Senin, 13 Juni 2011

12. Bolehkah Tidak Bermahdzab ?

Banyak orang bertanya tentang persoalan ini, yaitu : Bolehkah kita Ummat Islam sekarang tidak menganut Madzhab? Inilah soal yang hangat dan biasa diperkatakan dalam lingkungan masyarakat Ummat Islam di Indonesia. Soal ini harus dikupas satu persatu dan harus diperjelas senyata-nyatanya. Pada waktu sekarang memang ada orang -kadang-kadang orang-orang besar - yang mengatakan di atas mimbar, bahwa ia tidak menganut sesuatu madzhab, tidak Syafi’i, tidak Hanafi , tidak Maliki, tidak Hanbali, tidak yang lain-Iain madzhab siapapun. Madzhabnya hanya, Madzhab Allah dan Rasul. Katanya, ia langsung saja mengambil hukum kepada Quran dan Hadits, karena Quran sudah ditafsirkan ke dalam bahasa Indonesia dan hadits pun banyak sedikitnya sudah ada yang dibahasa Indonesiakan. Melihat keadaannya ia benar-benar bukan seorang Mujtahid dalam arti kata yang sebenarnya, karena ia dengan pengakuannya sendiri tidak pernah belajar bahasa Arab. Yang diketahuinya hanya bahasa Belanda, bahasa Inggris dan buku-buku yang dibacanya hanya buku-buku yang dikarang oleh kaum Orientalis Barat yaitu orang Eropa yang suka membicarakan Islam, tetapi ia bukan orang Islam. Bahkan ada juga yang bisa bahasa Arab dan setelah membaca Quran dan Hadits, ternyata katanya tidak menjumpai bahwa Allah dan RasulNya memerintahkan kewajiban mengikuti suatu madzhab tertentu, sehingga mereka dengan bangga dan bersemangat menentang orang yang bermadzhab dan mencemoohkannya.
Jawab pertanyan judul fasal ini adalah : Kita dapat memastikan bahwa orang ini akan ngawur dalam agamanya, tidak akan mempunyai keyakinan yang teguh dalam beragama dan akhirnya bisa menjadi tidak beragama sama sekali. Atau orang ini bohong. Ia mengatakan dengan lidahnya bahwa ia tidak menganut sesuatu madzhab, tetapi dalam prakteknya ia penganut yang gigih dalam suatu madzhab. Celakanya lagi, madzhab yang dianutnya dengan tidak diinsafinya itu bukan pula madzhab yang terkenal dalam dunia Islam, tetapi madzhab-madzhab yang kadang-kadang hanya dibuat oleh seseorang yang tidak tahu mengaji pula, atau paling celaka mengikut "Madzhab Orientalis", madzhab orang Barat Kristen yang banyak membicarakan Islam.
Harus diketahui hal-hal di bawah ini:
1. Di Indonesia sekarang baru sedikit Tafsir Quran yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Yang ada baru beberapa terjemahan Quran. Di antara tetjemahan Quran ini di sana sini terdapat perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang prinsipil. Untuk menggali hukum fikih dengan mempergunakan kitab terjemahan itu tidak/belum bisa, karena Quran Suci itu mempunyai tafsir-tafsir yang diberikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak diterangkan dalam kitab terjemahan-terjemahan AI-Quran yang ada sekarang ini. Orang yang hanya mengambil hukum langsung dari terjemahan lafazh saja bisa tersalah dan bisa sesat sama sekali dan akhirnya menyesatkan orang lain pula. Atau bisa juga terjadi akhirnya orang itu akan menganut madzhab juga yaitu madzhabnya pengarang-pengarang dan penterjemah-penterjemah Al-Quran tersebut.
2. Demikian pula terjemahan tafsiran Hadits yang lengkap dalam bahasa Indonesia belum ada. Belum ada tafsiran Hadits Bukhari, Muslim, Nasai, Ibnu Majah, Tirmidzi, Abu Daud dan lain-lainnya. Bagaimana seseorang bisa mengambil hukum langsung dalam agama kalau tidak mengerti Hadits-hadits ?
3. Baik! Seseorang pandai membaca buku-buku Agama yang sudah banyak diterbitkan orang sekarang dalam bahasa Indonesia tentang ilmu fikih yang juga telah diberi alasan dengan Al Quran dan Hadits. Kalau baru dengan membaca buku-buku begini saja, lantas sudah mengatakan tidak mau bermadzhab, maka orang itu sudah membohongi dirinya sendiri. Pada hakikatrya ia sudah menganut madzhab, yaitu madzhab pengarang buku-buku yang dibacanya itu secara tidak diinsafinya karena pengarang-pengarang buku itu telah mentafsirkan hadits dan Quran menurut pendapatnya dan memakainya sesuai dengan pendapatnya pula.
4. Kalau orangitu mengatakan bahwa ia tidak menganut Madzhab sama sekali, sedang ia tidak membaca buku-buku agama dan tidak pernah belajar agama kepada siapapun, orang inilah yang dikatakan tidak beragama sama sekali.
5. Orang yang katanya tidak menganut Madzhab, kadang-kadang dalam fatwanya mengikuti pendapat-pendapat Mujtahid yang dulu-dulu juga, dengan arti tidak ada pendapatnya itu yang baru. Ternyata dengan tidak disadarinya sudah bertaqlid.

6. Inilah yang dikatakan sebagai golongan Hasyawiyah yang selalu ada setiap zaman, mereka hendak memposisikan dirinya sebagai mujtahid yang setara dengan para imam tersebut bahkan melebihinya, sehingga mereka tidak butuh mengutip, menimbang, mengkaji, dan  menganalisa, dari istimbath para imam-imam ini. Bagi mereka, “Kami adalah laki-laki dan mereka juga laki-laki, kami juga bisa menggali langsung dari Al Quran dan As Sunnah!” Mereka justru terjebak pada keadaan yang mereka tidak benarkan sendiri, yakni mendirikan madzhab baru, “madzhab tanpa madzhab.” Ini adalah sikap ekstrim yang tidak dibenarkan syariat, akal, dan adat manusia. Bagaimana pun, manusia yang hidup zaman ini tidak bisa lepas dari para pendahulunya. Ulama yang hidup masa modern juga tidak bisa melepas total dengan para ulama terdahulu (salaf). Sebab, para ulama masa lalu menyiapkan kaidah ilmu dan tonggak-tonggak dalam memahami dasar-dasar agama adalah diperuntukkan anak dan cucu mereka seperti kita yang hidup masa kini. Saat ini kita sudah dimudahkan dengan rumusan berbagai kaidah dan ilmu yang mereka buat, itu adalah warisan yang sangat mahal, yang belum tentu kita mampu menciptakan seperti mereka. Namun, di mata orang yang picik,   para imam-imam ini dianggap pemecah belah agama, dan kita tidak boleh taklid kepada mereka. Wallahul Musta’an!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar