang bertalian dengan wudhu’ didapatinya menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berwudhu’ dengan tertib
seperti petunjuk ayat al Quran di atas. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
هَذَاوُضُوْءٌ
لاَيَقْبَلُ اللهُ الصَّلاَةَ إَلاَّبِهِ
Artinya : “Inilah
wudhu’ yang Allah tidak akan menerima shalat, kalau tidak berwudhu’ macam ini.” (HR Bukhari).
Di samping itu Imam
Syafi’i sesudah memperhatikan ayat ini dalam-dalam lantas berpendapat bahwa
tertib itu perlu, karena Allah telah mengatur dalam ayat kesatu membasuh muka,
kedua membasuh tangan, ketiga menyapu kepala, dan keempat membasuh kaki. Nomor
tiga yaitu menyapu kepala diletakkan antara membasuh tangan dan membasuh kaki.
Andaikata tertib itu tidak penting tentu ayat ini akan berbunyi “Maka
basuhlah mukamu, tangan dan kakimu dan sapulah kepalamu.” Tetapi berbunyi “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai ke siku, sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.”
a. Ijma’ (Kesepakatan Imam-imam Mujtahid)
Sumber hukum yang ketiga
dalam Madzhab Syafi’i adalah Ijma’, yaitu kesepakatan Imam-imam Mujtahid yang
ada dalam suatu masa tentang hukum sesuatu. Umpamanya :
1. Pada masa zaman Khalifah Umar bin
Khattab radhiyallahu ‘anhu, sahabat-sahabat Nabi bersepakat
fatwanya dalam hitungan rakaat shalat tarawih 20 rakaat. Telah sepakat pula
bahwa shalat tarawih itu dilakukan setiap malam bulan Ramadhan. Kedua hal ini
sesuai dengan anjuran Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu, Khalifah Nabi yang
kedua. Pada ketika itu tidak ada seorangpun diantara sahabat-sahabat Nabi dan
Imam-imam Mujtahid yang membantah atau menolak, melainkan semuanya menyetujui.
Kesepakatan mereka semuanya itu adalah sebagai hujjah yaitu dijadikan sebagai
dalil syari’at.
2. Telah sepakat (ijma’) sahabat-sahabat
Nabi di zaman Khalifah Usman bin ‘Affan radhiyallahu
a’nhu, bahwa al Quran yang disepakati adalah Quran yang dikumpulkan oleh
Usman bin ‘Affan, Sahabat Nabi Khalifah yang ketiga. Andaikata ada Quran
lain yang susunannya tidak sama dengan yang disusun oleh Usman bin ‘Affan radhiyallahu a’nhu, maka Quran semacam ini tidak akan
diterima lagi. Quran yang bertebaran di Indonesia, alhamdulaillah seperti yang
disusun oleh Usman bin ‘Affan radhiyallahu
a’nhu.
Imam Syafi’i rahimahullah menulis dalam Ar Risalah :
أَخْبَرَنَاسُفْيَانُ
عَنْ عَبْدِالْمُلْكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ
بْنِ مَسْعُوْدٍ بْنِ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : نَضَّرَ اللهُ امْرَأَسَمِعَ مَقَالَتِىْ فَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا
وَأَدَّهَا فَرُبَّ حَامَلِ فِقْهٍ غَيْرُ فَقِيْهٍ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلىَ
مَنْ هُوَأَفْقَهُ
مِنْهُ, ثَلاَثٌ لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلاَصُ الْعَمَلِ
لِلَّهِ وَالنَّصِيْحَةُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَلُزُوْمُ جَمَاعَتِهِمْ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ
تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Artinya : “Mengabarkan
pada kami Sufyan (bin Uyainah) diterimanya dari Abdulmalik bin Umar, diambilnya
dari Abdurrahman bin Abdillah bin Mas’ud, diambilnya dari bapaknya yaitu Abdillah
bin Mas’ud (seorang sahabat Nabi) bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda : Mencemerlangkan Allah akan manusia yang mendengar
ucapan-ucapanku, maka dipeliharanya, disimpannya dan disampaikannya kepada
orang lain. Banyak orang pembawa fiqih tapi ia tidak ahli fiqih, diberinya
kepada orang yang lebih fiqih daripadanya. Ada tiga soal yang tidak bisa
dikhianatinya oleh hati orang Islam, yaitu :
a. Keikhlasan amal untuk Allah
b. Memberi nasehat sesama Muslim dan
c. Menepati kesepakatan mereka. Maka
ajaran-ajaran mereka mengikat orang-orang yang datang di belakang mereka. (Ar Risalah : 402)
Jelas dalam hadits ini
bahwa Nabi menyuruh kita untuk menetapi apa yang disepakati oleh Ummat Islam,
dalam hal ini tentu Imam-imam Mujtahidnya.
Dan ada lagi sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi :
لاَتَجْتَمِعُ
أُمَتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ
Artinya : ”Ummatku
tidak akan bersepakat atas kesalahan.” (HR
Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits ini m,erupakan
jaminan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa
kesepakatan ummatnya itu tidak akan bisa tersalah, karena itu wajib diikuti.
Dalam Al Quran termaktub
pula :
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya : ” Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An Nisa’ : 115)
Dalam ayat ini
ditegaskan bahwa barangsiapa yang tidak mau melaui jalan yang telah ditetapkan
atau digariskan oleh ummat Islam maka ia akan dimasukkan oleh Allah ke dalam
neraka. Dengan kata lain boleh dikatakan, “Siapa saja diancam akan disiksa oleh
Allah subhanahu wa ta’ala nanti, kalau ia melanggar ketetapan
yang telah disepakati oleh ummat Islam, yang dalam hal ini Imam-imam Mujtahid.”
Oleh karena itu kita wajib menerima Ijma’ (kesepakatan)
d. Qiyas (Perbandingan
antara satu dengan yang lain).
Imam Syafi’i rahimahullah mendasarkan Madzhabnya atas
qiyas, yaitu perbandingan menyerupakan hukum masalah yang baru dengan hukum
masalah yang serupa dengan yang telah terjadi lebih dahulu. Contohnya : Di
dalam hadits-hadits diterangkan bahwa gandum kalau sampai satu nisab, wajib
dizakatkan. Tapi padi tidak tersebut dalam hadits. Imam Syafi’i rahimahullah membandingkan menyerupakan padi dengan
gandum, sama-sama wajib dizakarkan kalau sampai satu nisab, karena keduanya
sama-sama tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan pokok. Itulah contohnya qiyas.
Imam Syafi’i berkata
dalam kitab ar Risalah :
لَيْسَ
لِأَحَدٍ أَبَدًاأَنْ يَقُوْلَفِى شَىْءٍ حَلَّ وَلاَحَرَمَ إِلاَّمِنْ جَهَةِ الْعِلْمِ
وَجِهَةُ الْعِلْمِ الْخَبَرُ فِى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعُ أَوِالْقِيَاسِ
Artinya : "Tidak boleh bagi seseorang
mengatakan ini halal atau itu haram, kecuali kalau berdasar ilmu. AsaI ilmu ini
ialah Kitab Suci, Sunnah Nabi, ljma' dan Qiyas". (Ar Risalah : halaman
39).
Jadi qiyas adalah satu
sumber hukum dalam Madzhab Syafi’i. Kalau kita perhatikan Quran dan
Hadits-hadits Nabi nyatalah bahwa Qiyas itu adalah suatu hal yang penting, yang
banyak disinggung dalam al Quran dan Hadits, maka karena itu ia pantas menjadi
sumber hukum. Qiyas itu terasa pentingnya untuk perkembangan Islam, karena
dengan qiyas itu ummat Islam dapat melanjutkan agamanya dari abad ke abad dan
dari zamanke zaman. Quran dan hadits Nabi terbatas, dan sudah terhenti turunnya,
sedangkan kejadian-kejadian di tengah masyarakat berjalan terus, berkembang
terus dan bertambah terus. Kalau kita tidak memakai qiyas, bagaimana menetapkan
hukum agama dalam persoalan yang baru terjadi ? Dengan adanya qiyas, Imam-imam
Mujtahid dapat mengadakan hukum, yaitu dengan membandingkan hal-hal yang
terjadi sekarang dengan yang terjadi dahulu. Karena itu Imam-imam yang empat
sepakat menetapkan bahwa qiyas adalah suatu dalil syar’i. Yang tidak menerima
qiyas adalah orang-orang Mu’tazilah atau orang sesat. Marilah kita perhatikan
ayat Quran yang bertalian dengan qiyas. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman :
...فَسَيَقُولُونَ مَن يُعِيدُنَا ۖ قُلِ
الَّذِي فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ ۚ...
Artinya : “…Maka
mereka akan bertanya: "Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?"
Katakanlah: "Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama"… (QS Al Isra’ : 51)
Orang-orang kafir dan
tidak mengakui akan hidup kembali dan dengan mencemooh mereka bertanya, “Kalau kami sudah menjadi tulang
yang berserakan, siapakah yang sanggup menghidupkan kami kembali?” Lalu Allah menjawab, “Dulu kamu
tidak ada sama sekali lalu Kami menjadikan kamu dengan mudah, maka sekarang
sama juga dengan itu, walaupun sudah menjadi tulang yang berserakan, Kami kuasa
untuk menghidupkan kembali, bahkan lebih mudah dari dahulu.” Ini adalah qiyas perbandingan.
Dalam ayat lain Allah
berfirman :
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنزَلْنَا عَلَيْهَا
الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ ۚإِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۚ إِنَّهُ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : " Dan sebagian dari tanda-tanda
(kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami
turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang
menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu.” (QS.
Fushilat : 39).
Ini juga qiyas, yakni
dibandingkan hidupnya orang mati, seperti tanah yang mulanya tandus tetapi
kemudian menjadi tumbuh.
Dan lagi firman
Allah subhanahu wa
ta’ala :
لَخَلْقُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : " Sesungguhnya penciptaan langit dan
bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.” (QS.
Ghafir : 57)
Ayat ini qiyas/ perbandingan
juga. Allah mengatakan, kenapakah kamu heran kalau manusia yang sudah mati
dihidupkan kembali, sedangkan menjadikan langit dan bumi yang lebih besar
daripada itu Allah Mahakuasa?
Dalam ayat yang lain
Allah sudah menerangkan siksa-siksa yang ditimpakan kepada orang kafir yang
dulu-dulu, dengan firman-Nya;
أَكُفَّارُكُمْ
خَيْرٌ مِّنْ أُولَـٰئِكُمْ أَمْ لَكُم بَرَاءَةٌ فِي الزُّبُرِ
Artinya : " Apakah orang-orang kafir diantaramu
(hai kaum musyrikin) lebih baik dari mereka (orang-orang kafir yang dulu) itu,
atau apakah kamu telah mempunyai jaminan kebebasan (dari azab) dalam
Kitab-kitab yang dahulu?” . (QS Al Qamar : l3).
Pada ayat ini Allah
mengadakan perbandingan / qiyas ; Orang kafir yang dulu-dulu dihukum karena
mereka mendustakan Rasul, dan kamu orang- kafir sekarang tentu akan dihukum
juga karena kamu mendustakan Rasul pula.
Di dalam ayat yang lain
Allah mengatakan :
أَفَلَمْ
يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن
قَبْلِهِمْ ۚ دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۖ وَلِلْكَافِرِينَ
أَمْثَالُهَا
Artinya : "Maka apakah mereka tidak
mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan
bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan
kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat)
seperti itu.” (QS. Muhammaat
: 10).
Nah, di dalam Al Quran
banyak sekali kedapatan perbandingan itu di mana biasanya dipakai dalam
berdebat menundukkan orang-orang kafir.
Di dalam hadits-hadits
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam pun didapati
perbandingan-perbandingan demikian itu. Tersebut dalam hadits Bukhari, begini :
أَنَّ
امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى
مَاتَتْ أَفَأَحُجَّ
عَنْهَا؟ قَالَ نَعَمْ, حُجِّى عَنْهَاأَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمُّكِ دَيْنٌ
أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ؟ اُقْضُواللهَ فَاللهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Artinya :"Bahwa
seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, lalu ia berkata : " Bahwasanya ibuku bernazar untuk naik
haji, tetapi ia meninggal sebelum membayarkan nazarnya itu . Apakah dapat saya
bayar naik hajinya itu ? " Rasulullah menjawab. "Ya, naik hajilah
menggantikannya, manakala ibumu umpamanya berhutang tentu engkau bayar.
Demikian pula hutang kepada Allah lebih pantas untuk dibayar" (Hadits ini sahih, Riwayat lmam
Bukhari).
Dalam Hadits ini Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam mengambil perbandingan juga. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata sebagai tersebut dalam Hadits
Bukhari dan Muslim, begini:
يَحْرُمُ
مِنَ الرَّضَاعَةِ مَايَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
Artinya: "Apa
yang diharamkan karena seketurunan diharamkan pula bagi orang yang satu
persusuan".
Maksudnya, kalau dua
orang bersaudara tidak boleh kawin-mengawini begitu juga orang-orang yang
menyusu kepada satu ibu tidak boleh pula kawin-mengawini. Ini juga qiyas, yaitu
disamakan orang yang bersaudara karena pertalian dan dengan orang yang bersaudara
karena pertalian air susu, yang hukumnya sama-sama tidak boleh kawin-mengawini.
Teranglah bahwa
perbandingan-perbandingan itu dipakai oleh Allah subhanahu wa ta'ala di dalam al Quran dan dipakai pula
oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dalam
penjelasannya. Selain daripada itu Allah berfirman dalam Al Quran :
…فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya : "Maka ambillah (kejadian itu)
untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. AI-Hasyr : 2).
Ayat ini menganjurkan
agar kita mengambil i'tibar, mengambil perbandingan dan menyerupakan yang satu
dengan yang lain kalau ada pertaliannya. Sebagai contoh dalam persoalan qiyas
ini, baiklah kami terangkan beberapa hal yang diambil dari Al Quran yang
dipakai dalam Madzhab Syafi'i.
Dalam Al Quran, surat
Isra' ayat 23 tersebut begini ;
…فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya : "… maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.". (QS. Isra' :
23).
Dalam ayat ini yang
dilarang ialah menghardik dan mengatakan "cis", atau “ah” tapi tidak
ada larangan menampar atau menyepak. Bagaimana kalau ibu ditampar atau disepak
? O, hukumnya haram juga, karena disamakan/diqiyaskan dengan kata-kata
menghardik dan mengatakan “cis” atau “ah” yakni sama-sama menyakiti.
Di dalam Al-Quran diterangkan
begini:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ
Artinya : "Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah,…". (AI Maidah : 3).
Di dalam ayat ini
diantaranya diterangkan haram memakan daging babi. Adapun tulangnya, limpanya
dan kulitnya tidak diterangkan dalam ayat ini. Imam Syafi’i berpendapat bahwa
tulang, limpa dan kulit babi haram juga dimakan karena diqiyaskan kepada
dagingnya. Begitulah keadaan qiyas yang dijadikan dasar dalam Madzhab Syafi’i rahimahullah. Inilah 4 dasar Madzhab Imam Syafi'i rahimahullah. Ke-empat, dasar ini telah
diterangkan oleh Allah subhanahu
wa ta'ala dalam fitman-Nya
pada Surat An Nisa' : 59, begini :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ….
Artinya : " Hai orang-orang yang beriman,
ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),"... (An Nisa' : 59).
"Tafsir Jamal" mengatakan
bahwa ayat ini memberi isyarat kepada dalil fiqih yang empat, yaitu :
1,. Ikutlah Allah,
maksudnya Kitabullah.
2. Ikutlah Rasul,
maksudnya Sunnah Rasul
3. Ikutlah Ulil Amri,
maksudnya Ijma'.
4. Kalau berselisih
kembalilah kepada Kitab Allah dan Rasul, maksudnya "qiyas", dengan
arti kalau berselisih tentang hukum sesuatu karena tak ada keterangannya yang
nyata maka qiyaskanlah yang ada dalam Quran dan Hadits. (Shawi Jilid I halaman
390).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar