Banyak orang bertanya
tentang persoalan ini, yaitu : Bolehkah kita Ummat Islam sekarang tidak
menganut Madzhab? Inilah soal yang hangat dan biasa diperkatakan dalam
lingkungan masyarakat Ummat Islam di Indonesia. Soal ini harus dikupas satu
persatu dan harus diperjelas senyata-nyatanya. Pada waktu sekarang memang ada
orang -kadang-kadang orang-orang besar - yang mengatakan di atas mimbar, bahwa
ia tidak menganut sesuatu madzhab, tidak Syafi’i, tidak Hanafi , tidak Maliki,
tidak Hanbali, tidak yang lain-Iain madzhab siapapun. Madzhabnya hanya, Madzhab
Allah dan Rasul. Katanya, ia langsung saja mengambil hukum kepada Quran dan
Hadits, karena Quran sudah ditafsirkan ke dalam bahasa Indonesia dan hadits pun
banyak sedikitnya sudah ada yang dibahasa Indonesiakan. Melihat keadaannya ia
benar-benar bukan seorang Mujtahid dalam arti kata yang sebenarnya, karena ia
dengan pengakuannya sendiri tidak pernah belajar bahasa Arab. Yang diketahuinya
hanya bahasa Belanda, bahasa Inggris dan buku-buku yang dibacanya hanya buku-buku
yang dikarang oleh kaum Orientalis Barat yaitu orang Eropa yang suka
membicarakan Islam, tetapi ia bukan orang Islam. Bahkan ada juga yang bisa
bahasa Arab dan setelah membaca Quran dan Hadits, ternyata katanya tidak
menjumpai bahwa Allah dan RasulNya memerintahkan kewajiban mengikuti suatu
madzhab tertentu, sehingga mereka dengan bangga dan bersemangat menentang orang
yang bermadzhab dan mencemoohkannya.
Jawab pertanyan judul
fasal ini adalah : Kita dapat memastikan bahwa orang ini akan ngawur dalam
agamanya, tidak akan mempunyai keyakinan yang teguh dalam beragama dan akhirnya
bisa menjadi tidak beragama sama sekali. Atau orang ini bohong. Ia mengatakan dengan
lidahnya bahwa ia tidak menganut sesuatu madzhab, tetapi dalam prakteknya ia
penganut yang gigih dalam suatu madzhab. Celakanya lagi, madzhab yang dianutnya
dengan tidak diinsafinya itu bukan pula madzhab yang terkenal dalam dunia
Islam, tetapi madzhab-madzhab yang kadang-kadang hanya dibuat oleh seseorang
yang tidak tahu mengaji pula, atau paling celaka mengikut "Madzhab
Orientalis", madzhab orang Barat Kristen yang banyak membicarakan Islam.
Harus diketahui hal-hal
di bawah ini:
1. Di Indonesia sekarang
baru sedikit Tafsir Quran yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Yang ada
baru beberapa terjemahan Quran. Di antara tetjemahan Quran ini di sana sini
terdapat perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang prinsipil. Untuk menggali hukum
fikih dengan mempergunakan kitab terjemahan itu tidak/belum bisa, karena Quran
Suci itu mempunyai tafsir-tafsir yang diberikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak diterangkan dalam kitab
terjemahan-terjemahan AI-Quran yang ada sekarang ini. Orang yang hanya
mengambil hukum langsung dari terjemahan lafazh saja bisa tersalah dan bisa
sesat sama sekali dan akhirnya menyesatkan orang lain pula. Atau bisa juga
terjadi akhirnya orang itu akan menganut madzhab juga yaitu madzhabnya
pengarang-pengarang dan penterjemah-penterjemah Al-Quran tersebut.
2. Demikian pula
terjemahan tafsiran Hadits yang lengkap dalam bahasa Indonesia belum ada. Belum
ada tafsiran Hadits Bukhari, Muslim, Nasai, Ibnu Majah, Tirmidzi, Abu Daud dan
lain-lainnya. Bagaimana seseorang bisa mengambil hukum langsung dalam agama
kalau tidak mengerti Hadits-hadits ?
3. Baik! Seseorang
pandai membaca buku-buku Agama yang sudah banyak diterbitkan orang sekarang
dalam bahasa Indonesia tentang ilmu fikih yang juga telah diberi alasan dengan
Al Quran dan Hadits. Kalau baru dengan membaca buku-buku begini saja, lantas
sudah mengatakan tidak mau bermadzhab, maka orang itu sudah membohongi dirinya
sendiri. Pada hakikatrya ia sudah menganut madzhab, yaitu madzhab pengarang
buku-buku yang dibacanya itu secara tidak diinsafinya karena
pengarang-pengarang buku itu telah mentafsirkan hadits dan Quran menurut
pendapatnya dan memakainya sesuai dengan pendapatnya pula.
4. Kalau orangitu
mengatakan bahwa ia tidak menganut Madzhab sama sekali, sedang ia tidak membaca
buku-buku agama dan tidak pernah belajar agama kepada siapapun, orang inilah
yang dikatakan tidak beragama sama sekali.
5. Orang yang katanya
tidak menganut Madzhab, kadang-kadang dalam fatwanya mengikuti
pendapat-pendapat Mujtahid yang dulu-dulu juga, dengan arti tidak ada
pendapatnya itu yang baru. Ternyata dengan tidak disadarinya sudah bertaqlid.
6. Inilah yang dikatakan sebagai golongan Hasyawiyah yang
selalu ada setiap zaman, mereka hendak memposisikan dirinya sebagai mujtahid
yang setara dengan para imam tersebut bahkan melebihinya, sehingga mereka tidak
butuh mengutip, menimbang, mengkaji, dan menganalisa, dari istimbath para
imam-imam ini. Bagi mereka, “Kami adalah laki-laki dan mereka juga laki-laki,
kami juga bisa menggali langsung dari Al Quran dan As Sunnah!” Mereka justru
terjebak pada keadaan yang mereka tidak benarkan sendiri, yakni mendirikan
madzhab baru, “madzhab
tanpa madzhab.” Ini adalah sikap ekstrim yang tidak
dibenarkan syariat, akal, dan adat manusia. Bagaimana pun, manusia yang hidup
zaman ini tidak bisa lepas dari para pendahulunya. Ulama yang hidup masa modern
juga tidak bisa melepas total dengan para ulama terdahulu (salaf). Sebab, para
ulama masa lalu menyiapkan kaidah ilmu dan tonggak-tonggak dalam memahami
dasar-dasar agama adalah diperuntukkan anak dan cucu mereka seperti kita yang
hidup masa kini. Saat ini kita sudah dimudahkan dengan rumusan berbagai kaidah
dan ilmu yang mereka buat, itu adalah warisan yang sangat mahal, yang belum
tentu kita mampu menciptakan seperti mereka. Namun, di mata orang yang
picik, para imam-imam ini dianggap pemecah belah agama, dan kita
tidak boleh taklid kepada mereka. Wallahul
Musta’an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar