Abu Abdillah Muhammad
bin Idris as Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan fahamnya tajam dan setelah
sampai ia ke derajat Mujtahid Muthlaq (Mujtahid penuh) timbullah inspirasinya
untuk berfatwa sendiri yakni mengeluarkan hukum-hukum syari'at dari Quran dan Hadits
sesuai dengan ijtihadnya sendiri, terlepas dari madzhab-madzhab gurunya Imam
Maliki dan Imam Hanafi. Hal ini terjadi di Bagdad (Iraq pada tahun 198 H. yaitu
sesudah usia beliau 48 tahun dan sesudah memulai masa belajar selama lebih
kurang 40 tahun.
Pada mulanya di Iraq
beliau mengarang Kitab Ushul Fiqih yang diberi nama Ar Risalah (surat kiriman),
karena kitab ini dikarang atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi di Mlekkah,
yang meminta kepada beliau agar menerangkan satu Kitab yang mencakup ilmu tentang
arti Quran, hal ihwal yang ada dalam Quran, tentang soal ijma', soal nasekh,
dan mansukh dan tentang hadits Nabi. Kitab ini setelah dikarang dan disalin
oleh murid-muridnya lantas dikirim ke Mekkah di samping ada pula yang tinggal
di Iraq. Itulah sebabnya maka dinamai Ar Risalah (surat kiriman) karena sesudah
dikarang, dikirim kepada Abdurrahman bin Mahdi di Mekkah.
Tentang Kitab Ar Risalah
karangan Imam Syafi’i rahimahullah ini, lmam Fakhrur Razi dalam Kitab
Manaqib Syafi’i mengatakan : "Adalah Ummat Islam sebelum Imam
Syafi’i membicarakan masalah fiqih, mereka mengambil dan membantah
dalil-dalil, tapi tidak ada suatu peraturan umum yang dapat dipedomani dalam
menerima dan menolak dalil-dalil itu. Imam Syafi'I rahimahullah menciptakan
ilmu baru yang dinamai “Ushul-ushul Fikih”, dimana beliau meletakkan
dasar-dasar dan peraturan-peraturan umum yang dapat dipakai dalam menyelidiki
derajat dalil-dalil syari'at Islam. Jasa Imam Syafi’i pada ilmu syari'at sama
dengan jasa Aristoteles dalam ilmu Aqal.
Imam Muzani berkata:
saya membaca Kitab Ar Risalah 500 kali, maka setiap kali membaca saya dapati di
dalamnya satu ilmu baru yang saya belum mengetahui sebelumnya. Kitab Ar Risalah
ini disusun dan dikarang oleh Imam Syafi’i rahimahullah ketika beliau di Iraq (198 H.) dan
ini dinamakan Kitab Risalah Iama, kemudian setelah beliau pindah ke Mesir
dikarang pula kitab Ar Risalah baru yang dinamakan "Ar Risalah Al
Jadidah". Hal ini harus diketahui benar-benar oleh pembaca supaya jangan
keliru dalam memahamkan Kitab-kitab karangan Imam Syafi'i. Kitab Ar Risalah ini
diajarkan juga oleh imam Syafi'i di Bagdad sehingga sangat menarik perhatian
ulama-ulama Bagdad, karena ilmu usul fiqih itu suatu masalah yang baru bagi
orang Bagdad.
Al Karabisi murid Imam
Syafi’i di Bagdad menceritakan : Kami (di Bagdad) pada hakikatnya tidak
mengetahui cara-cara pemakaian dalil dari al-Quran, dari Hadits, dari ljma’,
sampai datang kepada kami Imam Syafi'i, maka kami ketahuilah tentang Al-Quran,
Hadits dan Ijma' itu.
Berkata Abu Tsur (orang
Bagdad) :,,TatkaIa kami mendengar fatwa Imam Syafi'i maka beliau menerangkan
tentang lafazh ‘am (perkataan umum) dalam Al-Quran, tetapi dimaksudkan khusus,
lafazh khusus tetapi dimaksudkan umum. Kami mulanya tidak mengetahui ini, maka
kami tanyakan kepada Imam Syafi'i. Lantas beliau memberi keterangan, umpamanya
ayat :
…إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ ….
Artinya :
"…Bahwasanya manusia telah mengumpulkan orang untuk menyerang Nabi”…. (QS.
Ali Imran : 173).
Di sini disebutkan
"manusia", tetapi maksudnya hanya seorang yaitu Abu Sofyan.
Dan iuga firman Allah :
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
Artinya : "Hai
Nabi, jika kamu menceraikan wanita…. (QS. At Thalaq : 1).
Ini lafaznya khusus,
yaitu Nabi seorang tetapi dimaksudkan umum yaitu sekalian manusia. Inilah ilmu
ushul fiqih yang sampai sekarang dipakai dan dipedomani oleh seluruh dunia
Islam dalam menggali isi dan inti dari kitab Suci dan Hadits Nabi.
Dinyatakan bahwa Imam
Syafi’i rahimahullah masuk mesjid Bagdad untuk shalat
maghrib. Beliau melihat orang-orang shalat di belakang seorang pemuda. Imam
Syafi’i rahimahullah pun ikut menjadi ma'mun dari pemuda
itu. Imam muda ini sangat baik bacaannya tetapi telah terjadi kelupaan sesuatu
dalam shalat ini. Ia tidak bisa menyelesaikan dan mengakhiri shalat, karena ia
tidak tahu bagaimana kalau terjadi kelupaan. Selesai ia memberi salam lantas
Imam Syafi'i berkata kepada pemuda itu : "Engkau telah membinasakan shalat
kami, hai pemuda !" Sesudah kejadian inilah tergerak hati Imam Syafi’i menulis
kitab yang mana di dalamnya diterangkan juga soal "Sujud Sahwi"
(sujud lupa). Kitab ini dinamainya Az Za'faran, yaiar nama Imam Muda yang lupa
dalam shalat tadi. Kitab Az Za'faran ini berisi bukan saja soal sujud sahwi,
tetapi iuga lain-lain fikih dalam lain-lain persoalainya. Kitab Az Za'faran ini
kemudian dimasyhurkan namanya dengan “Al-Hujjah". Inilah kitab fikih yang
pertama dari Imam Syafi’i rahimahullah. Az Za'faran ini kemudian menjadi
murid penyambung lidah dari gurunya Imam Syafi'i rahimahullah. Beliau meninggal
tahun 260 H. yaitu 54 tahun sesudah wafatnya Imam Syafi'i rahimahullah.
Seorang murid Imam
Syafi'i Abu'Ali bin Husein al Karabisi, pada suatu hari berkata, begini :
"Ketika Imam Syafi’i berada di Bagdad saya datang dan meminta kepada
beliau kiranya beliau mengizinkan saya membaca sebuah kitab karangannya. Beliau
menjawab : 'Ambillah kitab Az Za'faran, saya beri ijazah kitab itu
padamu". Imam al Karabisi ini kemudian menjadi penghubung lidah Imam
Syafi’i rahimahullah pula. Beliau meninggal dunia tahun
240H. yaitu 36 tahun sesudah wafatnya Imam Syafi’i rahimahullah. Fatwa Imam
Syafi’i rahimahullah selain dikarang dalam bentuk buku,
juga ditablighkan kepada umum, sehingga banyaklah murid-murid yang mengambil
madzhab Syafi’i ini ketika beliau berada di Bagdad. Fatwa-fatwa yang
dikeluarkan Imam Syafi'i rahimahullah ketika berada di Bagdad inilah yang dinamai
“Al Qaulul Qadim" (Fatwa lama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar